Opini
Amerika di Ambang Perang Sipil

Empat puluh persen rakyat Amerika percaya bahwa perang sipil bisa pecah dalam dekade mendatang. Angka ini, dari jajak pendapat YouGov yang dirilis Selasa lalu, bukan sekadar statistik dingin. Ia adalah dengung kegelisahan kolektif—bayang-bayang kecemasan yang berdiam di benak 3.375 orang dewasa yang disurvei. Ada apa dengan sebuah bangsa yang begitu kuat, namun kini terbelah, hingga kata “perang” tak lagi terdengar asing?
Di negeri yang pernah bersatu melawan tirani, warga kini memandang satu sama lain dengan curiga. Seolah tetangga bisa jadi musuh. Ini bukan sekadar gejala politik, tapi luka sosial yang terus menganga, yang mungkin belum pernah benar-benar sembuh sejak Perang Saudara lebih dari 160 tahun silam.
Kegelisahan ini bukan tanpa sebab. Laporan YouGov menyinggung kerusuhan di California dan bentrokan terkait deportasi federal yang mendorong Donald Trump mengerahkan Garda Nasional serta Marinir. Bayangkan: militer Amerika berdiri di jalan-jalan, bukan untuk melindungi dari musuh asing, tetapi berhadap-hadapan dengan rakyatnya sendiri. Konflik antara Trump dan Gubernur Gavin Newsom yang saling menyalahkan soal krisis imigrasi, ibarat menuang minyak ke atas api yang sudah menyala. Lalu, kasus pembunuhan tragis di Minnesota—Melissa Hortman, anggota DPR negara bagian, dan suaminya tewas dalam serangan yang diduga bermotif politik. Senator John Hoffman dan istrinya terluka. Ini bukan kejahatan biasa; ini adalah tanda bahwa kekerasan politik mulai dianggap wajar.
Dan ketika lima juta orang turun ke jalan dalam aksi “No Kings” di 50 negara bagian, menentang apa yang mereka sebut “otoritarianisme” dan “militerisasi demokrasi,” dunia tahu: Amerika sedang goyah.
Data jajak pendapat menunjukkan betapa beragam dan dalamnya kecemasan ini. Wanita lebih cemas, dengan 45% menganggap perang sipil mungkin terjadi, dibandingkan pria. Kaum Demokrat lebih pesimis (48%) dibandingkan Republik (32%), sementara independen berada di tengah (39%). Faktor ras juga memainkan peran: 18% responden kulit hitam menyebut perang sipil “sangat mungkin,” dua kali lipat dibanding responden kulit putih (10%). Responden Hispanik tampaknya paling resah, hanya 11% yang yakin konflik tidak akan terjadi. Ini bukan sekadar angka. Mereka mencerminkan manusia-manusia nyata yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Masyarakat yang tak lagi punya bahasa bersama untuk menyelesaikan luka.
Dari jauh, kita di Indonesia mungkin hanya mengamati. Tapi kegelisahan seperti itu tak sepenuhnya asing. Ingat kerusuhan 1998, ketika ketimpangan ekonomi dan ketegangan politik meledak dalam kekerasan yang menewaskan ribuan orang? Atau polarisasi sosial saat pemilu, ketika hubungan tetangga dan keluarga bisa renggang hanya karena perbedaan pilihan politik? Amerika, dengan kekuatan ekonominya, menghadapi versi yang jauh lebih kompleks dari luka itu—karena polarisasi mereka diperparah oleh media partisan, misinformasi di media sosial, dan ketimpangan ekonomi yang semakin lebar.
Menurut Carnegie Endowment (2023), polarisasi politik di Amerika kini melampaui sekadar ideologi. Ia telah menjelma menjadi polarisasi identitas: ras, agama, dan kelas. Orang tak lagi melihat “yang berbeda” sebagai lawan debat, tapi sebagai ancaman eksistensial. Polarisasi ini menembus institusi, menebar ketakutan, dan mengikis kepercayaan sosial.
Media sosial, khususnya X (dulu Twitter), menjadi medan tempur utama. Postingan tentang “krisis konstitusi” dan seruan “Calexit”—separatisme California—beredar luas. Algoritma X, seperti dijelaskan Knight First Amendment Institute (2023), membentuk “echo chambers,” ruang gema di mana orang hanya mendengar pendapat yang menguatkan keyakinan mereka sendiri. Narasi misinformasi tentang imigran atau kebijakan luar negeri—seperti dukungan Trump terhadap serangan zionis—menyulut emosi yang sering kali tak berpijak pada realitas. Kita di Indonesia pun melihat gejala serupa: hoaks pemilu yang menyebar di WhatsApp, membuat orang mencurigai tetangganya sebagai “pengkhianat bangsa.” Bedanya, di Amerika, senjata beredar lebih bebas, dan amarah lebih mudah berubah menjadi darah.
Ketimpangan ekonomi juga tak bisa diabaikan. Carnegie Endowment (2020) mencatat bahwa krisis ekonomi 2008 memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Ini melahirkan gelombang populisme yang kini menjadi bahan bakar polarisasi. Di daerah pedesaan Amerika—basis pendukung Republik—pemulihan ekonomi berjalan lebih lambat dibanding kota-kota besar yang cenderung mendukung Demokrat. Perasaan ditinggalkan dan dikhianati oleh pusat sangat kuat. Ini mirip dengan perasaan masyarakat di luar Jawa yang menganggap Jakarta tak peduli pada mereka. Namun di Amerika, perasaan ini diperparah oleh narasi identitas: kelompok kulit putih konservatif merasa kehilangan tempat di tengah perubahan demografi dan nilai.
Inilah kombinasi yang berbahaya: polarisasi identitas, ketimpangan ekonomi, media yang terpecah, dan kekerasan yang kian dinormalisasi.
Dan kekerasan itu memang makin terasa nyata. Selain kasus Minnesota, laporan Journal of Democracy (2021) menunjukkan bahwa jutaan warga Amerika kini mentoleransi kekerasan politik, terutama dalam konteks ketegangan rasial seperti Black Lives Matter. Kelompok ekstremis—dari supremasi kulit putih hingga milisi bersenjata—semakin vokal, memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan agenda mereka. Ini bukan lagi tentang protes damai, tapi tentang individu dan kelompok yang siap angkat senjata demi keyakinannya. Kita di Indonesia tahu betapa cepat ide kekerasan bisa menyebar—ingat masa-masa terorisme awal 2000-an? Tapi di Amerika, dengan legalitas senjata yang longgar dan trauma sejarah yang belum sembuh, potensi eskalasi jauh lebih besar.
Namun pertanyaan utamanya tetap: apakah perang sipil di Amerika benar-benar tak terhindarkan? Atau ini hanya bayang-bayang ketakutan yang dibesarkan oleh media dan algoritma? Menariknya, 20% responden dalam survei memilih untuk tidak menjawab atau tidak yakin. Mungkin mereka masih percaya akan jalan keluar damai. Amerika punya sejarah panjang dalam menyelesaikan krisis—Depresi Besar, Perang Dunia, Vietnam, hingga Watergate. Tapi tantangan hari ini berbeda.
Menurut Carnegie Endowment (2023), hilangnya media lokal turut memperparah keadaan. Dulu, media lokal menyatukan komunitas dan memberi ruang dialog. Kini, media nasional seperti Fox News dan CNN justru menjadi alat perpecahan, bukan pemersatu. Mereka mirip seperti portal berita clickbait di Indonesia—yang mementingkan traffic, bukan keutuhan sosial.
Maka refleksi ini membawa kita pada pertanyaan penting: apa yang bisa dilakukan? Di Indonesia, kita belajar bahwa reformasi institusi dan ruang dialog lintas kelompok—meskipun pelan dan tidak sempurna—telah membantu menyembuhkan luka masa lalu. Amerika butuh hal serupa. Ruang untuk mendengar, bukan sekadar menyerang. Media yang menyambung warga, bukan memecah. Kebijakan yang adil, bukan eksklusif dan elitis. Tapi ketika jutaan orang turun ke jalan, dan ketidakpercayaan menjadi norma, waktu terasa semakin menipis.
Akankah bangsa sebesar Amerika mampu menyatukan kembali narasi kolektifnya? Ataukah ia akan terkoyak oleh dendam-dendam lama yang terus dipupuk dalam diam? Kita, dari jauh, hanya bisa mengamati—dan belajar—sebelum luka kita sendiri terbuka kembali.
Satu hal yang pasti: ketakutan akan perang, seperti yang dirasakan 40% warga Amerika, bukan sekadar angka. Ia adalah isyarat. Isyarat bahwa demokrasi bisa rapuh, bahkan di tempat yang pernah jadi mercusuar kebebasan. Dunia yang makin terhubung ternyata juga makin terpecah. Dan dalam cermin itu, kita tak bisa hanya melihat Amerika. Kita sedang melihat diri kita sendiri.