Opini
Amerika Baru: Protes Dilarang, Genosida Didukung

Donald Trump, Presiden AS yang terkenal dengan kehangatannya terhadap demokrasi (baca: otoritarianisme terselubung), mengeluarkan ancaman pada tanggal 4 Maret. Ia berjanji akan mencabut seluruh pendanaan federal bagi universitas yang mengizinkan “protes ilegal”—alias protes yang tidak menyenangkan bagi dirinya dan sekutunya. Lebih jauh, ia berjanji akan menangkap mahasiswa asing yang ikut serta, atau lebih baik lagi, mengirim mereka pulang. Deportasi sebagai hadiah atas keberanian berbicara!
Ini bukan dongeng distopia George Orwell. Ini adalah kenyataan politik di negara yang mengklaim dirinya sebagai mercusuar demokrasi. Amerika Serikat, negeri di mana kebebasan berbicara diagungkan—selama itu tidak mengkritik kebijakan luar negeri Washington, terutama yang berhubungan dengan negara kecil favoritnya, Israel. Jika Anda berani bersuara tentang genosida yang terjadi di Gaza, maka persiapkan diri untuk dijuluki antisemit, kriminal, atau lebih parah lagi, ancaman bagi tatanan dunia!
Lucunya, ancaman Trump ini datang setelah kelompok lobi pro-zionis mengeluh tentang maraknya demonstrasi mahasiswa yang menolak dukungan AS terhadap aksi brutal Israel di Gaza. Fakta bahwa banyak mahasiswa Yahudi anti-Zionisme juga turut serta dalam protes ini diabaikan begitu saja. Yang penting, narasi bahwa kritik terhadap Israel berarti kebencian terhadap Yahudi harus terus dipaksakan. Kalau perlu, mahasiswa yang berdemo harus dipenjara agar negeri ini tetap tampak ‘bebas’.
Seakan belum cukup, pemerintahan AS langsung bergerak cepat seperti petugas kebersihan yang panik saat tamu penting datang. Hanya beberapa jam setelah ancaman Trump, tiga lembaga federal—HHS, ED, dan GSA—mengumumkan pembentukan gugus tugas untuk meninjau pendanaan federal bagi Columbia University. Alasannya? Kampus ini tidak cukup agresif dalam membungkam mahasiswanya yang terlalu ‘nyaring’ membela Palestina.
Mereka bahkan mempertimbangkan untuk membekukan kontrak sebesar $51,4 juta dan meninjau hibah senilai lebih dari $5 miliar. Artinya, jika sebuah universitas ingin tetap mendapatkan dana dari pemerintah, mereka harus belajar satu hal: jangan biarkan mahasiswa berpikir kritis. Berpikir kritis adalah ancaman eksistensial bagi demokrasi Amerika. Lebih baik mereka hanya menghafal kata-kata indah seperti ‘land of the free’ tanpa bertanya mengapa kebebasan itu harus dikurung dalam batasan yang dibuat lobi tertentu.
Tapi jangan salah! AS tetaplah negara yang mendukung hak asasi manusia—terutama hak untuk tidak dikritik ketika mendanai genosida. Ketika ribuan warga Palestina—kebanyakan perempuan dan anak-anak—tewas di bawah bom bunker-buster buatan AS, yang lebih penting bagi Washington adalah memastikan bahwa para mahasiswa Columbia tidak terlalu vokal dalam mengutuknya. Lagipula, lebih baik mendanai kehancuran Gaza daripada membiarkan sekelompok mahasiswa idealis merusak citra demokrasi palsu AS.
Sementara itu, di sisi lain dunia, Benjamin Netanyahu, yang namanya hampir identik dengan perang dan pembantaian, menyebut Trump sebagai “teman terbesar Israel”. Tentu saja! Seorang teman sejati adalah mereka yang tidak peduli berapa puluh ribu nyawa yang melayang, selama uang miliaran dolar terus mengalir ke kas militer Israel. Apakah ini alasan mengapa Gedung Putih dengan penuh kasih sayang menambah anggaran senjata mereka sebesar $4 miliar?
Ajaibnya, AS sangat berkomitmen pada demokrasi, sampai-sampai mereka menutup mata terhadap hasil penelitian The Lancet yang menyebutkan bahwa jumlah korban di Gaza kemungkinan 41 persen lebih tinggi dari data resmi. Ini masalah angka, bukan? Lagi pula, apa pentingnya 50.000 atau 70.000 kematian ketika keuntungan industri senjata harus tetap stabil? Kapitalisme tidak punya ruang untuk perasaan.
Apa yang dilakukan Trump ini bukan hanya pengkhianatan terhadap mahasiswa AS, tetapi juga pengkhianatan terhadap ideologi yang selama ini mereka jual ke dunia. Selama puluhan tahun, AS sibuk menuding negara lain yang dianggap menindas kebebasan berbicara. Tapi sekarang, Trump malah ingin mengimpor taktik otoritarian ke dalam negeri sendiri. Mungkin diktator-diktator dunia harus mulai belajar dari AS dalam hal represi terselubung dengan branding demokrasi.
Dalam dunia yang semakin absurd ini, demokrasi di AS kini mirip dengan keanggotaan eksklusif sebuah klub. Anda bisa menikmatinya jika dan hanya jika Anda setuju dengan kebijakan luar negeri Washington. Jika tidak, maka selamat datang di dunia baru di mana demonstrasi bisa membuat Anda kehilangan beasiswa, pekerjaan, atau bahkan kewarganegaraan. Demokrasi yang sangat elegan, bukan?
Jika kebijakan ini terus berjalan, tidak lama lagi kita mungkin akan melihat polisi kampus berseragam ala stormtrooper mengawasi setiap mahasiswa yang mencoba mengucapkan kata ‘Palestina’. Barangkali, mahasiswa harus mengajukan izin resmi terlebih dahulu sebelum berbicara tentang kejahatan perang, agar tidak menyinggung ‘perasaan’ pemerintah dan sekutunya. Demokrasi telah berevolusi menjadi parodi yang lebih kejam dari yang pernah dibayangkan Orwell dalam Novel “1984”.
Jadi, inilah pesan bagi mahasiswa AS: jika Anda ingin tetap belajar tanpa ancaman deportasi atau pemenjaraan, belajarlah untuk diam. Jangan bicara tentang Palestina. Jangan bicara tentang genosida. Jangan bicara tentang bagaimana uang pajak Anda digunakan untuk membiayai pembantaian. Sebaliknya, ulangi mantra lama: freedom, democracy, and the American dream. Ingat, kejujuran bisa berbahaya, dan pemikiran kritis bisa menjadi tiket pulang paksa ke negara asal Anda.
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus diajukan bukan lagi apakah AS masih memegang teguh prinsip demokrasi, tetapi apakah demokrasi di AS pernah benar-benar ada? Jika kebebasan berbicara hanya berlaku bagi mereka yang setuju dengan pemerintah, lalu apa bedanya AS dengan rezim-rezim yang selama ini mereka kecam? Jika demonstrasi damai dianggap ancaman lebih besar daripada genosida, mungkin sudah saatnya dunia mempertimbangkan kembali siapa sebenarnya ancaman bagi kemanusiaan.