Opini
Ambisi UE Ganti Peran USAID, Mampukah?

Kaja Kallas, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, baru saja mengungkapkan rencana ambisius: Uni Eropa (UE) akan berupaya mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh penarikan USAID dari negara-negara berkembang. “Kami akan membahas dampak penarikan USAID dan di mana kami bisa masuk,” ujarnya menjelang pertemuan Dewan Urusan Luar Negeri UE. Namun di balik ambisi ini, ada kegelisahan yang mencuat. Dunia—termasuk kita di Indonesia—sedang menyaksikan pergeseran besar dalam lanskap bantuan global. Pertanyaannya: mampukah UE memikul beban ini?
Realitasnya, ambisi ini terasa seperti mimpi yang terlalu besar, apalagi di tengah badai yang juga sedang menerpa internal Eropa. Bayangkan, USAID yang menyumbang 42% dari bantuan kemanusiaan global versi PBB pada 2024, tiba-tiba menarik diri. Laporan Al Mayadeen menyebutkan bahwa pada Februari 2025, administrasi Trump memerintahkan semua pegawai USAID yang direkrut langsung untuk cuti administratif dan kembali dari luar negeri. Lebih dari 10.000 staf terdampak, meski ada pengecualian untuk peran-peran kritis.
Ini bukan sekadar angka. Ini menyangkut program-program nyata di lapangan—misalnya, proyek kesehatan atau pendidikan di Afrika Sub-Sahara—yang kini terancam berhenti. Di Indonesia, USAID telah lama terlibat dalam inisiatif penting seperti pengelolaan hutan lestari dan penanggulangan bencana, termasuk pascatsunami Aceh 2004. Ketika aktor sebesar USAID mundur, kekosongan itu terasa nyata. Maka, ketika UE menyatakan ingin melangkah masuk, wajar bila muncul keraguan: benarkah mereka siap?
Bahkan Kallas sendiri mengakui, “Kami tidak bisa sepenuhnya mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS.” UE memiliki prioritas yang lebih terfokus pada nilai-nilai: demokrasi, kebebasan media, hak asasi manusia, dan perhatian pada wilayah tetangga seperti Eropa Timur, Balkan Barat, atau Afrika Utara. Ini adalah pendekatan yang mulia. Namun, realitas di negara berkembang sering kali berbicara lain.
Kebutuhan yang paling mendesak justru berkisar pada hal-hal konkret seperti infrastruktur, pangan, dan respons darurat. Ketika banjir besar melanda Kalimantan Selatan pada 2021, bantuan cepat dari donor internasional, termasuk USAID, terasa jauh lebih penting dibandingkan dengan seminar tentang kebebasan pers. Di titik inilah, pendekatan berbasis nilai yang diusung UE mungkin akan sulit diterima secara praktis.
Laporan-laporan juga menyebutkan bahwa pembekuan bantuan luar negeri AS selama 90 hari sejak Januari 2025 mengejutkan banyak pihak. USAID, yang berdiri sejak 1961, bukan sekadar lembaga bantuan. Ia adalah simbol kehadiran dan dominasi AS dalam urusan global. Ketika program-programnya dipangkas, banyak negara yang selama ini bergantung padanya langsung terkena imbas. Di Indonesia, program pelatihan petani kakao di Sulawesi adalah contoh sederhana bagaimana bantuan itu menyentuh akar rumput. Lantas, bagaimana UE dapat menggantikan skala dan kecepatan semacam ini?
Di sisi lain, Uni Eropa sendiri sedang tidak dalam kondisi prima. Krisis energi akibat konflik Ukraina belum mereda. Harga gas melonjak, memukul rumah tangga dan industri. Inflasi terus menggerus daya beli masyarakat. Sementara itu, polarisasi politik di negara-negara seperti Prancis dan Hungaria melemahkan kohesi internal UE. Dengan anggaran yang terbatas dan harus dibagi di antara 27 negara anggota, bagaimana UE bisa mengelola ambisi global di saat mereka sendiri masih mencari stabilitas?
Belum lagi fakta bahwa UE juga sedang menggulirkan agenda penguatan militer sebagai respons terhadap ancaman Rusia. Dana besar dialokasikan untuk pembelian tank, jet tempur, dan sistem pertahanan. Ini berarti kompetisi langsung dengan anggaran bantuan pembangunan. Pada 2024, miliaran euro digelontorkan UE untuk mendukung Ukraina secara militer. Namun untuk kawasan lain seperti Afrika atau Asia Tenggara, bantuan tetap minim. Ini mengingatkan pada dilema klasik: memilih menjaga keamanan di depan pintu, atau menolong tetangga yang kelaparan.
Selain soal dana, tantangan besar lainnya adalah kapasitas operasional. USAID memiliki jaringan global yang sudah teruji dengan ribuan staf profesional tersebar di berbagai wilayah. UE, di sisi lain, kerap terhambat birokrasi dan tarik-ulur antaranggota. Saat menangani krisis pengungsi Suriah, misalnya, UE mengalami perbedaan sikap antara negara-negara seperti Jerman dan Polandia. Indonesia, yang tidak asing dengan peliknya koordinasi antar-lembaga, tentu bisa membayangkan betapa sulitnya menyatukan langkah 27 negara dalam proyek lintas-benua.
Sementara UE masih berkutat mencari format baru, kekosongan yang ditinggalkan USAID bisa jadi akan diisi oleh pihak lain. Tiongkok, misalnya, terus memperluas pengaruhnya melalui Belt and Road Initiative. Di Indonesia, proyek seperti kereta cepat Jakarta-Bandung adalah bukti bahwa investasi atau bantuan dari luar bisa sekaligus menjadi instrumen geopolitik. Bila UE gagal merespons secara cepat dan meyakinkan, negara-negara berkembang bisa saja mengalihkan pandangannya ke arah Timur.
Ini tentu akan menggeser dinamika kekuatan bantuan global dari dominasi Barat ke kebangkitan Asia. Dan jika bantuan itu datang tanpa syarat yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi atau hak asasi manusia, maka pengaruh global Barat bisa kian terkikis. UE pun harus menjawab tantangan ini dengan pendekatan yang tidak hanya normatif, tetapi juga adaptif terhadap kebutuhan lokal.
Melihat perkembangan ini, perasaan campur aduk muncul: antara harapan dan skeptisisme. UE ingin tampil sebagai pahlawan baru, namun langkah-langkah mereka masih gamang dan penuh keterbatasan. Kita di Indonesia memahami betul bahwa bantuan internasional bisa membawa manfaat besar, tetapi juga bisa menimbulkan persoalan jika tidak tepat sasaran atau sarat agenda tersembunyi.
Jadi, mampukah UE benar-benar menggantikan peran USAID? Atau justru dunia akan menyaksikan kekosongan yang berkepanjangan, sementara negara-negara berkembang dibiarkan menggantung dalam ketidakpastian? Jawabannya mungkin tidak terletak pada pidato-pidato besar atau rencana ambisius, tetapi pada langkah-langkah kecil, konsisten, dan tulus yang diambil di lapangan.