Connect with us

Opini

Ambisi Erdogan Menjadi ‘Sultan’ di Kawasan

Published

on

Jatuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah mungkin bukan sekadar kemenangan bagi para pemberontak, tetapi lebih sebagai hadiah besar bagi Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Bagi Erdogan, ini bukan hanya tentang mengalahkan musuh politik, tetapi juga tentang meraih peluang geopolitik yang bisa mengubah Turki menjadi pusat kekuatan di Timur Tengah. Ambisinya yang ingin menjadikan dirinya sebagai “Sultan” di kawasan semakin jelas terlihat.

Dengan Suriah yang kini terbelah, Erdogan melihat peluang emas untuk memperbesar pengaruh Turki. Tak hanya dalam ranah politik, tetapi juga ekonomi, dengan rekonstruksi Suriah yang diperkirakan akan menghabiskan ratusan miliar dolar. Erdogan ingin agar Turki menjadi pemain utama dalam membangun kembali negara yang porak-poranda itu. Di balik kebijakan ini, ada harapan besar untuk memanfaatkan posisi strategis Turki.

Erdogan tidak hanya berbicara tentang kebijakan luar negeri, tetapi juga melihat peluang untuk memposisikan Turki sebagai pusat perdagangan dan pembangunan. Bayangkan saja, jalur ekspor Turki ke Teluk bisa melintasi Suriah, menggantikan jalur yang lebih mahal melalui Mesir. Inilah cara Erdogan ingin menjadikan Turki lebih dominan, tidak hanya di tingkat regional tetapi juga global. Menjadi penguasa kawasan, atau setidaknya memanfaatkan situasi untuk keuntungan maksimal, adalah tujuannya.

Namun, untuk mencapai ambisi itu, Erdogan harus melewati banyak rintangan, terutama dari pihak yang tidak senang dengan cara Turki mengelola kebijakan luar negerinya, terutama terkait dengan pasukan Kurdi. Turki bersikeras bahwa kelompok Kurdi yang didukung oleh AS harus dibubarkan, karena mereka dianggap sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas Turki. Sementara itu, AS masih melihat mereka sebagai sekutu dalam perang melawan ISIS. Ini menjadi dilema besar bagi Erdogan, yang harus menyeimbangkan ambisinya dengan kebutuhan untuk menjaga hubungan dengan negara besar seperti Amerika.

Ketika Erdogan melobi Presiden Trump, ada unsur keserakahan dalam pendekatan tersebut. Trump, yang pernah memuji Erdogan sebagai teman, kini menjadi mitra penting dalam mencapainya. Dalam diskusi-diskusi yang akan datang, Erdogan berharap agar AS tidak hanya mengabaikan keberadaan pasukan Kurdi, tetapi juga memberikan dukungan lebih dalam soal rekonstruksi Suriah yang bisa sangat menguntungkan bagi Turki. Bahkan, Erdogan tampaknya berharap Trump akan berpihak kepadanya, seperti halnya ketika dia membicarakan kemitraannya yang kontroversial dengan Rusia.

Namun, siapa yang bisa menyalahkan Erdogan? Dengan menyusuri perbatasan Turki-Suriah setiap hari, truk-truk Turki mengangkut bahan-bahan untuk membangun kembali Suriah. Ini adalah upaya langsung untuk mendominasi sektor konstruksi yang akan berkembang pesat dalam beberapa tahun mendatang. Tak hanya itu, dengan meningkatnya perdagangan dan perjalanan udara, Turki semakin memantapkan dirinya sebagai pemain utama dalam merekonstruksi negara-negara yang hancur akibat perang, sambil tetap mempertahankan peran dominannya di kawasan.

Ambisi Erdogan memang tidak main-main. Dengan menarik perhatian negara-negara Teluk untuk mendanai proyek-proyek besar di Suriah, Erdogan berharap bisa mempercepat rekonstruksi yang menguntungkan Turki. Tak hanya itu, dengan mendirikan kembali jalur perdagangan yang menghubungkan Turki dengan negara-negara Arab, Erdogan bisa meningkatkan daya tawar Turki di kancah internasional. Namun, semua itu bergantung pada kemampuan Turki untuk mengelola hubungan dengan berbagai kekuatan besar tanpa terganggu oleh ketegangan yang ada di lapangan.

Ambisi untuk menjadi “Sultan” di kawasan Timur Tengah mungkin terdengar seperti sebuah impian besar, namun bagi Erdogan, itu adalah misi yang sangat nyata. Melalui serangkaian langkah politik, ekonomi, dan militer, dia berusaha mengukuhkan Turki sebagai pusat kekuatan baru di kawasan tersebut. Namun, di balik itu semua, ada realitas keras bahwa ambisi Erdogan harus bersaing dengan banyak kekuatan besar, yang tak selalu sejalan dengan tujuannya.

Bagi Erdogan, kejatuhan Assad bukan hanya tentang mengakhiri sebuah rezim yang tidak disukainya. Lebih dari itu, ini adalah kesempatan untuk membangun kembali Suriah dengan tangan Turki sebagai penguasa utama. Inilah cara Erdogan berambisi menjadi “Sultan” di kawasan Timur Tengah—memanfaatkan ketidakstabilan untuk meraih kekuasaan dan keuntungan bagi Turki, sambil melobi kekuatan global seperti AS untuk mewujudkannya. Seiring waktu, kita akan melihat apakah ambisi besar ini akan menjadi kenyataan ataukah justru menjadi batu sandungan bagi Erdogan dan Turki.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *