Opini
Aliansi atau Ketergantungan? Eropa di Bawah Bayang-Bayang Amerika

“Hubungan dengan Amerika Serikat mungkin tidak akan pernah kembali seperti dulu,” ujar Ursula von der Leyen dengan nada yang hampir seperti pengakuan dalam sebuah sesi terapi. Pernyataan itu disampaikan di sebuah forum ekonomi di Roma—kota yang pernah menjadi pusat kekaisaran dunia, kini hanya menjadi panggung bagi peradaban yang mencari-cari kembali harga dirinya yang hilang di bawah bayang-bayang Washington.
Barangkali Uni Eropa sedang mengalami fase yang lazim dialami oleh seseorang yang baru saja sadar bahwa pasangan hidupnya selama ini bukanlah pelindung, tapi pengendali. Sudah terlalu lama Eropa dimanjakan oleh dominasi Amerika: diberi payung keamanan bernama NATO, disuntik oleh dolar-dolar manis hasil perdagangan, dan disanjung sebagai mitra strategis yang setara—walau pada praktiknya, yang satu bicara, yang lain mendengarkan; yang satu menekan tarif, yang lain menulis surat keberatan.
Ironisnya, Eropa masih menyebut Amerika sebagai “mitra dagang dan investasi terpenting”, seperti seorang mantan yang belum bisa move on, padahal sudah berkali-kali dibentak, dijatuhi sanksi, bahkan diancam tidak akan dibela bila tak membayar lebih mahal untuk perlindungan. Ketika Trump melemparkan tarif 20% ke arah produk Eropa, lalu menurunkannya jadi 10% sambil berkata “tunggu negosiasi”, itu bukan kompromi—itu gaya preman yang menyuruh korban menebus sepeda curian miliknya sendiri. Dan Eropa, bukannya melawan, justru “berupaya tanpa lelah untuk mencari kesepahaman awal.” Tentu, upaya keras memang diperlukan untuk tetap tersenyum sambil dipukul.
Pertanyaannya bukan lagi apakah Eropa bisa memulihkan hubungan baik dengan AS, tapi apakah Eropa bisa hidup tanpa bergantung padanya. Jawaban sejauh ini tampaknya adalah tidak. Bahkan untuk sekadar berpikir mandiri pun mereka masih canggung. Inisiatif pertahanan bersama? Masih sebatas konsep PowerPoint. Kedaulatan digital dan teknologi? Ketika perusahaan-perusahaan strategis mereka disasar oleh sanksi sekunder AS, yang dilakukan Eropa adalah—lagi-lagi—menulis surat protes.
Saat Trump menuntut agar negara-negara NATO menaikkan anggaran militer mereka hingga 5% dari PDB, banyak yang terperanjat. Padahal, sejak lama Washington mengeluh soal ‘beban pertahanan yang tidak adil’. Tapi kali ini, tuntutan itu terdengar lebih seperti tagihan bulanan dari perusahaan asuransi: “Kalau tidak bayar, saya tidak jamin perlindungan Anda.” Ini bukan sekadar aliansi militer, ini paket keamanan dengan cicilan tetap.
Pedro Sánchez, Perdana Menteri Spanyol, menyebut permintaan itu tidak masuk akal dan kontraproduktif. Trump, dengan gaya khasnya, menjawab akan “membuat mereka membayar dua kali lipat lewat tarif dagang.” Luar biasa. Diplomasi telah berubah menjadi barter kasar: euro untuk rudal, anggaran sosial diganti belanja senjata, dan ketakutan diproduksi dalam jumlah massal agar industri pertahanan tetap menggeliat.
Uni Eropa, yang dulu ingin menjadi kekuatan dunia ketiga—di luar kutub AS dan China—kini terlihat seperti anak kost idealis yang tetap minta kiriman dari orang tuanya tiap awal bulan, sambil menulis status panjang tentang pentingnya kemandirian. Ia berbicara tentang ‘autonomi strategis’, tetapi tidak bisa memutuskan bahkan ketika harus memilih antara Huawei atau Ericsson. Ia bicara soal perdamaian, tapi ikut menyuplai senjata ke medan konflik. Ia benci Trump, tapi tak bisa menolak ketika dijewer soal sumbangan NATO. Begitu banyak kontradiksi dalam satu badan politik yang katanya “dewasa”.
Bahkan soal ancaman Rusia, mereka pun terpecah. Yang satu melihat bayangan tank Rusia di perbatasan, yang lain melihat peluang bisnis dari ketegangan itu. Sementara Putin menyebut tuduhan soal invasi ke NATO sebagai “omong kosong”, para pemimpin Eropa sibuk menakut-nakuti warganya agar mau menerima pengurangan subsidi demi menambah jet tempur. Ketika realitas tak bisa meyakinkan, maka fiksi geopolitik harus diproduksi. Dalam dunia di mana logika sudah tidak penting, narasi adalah senjata. Dan Eropa, tampaknya mulai belajar dari Washington bagaimana cara memainkannya.
Sayangnya, Eropa bukan aktor yang baik dalam drama besar ini. Ia tidak tahu kapan harus tampil tegas, kapan harus mundur elegan. Ia terlalu sibuk berdiskusi, membentuk komite, dan membagi kuota pengungsi, sementara dunia berlari dengan kecepatan ledakan. Ia menginginkan pengaruh, tapi takut mengambil risiko. Ia mengutuk perang, tapi membiarkan ekonominya tumbuh dari ekspor alat tempur. Ia ingin menengahi konflik, tapi tak punya suara karena mikrofon dikendalikan dari seberang Atlantik.
Dunia sedang berubah. China, India, Turki, bahkan Brasil, mulai menunjukkan gigi. Mereka membangun poros alternatif, memperkuat sistem pembayaran sendiri, menantang dominasi dolar. Sementara itu, Eropa masih menimbang-nimbang: apakah mungkin kita membeli gas dari Rusia tanpa membuat AS marah? Apakah kita bisa menjalin dagang dengan Iran tanpa diblokir SWIFT? Pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan satu hal: Eropa masih belum benar-benar merdeka.
Bagi kami di dunia Selatan, melihat Eropa seperti melihat bangsawan tua yang pernah menguasai dunia kini kehilangan arah. Dulu ia menjajah dan memaksa negara lain belajar bahasa mereka. Kini ia tak bisa memutuskan kebijakan energi sendiri tanpa telepon dari Gedung Putih. Ironis, tentu saja. Tapi dunia tak pernah kekurangan ironi.
Indonesia pun bisa belajar dari absurditas ini. Jangan terlalu nyaman dalam bayang-bayang kekuatan besar, karena kenyamanan itu seringkali dibayar mahal. Eropa memberi kita pelajaran: bahwa modernitas, teknologi, dan kekayaan bukan jaminan kemandirian. Yang dibutuhkan adalah keberanian—berani memilih jalur sendiri, bahkan jika itu berarti berjalan sendirian sebentar.
Di akhir hari, Uni Eropa akan tetap berdiri. Ia akan tetap menggelar forum, menerbitkan dokumen strategi, dan membagikan dana pembangunan. Tapi selama ia tak bisa berkata “tidak” pada Washington, selama itu pula ia akan tetap menjadi satelit—elegan, canggih, tapi tetap mengorbit di bawah gravitasi Amerika.
Dan Trump? Ia tak butuh Eropa sebagai teman. Ia hanya butuh Eropa sebagai pelanggan. Beli senjata, patuhi tarif, lalu diam. Kalau keberatan, pintu keluar terbuka. Tapi semua tahu, Eropa tak akan beranjak ke mana-mana.
Sebab yang manja, meski mengeluh, jarang benar-benar pergi.
Pingback: Eropa di Persimpangan: Alarm Draghi dan Masa Depan