Opini
Aliansi atau Bisnis? Trump, Jerman, dan Permainan NATO

Donald Trump kembali dengan ancaman lamanya: menarik pasukan Amerika dari Jerman. Kali ini, dia mengincar Hungaria sebagai pengganti. Seakan dunia tidak cukup kacau, Trump tampaknya ingin menegaskan bahwa NATO bukan lagi urusan Amerika. Jerman, dengan lebih dari 35.000 personel AS di pangkalannya, kembali menjadi bulan-bulanan ego seorang presiden yang memperlakukan sekutu seperti anak buah perusahaan pribadinya.
Ancaman ini bukan barang baru. Pada 2020, Trump sudah pernah menyatakan niatnya menarik pasukan AS karena Jerman dianggap tidak cukup berkontribusi dalam belanja pertahanan NATO. Ketika Joe Biden naik, rencana itu dibatalkan. Namun kini, ancaman serupa muncul, menunjukkan bahwa bagi Trump, komitmen aliansi bukan urusan moral, melainkan soal siapa yang mau membayar lebih.
Jika melihatnya dari teori aliansi, ini adalah contoh klasik bagaimana pemimpin otoriter memandang persekutuan bukan sebagai mekanisme pertahanan kolektif, melainkan sebagai transaksi bisnis. Aliansi militer seharusnya didasarkan pada kepercayaan dan kepentingan bersama. Tapi bagi Trump, NATO adalah toko kelontong, dan setiap anggotanya harus membayar lebih agar tetap mendapat perlindungan.
Posisi Jerman dalam NATO bukan sembarangan. Negara ini adalah salah satu pilar utama pertahanan Eropa, rumah bagi pangkalan udara Ramstein, pusat logistik AS, serta gudang senjata nuklir Amerika. Jika pasukan AS ditarik, maka bukan hanya Jerman yang kehilangan, tetapi seluruh NATO. Tapi siapa peduli? Trump lebih tertarik memberi kuliah ekonomi kepada sekutunya ketimbang mempertahankan stabilitas global.
Sementara itu, Hungaria justru menjadi penerima manfaat dari politik acak-acakan ini. Viktor Orban, yang semakin dekat dengan Trump, bisa saja menyambut pasukan AS dengan tangan terbuka. Bukan karena Hungaria butuh perlindungan lebih, tetapi karena ini memberinya pengaruh lebih besar di dalam Uni Eropa. Apa jadinya jika NATO mulai bergeser ke arah pemerintahan populis?
Langkah ini juga bisa dianggap sebagai pesan tersirat bagi Rusia. Dengan menarik pasukan dari Jerman dan merelokasi mereka ke Hungaria, Trump menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar peduli dengan keamanan Eropa Timur. Ini memperkuat persepsi bahwa jika NATO runtuh, itu bukan karena kekuatan eksternal, melainkan karena kehancuran dari dalam akibat kebijakan pemimpinnya sendiri.
Komitmen pertahanan kolektif seharusnya tidak berubah hanya karena seorang presiden baru memiliki ego yang lebih besar dari pikirannya. Namun, inilah risiko yang dihadapi negara-negara NATO. Mereka tidak hanya harus menghadapi ancaman dari luar, tetapi juga dari dalam, terutama ketika pemimpin AS memperlakukan persekutuan sebagai kontrak jangka pendek yang bisa dibatalkan kapan saja.
Friedrich Merz, yang bersiap menjadi kanselir Jerman, tampaknya sudah paham betul arah permainan ini. Pernyataannya bahwa Jerman tidak bisa lagi bergantung pada AS adalah refleksi dari ketidakpastian yang telah diciptakan oleh Trump. Jika Eropa tidak segera menata ulang pertahanan mereka sendiri, maka bukan mustahil bahwa masa depan NATO hanya akan menjadi lembaran sejarah yang dikenang dengan ironi.
NATO selama ini berdiri atas prinsip bahwa serangan terhadap satu anggota adalah serangan terhadap semuanya. Tapi dengan Trump di kursi kepresidenan, tampaknya prinsip itu akan segera digantikan oleh doktrin baru: bayar lebih atau keluar. Ini bukan lagi aliansi, melainkan perlindungan berbayar ala mafia, dengan Washington sebagai bos besarnya.
Jerman dan negara-negara Eropa lainnya harus menyadari bahwa ketergantungan mereka pada AS adalah kelemahan yang bisa dimanipulasi. Jika Trump terpilih kembali, maka aliansi ini bisa berubah dari benteng pertahanan menjadi alat tawar-menawar. Eropa harus mulai bertanya: apakah masih masuk akal untuk menyerahkan keamanan mereka kepada seseorang yang memperlakukan pertahanan kolektif seperti lelang barang bekas?
Mungkin inilah saatnya bagi Eropa untuk benar-benar membangun pertahanan mereka sendiri. Jika NATO tidak lagi bisa diandalkan karena kepemimpinan yang tidak stabil di AS, maka Uni Eropa harus mengambil langkah lebih tegas. Mengurangi ketergantungan pada Washington bukan hanya soal kebanggaan, tapi juga soal kelangsungan hidup. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa ancaman Trump kali ini hanyalah gertakan.
Jika pasukan AS benar-benar dipindahkan ke Hungaria, maka ini akan menjadi preseden baru dalam sejarah NATO. Sebuah langkah yang menunjukkan bahwa komitmen pertahanan kini bergantung pada hubungan pribadi antar pemimpin, bukan pada kesepakatan strategis jangka panjang. Dan jika itu terjadi, maka NATO bukan lagi persekutuan, melainkan permainan catur politik yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Trump mungkin mengira bahwa ini hanya taktik negosiasi untuk menekan Jerman agar membayar lebih. Tapi realitasnya, ini adalah pukulan telak bagi kredibilitas AS di mata sekutu-sekutunya. Jika Washington bisa meninggalkan Jerman begitu saja, lalu siapa yang bisa menjamin bahwa negara-negara Baltik, Polandia, atau bahkan Prancis tidak akan menjadi target berikutnya?
Sejarah menunjukkan bahwa aliansi yang dibangun atas dasar kepentingan sesaat tidak akan bertahan lama. NATO lahir dari pemahaman bahwa keamanan bukan sekadar soal angka di neraca keuangan, tetapi soal komitmen untuk melindungi satu sama lain dari ancaman eksternal. Tapi bagi Trump, semua itu tampaknya hanyalah lelucon mahal yang bisa dihentikan kapan saja.
Pada akhirnya, ancaman ini tidak hanya menguji ketahanan Jerman, tetapi juga ketahanan NATO secara keseluruhan. Jika Eropa tidak segera mengambil kendali atas pertahanan mereka sendiri, maka bukan mustahil mereka akan dipermainkan oleh pemimpin AS yang berikutnya. Dan jika itu terjadi, maka dunia akan menyaksikan bagaimana sebuah aliansi yang pernah menjadi simbol kekuatan Barat akhirnya runtuh karena keserakahan seorang pria yang lebih peduli pada angka daripada stabilitas global.