Opini
Alarm Sosial: Rakyat Tercekik, Pejabat Menikmati

Bayangkan sebuah pagi di kota kecil Pati. Matahari baru menembus celah rumah-rumah sempit, tetapi di meja-meja sederhana, warga menatap tagihan PBB-P2 yang tiba-tiba naik tiga kali lipat. Ibu Suriani menunduk, tangannya gemetar memegang kertas itu, bayangan kebutuhan rumah tangga bergumul dengan angka pajak. Satu tagihan seolah menelan tabungan selama sebulan, sementara lauk pauk dan tabung gas menunggu dibeli. Rasa adil? Seolah tertelan asap pabrik yang menghitamkan langit kota.
Sementara itu, jauh di gedung pemerintahan, pejabat menatap angka yang sama, tapi dari layar komputer. Kepala Dinas Kominfo Bone menyatakan kenaikan hanya 65%. Kota Cirebon: “Tidak sampai 1.000%,” klaim pejabatnya. Jombang: “Hanya menjalankan aturan lama.” Formalitas berlapis-lapis, rapih, tertib, tapi jauh dari realitas di lapangan. Rakyat menjerit di balik angka, pejabat tersenyum di balik statistik. Ironi ini seperti musik yang salah nada di panggung kehidupan—membuat telinga rakyat sakit, tapi mereka yang berada di panggung tetap menikmati konsernya sendiri.
Ketika kita bicara soal efisiensi anggaran. Logikanya sederhana: jika negara perlu menekan belanja, mulailah dari kantong pemerintah. Tapi kenyataannya? Rakyat yang harus menanggung. Pakar ekonomi Herman Suparman menegaskan, pemangkasan dana transfer ke daerah memaksa pemerintah mencari sumber lain, dan pajak menjadi pilihan mudah. Praktis, instan, tapi menyayat nurani warga. Seperti memberi obat pahit pada anak-anak yang lapar—mereka tetap harus menelan.
Dan di sinilah absurdnya: anggota DPR RI menikmati gaji dan tunjangan yang melimpah. “Take home pay” mencapai Rp100 juta lebih, rumah dinas tersedia, tunjangan fungsi pengawasan, komunikasi, jabatan, paket bulanan—semua sudah diatur resmi. Rakyat, di sisi lain, menatap angka PBB-P2 yang melonjak, berdebat sendiri dengan kenyataan hidup yang semakin berat. Mereka bertanya: apakah wakil rakyat benar-benar hadir untuk kami, atau hanya hadir di meja rapat dan dokumen resmi?
Data konkret memperjelas ironi ini. Di Bone, kenaikan PBB-P2 dilaporkan mencapai 200-300%. Di Cirebon, 150-1.000%. Di Jombang, 700-1.200%. Ini bukan sekadar angka statistik; ini adalah nyawa sehari-hari yang terguncang, dapur yang kering, anak-anak yang harus menunda sekolah atau lauk makan. Angka yang seharusnya bisa membeli nasi dan sayur dialihkan menjadi pendapatan tambahan pemerintah daerah. Sementara pejabat menikmati fasilitas dan tunjangan, seolah hidup mereka tak tersentuh realitas yang memukul warga.
Tekanan ekonomi yang dihadapi rakyat nyata: daya beli turun, PHK bergelombang, harga kebutuhan meningkat, sementara pemerintah pusat mengklaim pertumbuhan 5,12% kuartal II 2025. Statistik bisa saja indah, tapi di rumah-rumah warga, kenyataan pahit terasa di setiap sudut: lauk yang menipis, tabung gas kosong, anak-anak menunggu sekolah dibayar. Efisiensi anggaran yang dibanggakan pemerintah terdengar seperti mantra kosong, sementara rakyat membayar harga sesungguhnya.
Rasa kecewa rakyat tak bisa diabaikan. Sejarah mengajarkan kita: akumulasi ketidakadilan ekonomi dan politik akan meledak. 1998 adalah bukti nyata. Gelombang protes bisa muncul bukan karena rakyat haus kekuasaan, tapi karena mereka haus keadilan. Jika rakyat menatap angka pajak, melihat pejabat tersenyum dengan gaji dan fasilitas berlimpah, kekecewaan itu bukan sekadar rasa, tapi alarm keras bagi pemerintah. Demonstrasi Pati, Bone, Cirebon, Jombang, Semarang—hanya tanda awal.
Bayangkan efisiensi dari perspektif rakyat: pajak naik, harga naik, gaji stagnan. Dari perspektif pejabat: tunjangan tetap, fasilitas lengkap, gaji bertambah. Kontras ini seperti langit biru yang kontras dengan asap hitam yang menutupi kota. Sementara rakyat tercekik, pejabat menikmati udara segar di lantai atas gedung pemerintah.
Mari kita lihat sisi moralnya. Pajak seharusnya instrumen keadilan. Efisiensi anggaran seharusnya bukan alat menekan rakyat. Pemerintah yang peka akan melihat angka bukan sekadar di dokumen, tapi di tangan ibu Suriani, di wajah buruh yang lelah, di mata mahasiswa yang menunda beli buku karena PBB-P2 naik. Kegagalan melihat ini bukan sekadar administrasi, tapi kegagalan moral.
Pejabat daerah tetap beralasan kenaikan NJOP menyesuaikan nilai tanah lama. Formalitas ini masuk akal di buku peraturan, tapi jauh dari empati sosial. Seorang warga dengan satu hektare tanah, yang melihat pajaknya naik tiga kali lipat, tidak peduli soal zona nilai tambah. Ia peduli bagaimana tetap makan, tetap menghidupi anak, tetap bertahan hidup. Pemerintah yang peka akan melihat itu, bukan hanya angka resmi.
Lebih jauh lagi, fenomena ini menimbulkan ketegangan sosial. Rakyat yang menanggung beban berlebihan, mulai mempertanyakan legitimasi pemerintah dan wakil rakyat. Rasa percaya yang dulu ada, kini berangsur luntur. Apakah pejabat benar-benar paham realitas hidup rakyat, atau hanya mengurus angka, rapat, dan protokol yang jauh dari kenyataan?
Jika alarm ini dibiarkan, sejarah bisa terulang. Gelombang protes bukan sekadar simbol politik, tapi reaksi alami manusia terhadap ketidakadilan yang menumpuk. Rakyat tidak akan diam saat hidupnya terus diperas, sementara pejabat menikmati kenyamanan yang tak pernah mereka rasakan. Ini bukan soal politik praktis, tapi soal moral dan keadilan sosial.
Kesimpulannya tegas: alarm keras berbunyi. Rakyat tercekik, pejabat menikmati hidup. Kekecewaan nyata. Potensi gelombang protes bukan lagi sekadar ancaman; ini realitas yang menunggu detonasi. PBB-P2, pajak, efisiensi, gaji DPR—semua saling terkait. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal keadilan sosial dan moral publik.
Jika pemerintah ingin dipercaya, dengarkan rakyat. Jangan hanya menunduk di balik angka dan dokumen. Ambil langkah pro-rakyat: kurangi pengeluaran simbolik, kaji ulang tunjangan pejabat, mulai efisiensi dari kantong sendiri. Jangan biarkan sejarah mengulang diri: ketidakadilan yang menumpuk akan meledak. Demonstrasi bukan lagi sekadar aspirasi—ini peringatan nyata. Jangan sampai pejabat tersenyum di atas meja kerja, sementara rakyat menanggung beban nyata dari ketidakpekaan mereka.
Rakyat tidak hanya berharap, mereka menuntut. Mereka ingin keadilan, bukan angka, bukan dokumen, bukan klaim formal yang jauh dari kenyataan. Alarm ini keras, nyata, dan tidak bisa diabaikan. Pemerintah harus peka. Atau sejarah akan kembali menuntut jawabannya, dengan cara yang mungkin tidak bisa lagi dikendalikan oleh protokol atau statistik.
Sumber: