Opini
Al-Sharaa, Pembantaian, dan Sekuritisasi Hipokrit di Suriah

Laporan terbaru dari Suriah menunjukkan betapa brutalnya wajah kekuasaan yang lahir dari darah dan abu perang. Ahmed al-Sharaa, presiden sementara Suriah, berbicara tentang hukum dan keadilan seolah-olah negeri yang ia pimpin bukanlah kubangan darah. Ia berjanji akan menghukum siapa pun yang bertanggung jawab atas pembantaian massal terhadap komunitas Alawite. Tetapi, ada satu masalah: pembantaian itu dilakukan oleh pasukannya sendiri.
Dalam wawancaranya dengan Reuters, al-Sharaa menyampaikan bahwa Suriah adalah negara hukum dan keadilan akan ditegakkan. Ironi memang, karena di laporan berikutnya, Kementerian Pertahanan Suriah dengan bangga mengumumkan bahwa operasi militer di wilayah pesisir telah “berhasil” membersihkan sisa-sisa rezim lama, termasuk dengan membantai ratusan warga sipil. Dengan kata lain, mereka yang seharusnya dilindungi justru dibunuh atas nama stabilitas.
Analisis Kekerasan Negara dan Sekuritisasi menjadi dua pisau yang tepat untuk membedah tragedi ini. Kekerasan negara adalah praktik di mana pemerintah menggunakan aparatnya untuk menindas kelompok yang dianggap musuh. Sementara itu, sekuritisasi adalah strategi untuk mengubah kelompok tertentu menjadi ancaman bagi keamanan nasional, sehingga kekerasan terhadap mereka bisa dibenarkan. Kedua strategi ini berjalan bersamaan di Suriah, di mana loyalis Assad dikonstruksi sebagai ancaman yang harus dihancurkan demi “stabilitas.”
Retorika yang digunakan al-Sharaa adalah contoh sempurna dari sekuritisasi. Ia menyatakan bahwa loyalis Assad dan pihak asing adalah dalang kekacauan, seolah-olah pembantaian sipil yang dilakukan pasukannya adalah respons yang wajar. Kata-kata seperti “mempertahankan rakyat dari bahaya” atau “menjaga persatuan” hanyalah bumbu propaganda untuk menutupi genosida sistematis.
Faktanya, sekitar 700 warga sipil Alawite dibunuh dalam operasi militer ini. Perempuan, anak-anak, dan orang tua menjadi korban atas nama “keamanan nasional.” Jika al-Sharaa benar-benar peduli pada hukum, mengapa ia tidak mengerahkan pasukan untuk melindungi minoritas ini? Mengapa mereka justru dijadikan target dalam kampanye pembersihan politik yang dikemas sebagai operasi militer?
Jangan tertipu dengan komite investigasi independen yang didirikan. Komite seperti ini adalah taktik klasik rezim otoriter. Mereka akan bekerja lamban, membuat laporan yang kabur, dan pada akhirnya menyalahkan pihak ketiga. Sementara itu, pasukan pemerintah yang bertanggung jawab atas pembantaian ini akan tetap bebas berkeliaran. Sejarah sudah membuktikan bahwa “investigasi” yang dikelola oleh pemerintah sendiri tidak akan pernah membongkar kebenaran.
Keputusan untuk menyerang komunitas Alawite juga menunjukkan bahwa al-Sharaa tidak menginginkan keragaman di Suriah. Ia tidak melihat minoritas sebagai bagian dari rakyat, tetapi sebagai penghalang bagi stabilitas yang ia bayangkan. Padahal, stabilitas yang dibangun di atas darah warga sendiri hanyalah ilusi, sesuatu yang bisa runtuh kapan saja ketika kekerasan menjadi alat utama untuk mengatur negara.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa militer Suriah, yang kini berada di bawah kendali pemerintahan transisi, adalah mesin yang sudah dilatih untuk menumpas perbedaan. Mereka bukan sekadar aparat keamanan, tetapi juga alat politik untuk memastikan bahwa hanya kelompok yang didukung pemerintah yang bisa bertahan hidup. Pembantaian ini bukan sekadar kekejaman, tetapi bagian dari strategi jangka panjang untuk menyingkirkan semua yang dianggap sebagai ancaman.
Al-Sharaa mungkin ingin terlihat sebagai pemimpin baru yang membawa perubahan, tetapi faktanya, ia hanyalah wajah baru dari kekerasan yang sudah lama membentuk Suriah. Ia berbicara tentang “kesatuan nasional,” tetapi yang ia maksud bukanlah persatuan dalam keberagaman, melainkan persatuan dalam ketakutan. Semua orang yang berbeda darinya, baik dalam keyakinan, pandangan politik, atau sekadar sejarah keterlibatan dengan rezim sebelumnya, harus disingkirkan.
Jika kita melihat pola ini dengan lebih luas, sekuritisasi di Suriah bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Dunia sudah terbiasa dengan narasi tentang ancaman internal yang digunakan untuk membenarkan kekerasan negara. Dari Nazi yang menuduh Yahudi sebagai penyebab kemerosotan Jerman, hingga Amerika Serikat yang menggunakan ancaman terorisme untuk melegitimasi perang tak berkesudahan, taktik ini selalu sama. Pemerintah menciptakan musuh imajiner, lalu membunuh rakyatnya sendiri untuk mengatasi musuh itu.
Tragedi di pesisir Suriah menunjukkan bahwa perang belum benar-benar usai. Kekerasan bukan lagi sekadar alat untuk melawan musuh dari luar, tetapi juga digunakan untuk membentuk tatanan politik yang baru. Tidak ada yang aman di bawah pemerintahan seperti ini. Hari ini, Alawite menjadi korban. Besok, bisa jadi kelompok lain yang dijadikan target. Selama sekuritisasi menjadi alat utama kekuasaan, siapa pun yang tidak tunduk bisa menjadi musuh.
Narasi yang digunakan pemerintah Suriah untuk membenarkan pembantaian ini juga menarik untuk dibedah. Ketika kelompok yang berkuasa ingin menjustifikasi pembunuhan massal, mereka selalu menggunakan istilah yang menenangkan. Kata-kata seperti “menjaga keamanan,” “memulihkan ketertiban,” atau “menghilangkan ancaman” adalah racun yang dibungkus dengan emas. Kenyataannya, mereka hanya mengganti satu bentuk penindasan dengan yang lain.
Mungkin ada yang bertanya: apakah dunia akan peduli? Jawabannya sudah bisa ditebak. Kecaman internasional akan keluar dalam bentuk pernyataan diplomatis yang dingin. Laporan-laporan akan ditulis, tetapi tidak akan ada tindakan nyata. Sementara itu, al-Sharaa dan pasukannya akan terus menjalankan “operasi pembersihan” berikutnya, dan korban akan terus berjatuhan.
Kita hidup di dunia di mana kekerasan negara sering kali diberi label yang lebih ramah agar bisa diterima publik. Ketika pasukan negara membantai rakyatnya sendiri, mereka menyebutnya “operasi keamanan.” Ketika warga sipil melawan, mereka disebut “teroris.” Al-Sharaa memainkan permainan ini dengan sangat baik, tetapi sejarah tidak akan pernah melupakannya.
Yang harus kita lakukan sekarang adalah menolak narasi yang sudah dirancang untuk menutupi kekejaman ini. Dunia harus berhenti menerima begitu saja klaim pemerintah yang menyatakan bahwa kekerasan dilakukan demi kebaikan. Tidak ada kebaikan dalam pembantaian. Tidak ada stabilitas dalam genosida yang disamarkan sebagai operasi militer. Dan yang pasti, tidak ada masa depan bagi Suriah jika pemimpinnya sendiri melihat rakyatnya sebagai musuh yang harus dihancurkan.