Opini
Al-Sharaa: Normalisasi Israel demi Kekuasaan Suriah?

Damaskus, kota yang penuh luka perang, menyimpan rahasia di balik dinding-dindingnya yang retak. Di sinilah, menurut laporan Bloomberg, Anggota Kongres AS Cory Mills bertemu dengan Ahmed al-Sharaa, Presiden Sementara Suriah, dalam misi “pencari fakta” yang kontroversial. Pertemuan ini, diselenggarakan oleh warga Amerika keturunan Suriah, memicu spekulasi: akankah al-Sharaa, dengan sikap pragmatisnya, menormalisasi hubungan dengan Israel demi kekuasaan? Langkah ini, jika diambil, bisa mengubah wajah Suriah dan Timur Tengah.
Laporan tersebut mengungkap bahwa Mills membahas kemungkinan pencabutan sanksi AS, yang telah melumpuhkan ekonomi Suriah, dengan syarat tertentu. Salah satunya adalah normalisasi dengan Israel melalui Abraham Accords, kerangka yang telah menjembatani hubungan Israel dengan negara-negara seperti UEA dan Bahrain. Al-Sharaa, mantan komandan Hayat Tahrir al-Sham dengan masa lalu terkait al-Qaeda, tampak terbuka pada ide ini. Surat yang ia titipkan untuk Donald Trump, meski isinya misterius, menandakan ambisi untuk mendekati Washington.
Bagi al-Sharaa, normalisasi bisa menjadi kunci untuk mempertahankan kekuasaan. Sanksi AS, yang diberlakukan selama perang melawan pemberontak yang didukung asing, telah menyebabkan kemiskinan massal dan menghambat rekonstruksi. Data dari PBB menunjukkan bahwa 90% rakyat Suriah hidup di bawah garis kemiskinan, dengan inflasi mencapai 200% pada 2023. Pencabutan sanksi dapat membuka aliran bantuan dan investasi, memperkuat posisi al-Sharaa di tengah Suriah yang terpecah.
Pragmatisme al-Sharaa bukanlah hal baru. Ia telah mengubah citranya dari militan menjadi pemimpin yang mencari legitimasi internasional. Kesiapannya berdialog dengan AS menunjukkan fleksibilitas ideologis yang kontras dengan sikap Suriah di bawah Assad, yang menolak kompromi dengan Israel. Abraham Accords, yang kini mencakup empat negara Arab, menawarkan model yang tampak menggoda: normalisasi demi stabilitas ekonomi dan dukungan Barat. Bagi al-Sharaa, ini bisa menjadi jalan keluar dari krisis.
Namun, normalisasi bukan tanpa harga. Suriah bukan sekadar negara Arab; ia adalah benteng perlawanan terhadap Israel, dengan sejarah panjang mendukung Hizbullah dan Palestina. Dataran Tinggi Golan, yang diduduki Israel sejak 1967, tetap menjadi luka terbuka. Menurut laporan, Israel meningkatkan serangan udara di Suriah sejak al-Sharaa berkuasa, menunjukkan persepsi bahwa ia lebih lunak. Jika al-Sharaa menyerah pada normalisasi, ia berisiko dianggap mengkhianati identitas nasional Suriah.
Risiko domestik juga membayangi. Laporan menyebutkan pembunuhan massal warga Alawit di bawah al-Sharaa, yang memicu kecaman luas. Nasionalis Suriah dan komunitas yang mendukung Palestina mungkin melihat normalisasi sebagai pengkhianatan. Survei oleh Syrian Center for Policy Research pada 2022 menunjukkan 65% rakyat Suriah menentang kompromi dengan Israel tanpa pembebasan Golan. Pemberontakan atau protes massal bisa mengguncang kekuasaan al-Sharaa, terutama di kalangan yang masih setia pada ideologi perlawanan.
Di ranah regional, normalisasi bisa memutus aliansi dengan Iran dan Hizbullah, sekutu kunci Suriah. Iran telah menggelontorkan miliaran dolar dan ribuan pasukan untuk mendukung Assad selama perang, sementara Hizbullah bergantung pada Suriah sebagai jalur logistik. Normalisasi akan melemahkan Poros Perlawanan, yang menentang hegemoni Israel. Meskipun UEA dan Bahrain telah menormalisasi hubungan tanpa keterasingan total, konteks Suriah berbeda karena peran strategisnya dalam aliansi anti-Israel.
Namun, tren normalisasi di Teluk memberikan al-Sharaa ruang untuk bermanuver. UEA, misalnya, menerima investasi Israel senilai $2 miliar pada 2022, menurut Kamar Dagang Dubai. Dukungan dari negara-negara Teluk ini bisa mengimbangi kehilangan Iran, terutama jika AS menjamin bantuan ekonomi. Al-Sharaa, dengan rekam jejaknya yang oportunis, kemungkinan melihat ini sebagai peluang untuk memperkuat posisinya, meskipun itu berarti mengorbankan prinsip-prinsip lama Suriah.
Ketergantungan pada AS dan Israel, bagaimanapun, membawa risiko jangka panjang. Laporan menyinggung syarat AS seperti penghancuran senjata kimia dan kerja sama kontraterorisme, yang selaras dengan agenda Israel. Israel, yang telah melancarkan lebih dari 200 serangan udara di Suriah sejak 2021 menurut SOHR, mungkin menuntut demiliterisasi perbatasan atau kebijakan anti-Iran. Ini bisa membatasi kedaulatan Suriah, menjadikan al-Sharaa pion dalam permainan geopolitik yang lebih besar.
Di sisi lain, al-Sharaa bukan pemimpin biasa. Ia telah bertahan dari perang saudara, mengelola faksi-faksi bersenjata, dan membangun kekuatan di Idlib sebelum merebut Damaskus. Kemampuannya untuk beradaptasi membuatnya mungkin percaya diri bisa mengelola dampak normalisasi. Ia bisa menawarkan konsesi kepada AS sambil menenangkan publik Suriah dengan janji kemakmuran. Namun, laporan tentang kekerasan sektarian di bawahnya menunjukkan tantangan membangun kepercayaan rakyat.
Normalisasi juga bisa mengubah dinamika Palestina. Suriah telah lama menjadi rumah bagi kelompok-kelompok seperti Hamas, yang menentang Israel. Jika al-Sharaa bergabung dengan Abraham Accords, ia mungkin harus membatasi aktivitas mereka, seperti yang dilakukan Yordania pasca-perjanjian damai 1994. Ini akan melemahkan perjuangan Palestina, yang masih didukung oleh 70% rakyat Suriah menurut jajak pendapat 2023 oleh Arab Barometer, memperdalam perpecahan sosial.
Pilihan al-Sharaa mencerminkan dilema klasik: kekuasaan versus prinsip. Ia bisa memilih normalisasi, mengikuti jejak UEA, untuk mendapatkan sanksi dicabut dan dukungan Barat. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekonomi Suriah menyusut 60% sejak 2011; pemulihan membutuhkan miliaran dolar yang hanya bisa datang dari investor asing. Namun, ia harus menghadapi kemarahan rakyat dan sekutu lama, yang melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap sejarah Suriah.
Pada akhirnya, al-Sharaa berdiri di persimpangan. Normalisasi menawarkan jalan menuju stabilitas dan kekuasaan, tetapi dengan harga kedaulatan dan solidaritas regional. Ia mungkin bertaruh bahwa rakyat Suriah, yang lelah perang, akan menerima kompromi demi roti dan keamanan. Namun, Damaskus bukan hanya kota; ia adalah simbol perlawanan. Jika al-Sharaa “menjual” Suriah, ia harus siap menghadapi badai yang mengintai di balik tembok-temboknya yang retak.