Connect with us

Opini

Al-Sharaa & Netanyahu: Dua Wajah Genosida Berbeda Topeng

Published

on

Pada 12 Maret, Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) melaporkan bahwa jumlah korban tewas dari pembantaian terbaru yang dilakukan oleh pasukan Ahmad al-Sharaa terhadap warga Alawite di pesisir Suriah telah melampaui 1.000 jiwa. Tiga pembantaian baru didokumentasikan, dan angka korban terus bertambah seiring ditemukannya lebih banyak jasad di kuburan massal.

Laporan mengerikan ini mengingatkan kita pada gambaran yang sudah akrab: tumpukan mayat yang berserakan, anak-anak yang mati dalam pelukan ibu mereka, dan para lelaki yang dihukum mati tanpa pengadilan. Namun, ada satu hal yang menarik—pembantai kali ini bukan Netanyahu, bukan tentara zionis, melainkan seorang tokoh yang pernah dicitrakan sebagai harapan baru Suriah.

Ahmad al-Sharaa, mantan pemimpin Al-Qaeda yang kini menjabat sebagai Presiden Transisi Suriah, tiba-tiba berubah dari tokoh revolusioner menjadi algojo brutal. Ia dengan fasih berbicara tentang persatuan nasional di istana kepresidenannya di Damaskus, sementara mayat warga sipil di pesisir Suriah masih berasap.

Jika dunia mengutuk Netanyahu atas genosida di Gaza, maka al-Sharaa berhak mendapatkan gelar yang sama. Namun, bedanya, Netanyahu didukung penuh oleh kekuatan Barat, sementara al-Sharaa masih mencari pembenaran untuk kebiadabannya. Tetapi, keduanya memiliki satu kesamaan: tangan mereka berlumuran darah.

Mari kita lihat bagaimana pisau analisis hukum internasional berbicara. Netanyahu telah lama dituduh melanggar hukum humaniter internasional, membantai ribuan warga sipil Palestina, menghancurkan rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur vital. Al-Sharaa, jika laporan ini benar, telah mengikuti jejak yang sama dengan melakukan eksekusi massal terhadap Alawite di Latakia dan Tartous.

Statuta Roma mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai tindakan pembunuhan, penyiksaan, atau penganiayaan sistematis terhadap populasi sipil. Netanyahu masuk dalam kategori ini, demikian pula al-Sharaa. Keduanya menganggap kelompok tertentu sebagai ancaman eksistensial yang harus dihabisi dengan kekuatan militer.

Namun, jika kita melihatnya dari perspektif politik kekuasaan, al-Sharaa dan Netanyahu juga berbagi sifat yang sama. Keduanya adalah pemimpin otoriter yang menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mempertahankan kendali. Netanyahu bersembunyi di balik dalih ‘keamanan nasional’, sedangkan al-Sharaa menjual propaganda ‘stabilitas negara’.

Hannah Arendt dalam “The Origins of Totalitarianism” menggambarkan bagaimana kekuasaan otoriter sering kali menciptakan musuh internal untuk membenarkan tindakan represif. Netanyahu memilih Palestina sebagai targetnya, sementara al-Sharaa memilih warga Alawite yang dianggap sebagai warisan rezim Assad yang harus dihapuskan.

Ada sebuah ironi yang tak terbantahkan dalam tragedi ini. Al-Sharaa dulunya adalah bagian dari kelompok yang menentang Assad, berjuang dengan retorika revolusioner. Kini, ia sendiri menjadi monster yang ia lawan. Sama seperti Netanyahu yang dulu mengklaim Israel sebagai ‘korban sejarah’ tetapi kini memainkan peran sebagai penindas paling brutal.

Mari kita telaah pola kekerasan mereka menggunakan teori Gregory H. Stanton tentang 10 tahap genosida. Netanyahu telah melewati hampir semua tahap: klasifikasi, dehumanisasi, pengorganisasian pembantaian, hingga penghancuran total populasi Palestina. Al-Sharaa, meski baru berada di tahap awal, sudah menunjukkan pola serupa.

Salah satu indikator utama genosida adalah dehumanisasi korban. Netanyahu menggambarkan Palestina sebagai ‘teroris’ yang harus dihancurkan. Al-Sharaa pun tak jauh berbeda; ia membiarkan pasukan HTS memburu warga Alawite seperti hewan buruan. Pembenaran moral? Tidak ada, kecuali narasi kosong tentang ‘keamanan nasional’.

Pola pembantaian yang dilakukan oleh al-Sharaa dan Netanyahu juga mencerminkan strategi ‘politik penghapusan’ yang dipaparkan oleh Chomsky. Netanyahu menggunakan dalih melawan Hamas untuk mengebom kamp-kamp pengungsi, sementara al-Sharaa menggunakan dalih ‘melawan sisa-sisa rezim lama’ untuk membantai warga sipil Alawite.

Namun, ada satu perbedaan besar yang menguntungkan Netanyahu. Ia memiliki perlindungan dari kekuatan global. Netanyahu bisa melakukan genosida tanpa takut ditangkap, karena ia memiliki AS dan sekutu Barat di sisinya. Al-Sharaa? Ia belum memiliki perisai politik yang sama, tapi siapa tahu? Dunia selalu punya ruang untuk memaafkan pembunuh selama kepentingan geopolitik mendukungnya.

Jika laporan-laporan ini benar, al-Sharaa harus diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Tapi di sinilah absurditas hukum internasional: Netanyahu pun seharusnya sudah lama diadili, tapi tetap bebas. Dunia hanya peduli dengan keadilan jika itu menguntungkan mereka. Para tiran seperti al-Sharaa dan Netanyahu tahu betul cara memainkan sistem ini.

Dalam wawancaranya dengan Reuters, al-Sharaa berkata, “Suriah adalah negara hukum. Hukum akan berjalan.” Pernyataan ini pantas dimasukkan dalam arsip kebohongan terbesar abad ini, sejajar dengan klaim Netanyahu tentang ‘hak Israel untuk membela diri’ saat ia menjatuhkan bom di atas rumah sakit Gaza.

Jika dunia benar-benar peduli dengan keadilan, maka Netanyahu dan al-Sharaa harus dihukum dengan standar yang sama. Namun, kenyataannya, hukum internasional hanya menjadi alat bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Netanyahu tetap aman di Tel Aviv, al-Sharaa masih nyaman di Damaskus, dan warga sipil terus menjadi korban.

Sebagai penutup, mari kita renungkan sebuah pertanyaan: Berapa banyak lagi mayat yang harus bertumpuk sebelum dunia mengakui bahwa mereka yang berteriak ‘perdamaian’ sering kali adalah algojo yang paling kejam? Jika Netanyahu bisa membantai tanpa konsekuensi, mengapa al-Sharaa tidak?

 

*Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *