Opini
Al-Sharaa dan Tuntutan AS: Drama Politik yang Absurd

Sungguh luar biasa dunia ini bekerja. Ahmad al-Sharaa, mantan komandan kelompok radikal yang pernah bersumpah menghancurkan musuh-musuhnya dengan jihad, kini berperan sebagai presiden transisi Suriah yang ‘beradab’. Di tengah hiruk-pikuk kekuasaan yang baru saja direbutnya, datanglah sang juru selamat dari Washington dengan daftar tuntutan yang, tentu saja, terdengar seperti lagu lama yang diputar ulang di kaset rusak. Bersihkan pemerintah dari unsur ekstremis, katanya. Hancurkan senjata kimia, katanya. Pastikan tak ada orang-orang berbahaya dalam pemerintahan, katanya. Dan yang lebih menarik, apakah itu termasuk dirinya sendiri?
Amerika Serikat, sang dalang abadi di panggung geopolitik, memberikan daftar ‘syarat’ bagi al-Sharaa untuk bisa menikmati sejuknya keringanan sanksi. Bayangkan, seseorang yang naik ke tampuk kekuasaan dengan darah dan mesiu, kini diminta untuk menjadi sosok pemimpin yang moderat, bersih, dan beradab. Sebuah ironi yang bahkan George Orwell pun mungkin akan kesulitan membayangkannya. Apakah AS benar-benar berpikir bahwa al-Sharaa akan mengkhianati rekan-rekan seperjuangannya? Ataukah ini hanya sekadar pertunjukan wayang kulit, di mana dalangnya sendiri pun tak percaya dengan lakon yang sedang dipentaskan?
Di antara tuntutan yang diajukan AS, salah satunya adalah agar al-Sharaa menyingkirkan ‘pejuang asing’ yang kini menduduki posisi strategis di pemerintahan dan militer. Para jihadis Uyghur, Jordania, Turki, Albania, Mesir, dan Palestina yang dulu bertaruh nyawa untuk menumbangkan Assad, kini dianggap sebagai beban yang harus disingkirkan. Lucu, mengingat mereka adalah bagian dari mesin perang yang memungkinkan al-Sharaa untuk berada di posisi ini. Apakah mereka akan menerima begitu saja kenyataan bahwa tuan mereka kini berubah haluan? Atau justru, mereka sedang merencanakan sesuatu di balik bayang-bayang kekuasaan?
Sejarah telah berulang kali mengajarkan bahwa para diktator dan pemberontak memiliki hubungan yang lebih mirip perkawinan yang dipaksa daripada persahabatan sejati. Ketika kepentingan sudah tidak lagi sejalan, maka pisau pun siap ditancapkan dari belakang. AS ingin al-Sharaa mengusir mereka yang dulu berdarah-darah bersamanya. Jika ini terjadi, Suriah mungkin akan kembali menyaksikan perang internal baru yang lebih brutal. Jika tidak, maka AS akan mengencangkan jerat ekonomi hingga negeri itu benar-benar kehabisan napas. Ini adalah pertaruhan yang tidak ada pemenangnya.
Tapi mari kita tidak terlalu naif. Al-Sharaa tidak bodoh. Dia paham bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, ia tidak bisa serta-merta menendang para jihadis yang kini menjadi bagian dari pemerintahannya. Ia bisa saja memainkan strategi lama yang sering digunakan para pemimpin dalam situasi serupa: berpura-pura membersihkan rumah, tetapi tetap menjaga fondasi yang telah menopangnya. Sebuah manuver yang telah terbukti efektif bagi banyak penguasa di masa lalu. Dan AS, dengan segala kecerdikannya, tentu juga menyadari hal ini. Jadi pertanyaannya: apakah mereka benar-benar ingin melihat Suriah stabil? Atau hanya ingin memastikan kekacauan tetap terjaga dalam batas yang bisa dikendalikan?
Mari kita sedikit bermain dengan logika absurditas. Jika al-Sharaa benar-benar mengikuti permintaan AS, maka itu artinya ia juga harus menyingkirkan dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Bukankah ia juga bagian dari jaringan yang selama ini dipandang ekstremis? Bukankah ia naik ke tampuk kekuasaan dengan metode yang tidak jauh berbeda dari orang-orang yang kini diminta untuk dienyahkan? Jika ada daftar hitam yang harus dibersihkan, namanya seharusnya ada di urutan teratas. Tapi, tentu saja, dunia tidak bekerja dengan cara yang masuk akal seperti itu. Ketika seseorang telah mendapatkan stempel ‘berguna bagi kepentingan kami’ dari Washington, maka segala dosa masa lalu bisa dihapus secepat jentikan jari.
Dan jangan lupakan satu tuntutan lain yang nyaris terdengar seperti lelucon: kerja sama dalam pencarian Austin Tice. Seorang jurnalis AS yang hilang sejak 2012, yang tiba-tiba menjadi bagian dari syarat untuk meringankan penderitaan ekonomi rakyat Suriah. Benarkah ini tentang kemanusiaan? Atau hanya sekadar taktik untuk menguji seberapa patuh al-Sharaa terhadap majikannya yang baru? Sejarah menunjukkan bahwa nyawa jurnalis tidak pernah benar-benar menjadi prioritas bagi negara adidaya kecuali ada nilai politik yang bisa dieksploitasi darinya.
Yang lebih menarik adalah bagaimana AS tetap mempertahankan standar ganda dalam politiknya. Satu sisi, mereka menuntut agar ekstremis disingkirkan dari Suriah. Di sisi lain, mereka tidak memiliki masalah ketika kelompok-kelompok yang sama digunakan sebagai alat untuk menggulingkan Assad. Sebuah ironi yang menyedihkan. Jika al-Sharaa benar-benar menyingkirkan semua unsur radikal dari pemerintahannya, maka ia akan kehilangan legitimasi di hadapan para pejuang yang dulu bertaruh nyawa untuknya. Jika ia menolak, maka ia berisiko kembali menjadi musuh dunia internasional.
Apa pun yang terjadi, satu hal yang pasti: rakyat Suriah tetap akan menjadi pihak yang paling menderita. Mereka telah menjadi saksi dari pertarungan geopolitik yang tiada akhir, di mana nasib mereka selalu ditentukan oleh permainan catur para aktor besar. Sejak perang saudara pecah lebih dari satu dekade lalu, mereka telah melihat berbagai wajah penguasa silih berganti, masing-masing membawa janji perubahan yang tak pernah benar-benar terwujud. Dan kini, di bawah kepemimpinan al-Sharaa, tampaknya siklus ini akan terus berlanjut.
Pada akhirnya, ini bukan tentang demokrasi, bukan tentang keadilan, dan tentu saja bukan tentang stabilitas. Ini adalah tentang kepentingan, tentang siapa yang bisa mempertahankan cengkeramannya lebih lama, dan siapa yang bisa memainkan permainan ini dengan lebih licik. Al-Sharaa, dengan segala kontradiksinya, kini harus memilih antara menjadi boneka yang patuh atau pemimpin yang menantang. Tapi satu hal yang pasti: dalam dunia politik, kesetiaan adalah ilusi, dan pengkhianatan hanyalah bagian dari strategi bertahan hidup.
Jadi, apakah al-Sharaa akan menendang mereka yang dulu membantunya berkuasa? Atau justru ia yang akan ditendang lebih dulu? Kita tunggu babak selanjutnya dari drama ini, meskipun kita sudah tahu bagaimana akhirnya: penderitaan bagi mereka yang tidak punya suara, dan kemenangan bagi mereka yang bisa mengendalikan narasi.