Opini
Al-Sharaa dan Ilusi Perdamaian di Negeri Senjata

Presiden transisi Suriah, Ahmad al-Sharaa, baru saja meluncurkan kebijakan brilian yang pasti akan menyelesaikan semua konflik di negaranya: meminta semua faksi bersenjata menyerahkan senjata dan bergabung dengan pemerintahannya. Begitu sederhana, begitu elegan, dan begitu naïf. Dalam satu pernyataan, dia membayangkan sebuah Suriah yang damai hanya dengan kata-kata. Masalahnya, apakah kata-katanya lebih tajam dari peluru?
Bayangkan para komandan milisi yang telah bertahun-tahun bertempur, mempertaruhkan nyawa, kehilangan rekan-rekan mereka, hanya untuk mendengar seseorang berkata, “Cukup sudah, serahkan senjatamu.” Mereka pasti langsung tersentuh, meletakkan senjata di tanah, menitikkan air mata haru, dan bersumpah setia pada negara baru yang dipimpin oleh seorang mantan pemimpin kelompok ekstremis. Tentu saja, itu sangat masuk akal.
Sementara Al-Sharaa berbicara tentang “persatuan senjata” dan “kewajiban menyerahkannya pada negara,” dia mungkin lupa bahwa banyak orang masih mengingat siapa dirinya. Sebagai mantan pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), organisasi yang berakar pada Al-Qaeda, dia meminta orang lain melakukan sesuatu yang kelompoknya sendiri enggan lakukan selama bertahun-tahun.
Lebih menarik lagi, dia mengumumkan pembubaran semua faksi bersenjata, termasuk HTS dan Tentara Nasional Suriah (SNA). Tentu saja, ini pasti dilakukan dengan transparansi penuh dan tanpa sedikit pun agenda tersembunyi. Dan jika ada yang tetap bersenjata? Oh, mereka pasti hanyalah bandit yang membangkang terhadap kemuliaan pemerintahan baru.
Sementara Al-Sharaa memerintahkan semua pihak meletakkan senjata, fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda. SNA masih bertempur melawan SDF dengan dukungan udara Turki, suku-suku Druze di selatan membentuk dewan militer mereka sendiri, dan Israel dengan santainya menduduki wilayah Suriah tanpa satu pun respons berarti dari pemerintah transisi. Tapi ya, tentu saja, yang paling penting adalah agar semua kelompok di dalam negeri menyerah begitu saja.
Dari semua kelompok yang harus patuh, tampaknya hanya SDF yang diberi opsi unik: bubar dan bergabung dengan tentara Suriah, tetapi tetap di bawah komando mereka sendiri. Ini seperti meminta seseorang menyerahkan dompetnya sambil meyakinkan bahwa mereka masih bisa mengontrol berapa banyak uang yang boleh diambil. Negosiasi cerdas yang pasti berhasil.
Kemudian ada pernyataan lain yang lebih jenius, yaitu bahwa Suriah tidak boleh terpecah belah karena kekuatannya ada pada persatuan. Sebuah pernyataan yang disampaikan oleh seseorang yang berasal dari kelompok yang sepanjang sejarahnya justru memecah-belah oposisi dan membangun wilayah-wilayah kekuasaan sendiri. Persatuan? Oh, tentu, selama semua orang bersatu di bawah kepemimpinannya.
Lalu ada aspek minoritas yang juga begitu “diperhatikan.” Sejak jatuhnya Assad, ratusan orang dari komunitas Alawit mengalami pembunuhan dan penculikan di bawah otoritas HTS. Tetapi tentu saja, pemerintahan Al-Sharaa berkomitmen untuk perdamaian dan kesetaraan bagi semua. Mungkin minoritas hanya perlu sedikit lebih sabar—atau lebih pandai bersembunyi.
Sementara itu, Israel telah menduduki bagian selatan Suriah dan secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan kelompok bersenjata di wilayah itu. Ini mungkin alasan mengapa Al-Sharaa begitu berani menuntut semua kelompok menyerah. Jika semua pejuang lokal menyerah, maka hanya akan ada satu kekuatan yang bersenjata: pasukan pendudukan Israel. Betapa indahnya solusi itu!
Ketika melihat realitas ini, sulit untuk menahan tawa getir. Mungkin Al-Sharaa percaya bahwa dia memiliki otoritas penuh, bahwa kelompok-kelompok akan berbaris menuju istana kepresidenan dan menyerahkan senjata mereka dengan senyum di wajah. Tapi sejarah Suriah tidak pernah semudah itu. Sejarah Suriah adalah tentang mereka yang bertahan, bukan mereka yang menyerah.
Maka, permintaan Al-Sharaa untuk menyerahkan senjata bukanlah ajakan untuk perdamaian, melainkan ilusi yang ingin dijual kepada dunia. Sayangnya, Suriah adalah tempat di mana hanya yang naif yang percaya bahwa kata-kata bisa menghentikan perang. Sementara itu, suara tembakan masih terdengar di utara, di selatan, di timur, dan di barat. Dan mereka yang benar-benar memahami Suriah tahu bahwa perang belum selesai, bahkan ketika seorang presiden baru berkata sebaliknya.