Connect with us

Opini

Akhirnya Eropa Tunduk Kepada Trump

Published

on

Akhirnya Eropa tunduk kepada Trump. Kalimat ini mungkin terasa seperti ironi, tetapi laporan terbaru dari Jerman dan Uni Eropa mempertegas bahwa hal tersebut bukan lagi sekadar dugaan. Di tengah tekanan Presiden Donald Trump yang baru saja kembali menjabat, Eropa akhirnya menyerah pada tuntutan untuk menambah pengeluaran militer dan memenuhi permintaan AS.

Dalam percakapan telepon antara Annalena Baerbock, Menteri Luar Negeri Jerman, dengan Marco Rubio, Menteri Luar Negeri AS, terlihat jelas arah diplomasi Berlin. Dengan nada yang seolah penuh percaya diri, Baerbock menyatakan kesiapan Eropa untuk “mengambil tanggung jawab lebih besar” atas keamanan mereka sendiri. Namun, apakah itu benar langkah proaktif, atau sekadar reaksi terhadap tekanan Trump?

Trump, dengan gaya khasnya yang transaksional, tidak memberi ruang bagi Eropa untuk berkelit. Dalam konferensi pers baru-baru ini, ia menegaskan bahwa anggaran militer NATO harus naik hingga lima persen dari PDB. Sebuah target ambisius yang bahkan memenuhi dua persen saja sudah membuat banyak negara anggota kewalahan. Jerman pun akhirnya mengalah.

Uni Eropa sebenarnya ingin menunjukkan bahwa mereka adalah entitas mandiri yang mampu menentukan kebijakan sendiri. Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Ketergantungan pada NATO sebagai penjamin keamanan, terutama menghadapi ancaman Rusia, membuat mereka tidak punya banyak pilihan selain menerima tuntutan AS, meski sambil menggerutu di balik layar.

Tidak bisa diabaikan bahwa Eropa juga menghadapi kesulitan untuk menyatukan suara. Uni Eropa sering digambarkan sebagai keluarga besar dengan anggota yang suka berselisih. Ketika negara-negara seperti Jerman dan Prancis mencoba mengambil langkah maju, anggota lain sering kali lebih memilih menunggu atau bahkan menghalangi. Ini mempersulit perlawanan terhadap tekanan eksternal.

Di sisi lain, Trump adalah pemimpin yang terkenal dengan pendekatan “my way or the highway”. Dalam periode kepresidenan sebelumnya, ia bahkan sempat mengancam keluar dari NATO jika anggota lain tidak mau meningkatkan kontribusi. Kali ini, dengan mandat baru, ia kembali menggunakan retorika keras, dan Eropa tampaknya memilih mengalah demi menjaga hubungan transatlantik tetap berjalan.

Namun, tidak bisa disangkal bahwa langkah ini juga memiliki dampak ekonomi yang besar bagi Uni Eropa. Dengan meningkatkan anggaran militer, mereka harus mengorbankan sektor lain yang selama ini menjadi prioritas, seperti perubahan iklim atau kebijakan sosial. Pada saat yang sama, peningkatan anggaran ini sering kali berarti membeli peralatan dari industri pertahanan AS. Siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Trump juga memanfaatkan isu bantuan untuk Ukraina sebagai alat tekanan. Ia menuntut Eropa untuk berkontribusi lebih besar dalam konflik yang sedang berlangsung, sambil menyoroti bahwa AS telah menghabiskan jauh lebih banyak dibandingkan Uni Eropa. Meskipun data menunjukkan bahwa komitmen finansial Uni Eropa tidak kecil, Trump tetap berhasil membangun narasi bahwa Eropa belum cukup berbuat.

Apa yang terjadi sebenarnya adalah permainan kekuasaan di mana Eropa harus menyesuaikan diri dengan irama yang ditentukan Washington. Para pemimpin Eropa mungkin berbicara tentang kemandirian strategis, tetapi dalam praktiknya, mereka tetap bergantung pada kekuatan militer dan ekonomi AS. Ini bukan hanya soal pilihan, tetapi juga soal keterbatasan.

Di balik retorika “Eropa siap memikul tanggung jawab,” sebenarnya terselip pengakuan bahwa mereka tidak mampu melawan tekanan Trump. Ketergantungan pada aliansi NATO, kurangnya solidaritas internal, dan ketidakmampuan ekonomi untuk mandiri sepenuhnya adalah beberapa alasan utama di balik posisi ini. Apakah ini menunjukkan kemandirian, atau justru tanda menyerah?

Dalam konteks yang lebih luas, langkah ini mencerminkan dilema abadi Eropa: antara mempertahankan martabat sebagai kekuatan global dan realitas geopolitik yang membuat mereka tetap berada di bawah bayang-bayang AS. Pada akhirnya, tunduk kepada Trump mungkin terlihat seperti pilihan rasional, tetapi apakah itu juga harga yang terlalu mahal?

Dengan situasi ini, kita bisa bertanya, apakah Eropa akan terus memainkan peran ini di masa depan? Ataukah mereka akan berani melawan arus dan benar-benar mengejar kemandirian strategis? Untuk saat ini, satu hal yang jelas: di bawah tekanan Trump, Eropa memilih jalan kompromi, atau dalam istilah kasarnya, jalan tunduk.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *