Opini
Air Mandi Artis Dijual, Dunia Sudah Gila?

Bayangkan ini: Anda sedang mencuci tubuh Anda dengan sabun yang mengandung air bekas mandi seorang artis. Terdengar seperti premis film satir? Atau sebuah lelucon konyol dari sudut tergelap internet? Sayangnya, ini bukan fiksi. Ini adalah kenyataan yang menampar logika kita hari ini.
Aktris Euphoria, Sydney Sweeney, baru-baru ini bekerja sama dengan brand sabun pria Dr. Squatch untuk merilis produk “Sydney’s Bathwater Bliss”—sabun edisi terbatas yang diklaim mengandung “sentuhan air mandi Sydney.” Satu batang sabun ini dijual seharga $8, dan hanya diproduksi sebanyak 5.000 unit. Tak cukup itu, 100 batang pertama dibagikan gratis melalui undian daring.
Semuanya bermula dari iklan viral Dr. Squatch pada Oktober 2024, saat Sweeney muncul berendam dalam bak mandi sambil menyapa para pemirsa dengan kalimat yang segera meledak: “Hi, my dirty little boys.” Para penggemar bercanda ingin air mandinya. Ternyata, candaan itu ditanggapi serius. “Kalian terus nanya soal air mandi saya… jadi kami simpan,” tulis Sweeney di Instagram. Pihak Dr. Squatch pun menyambut, “Karena kalian nggak berhenti minta. Dan Sydney bilang, ‘Ayo lakukan.’” Dan jadilah sabun itu. Mengandung aroma pinus, cemara Douglas, dan lumut tanah—ditambah klaim bumbu utama: air mandi Sydney.
Sekilas ini tampak sebagai strategi pemasaran cerdas—mengubah lelucon jadi produk nyata. Namun, jika dicermati lebih dalam, fenomena ini membawa pertanyaan serius tentang arah kebudayaan kita. Apakah ini sekadar hiburan, atau penanda dekadensi nilai di tengah era digital?
Di satu sisi, ada yang menganggapnya sebagai bukti kecanggihan industri hiburan Barat. Para selebritas kini bisa mengendalikan narasi, bahkan bercanda tentang fetish penggemar dan mengemasnya menjadi peluang bisnis. Di sisi lain, tak sedikit yang merasa prihatin. Jika air mandi bisa diperjualbelikan, apa lagi yang bisa dikomodifikasi dalam dunia yang haus sensasi ini?
Bayangkan jika praktik serupa terjadi di Indonesia. Negara ini masih memegang teguh norma kesopanan, agama, dan nilai-nilai ketimuran. Namun, kita tidak sepenuhnya imun. Kasus Dinar Candy pada 2021, yang menjual celana dalam bekas seharga Rp50 juta, adalah contoh nyata. Meski terjual, publik ramai mengecamnya. Reaksi tersebut menunjukkan adanya tegangan antara nilai moral dan daya tarik ekonomi instan.
Lebih dalam lagi, ini bukan cuma soal selebritas atau candaan iseng. Ini tentang bagaimana tekanan ekonomi dan perubahan budaya perlahan mengikis batas norma. Di Indonesia, banyak cerita tentang perempuan muda yang menjual pakaian dalam bekas mereka di media sosial, dan mendapatkan penghasilan yang cukup besar—bahkan lebih dari pekerja formal.
Data dari BPS tahun 2023 mencatat 25,9 juta penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan, dan pengangguran mencapai 7,86 juta orang. Dalam kondisi seperti ini, tidak semua orang punya akses ke pendidikan berkualitas, pelatihan keterampilan, atau modal untuk memulai usaha. Ketika semua pintu tampak tertutup, pasar fetish online bisa menjadi “solusi alternatif”—meski problematik.
Fenomena ini mencerminkan wajah kapitalisme modern yang paling telanjang: apa pun bisa dijual, bahkan sesuatu yang seharusnya bersifat intim dan pribadi. Karl Marx menyebut proses ini sebagai “komodifikasi”—mengubah nilai manusia menjadi nilai tukar. Di era algoritma dan viralitas, bahkan tubuh manusia bisa menjadi produk yang dikemas dan dijual.
Ini bukan fenomena baru. Belle Delphine, kreator konten dari Inggris, pernah menjual air mandinya secara daring pada 2019 dan langsung viral. Kini, sejarah terulang dengan nama dan gaya yang berbeda. Yang berubah hanya kemasan; esensinya tetap: menjual ilusi kedekatan dan keintiman sebagai barang dagangan.
Yang lebih mengkhawatirkan, tren ini bisa mengarah pada bahaya kesehatan. Produk-produk seperti air mandi atau pakaian dalam bekas membawa risiko penyebaran bakteri, seperti E. coli atau salmonella. Sydney Sweeney mungkin memastikan bahwa produknya aman, tapi banyak “penjual biasa” tidak memiliki standar kebersihan seperti itu. Jika tren ini makin luas tanpa regulasi, maka bisa menjadi ancaman kesehatan publik.
Mari kita kembali ke Indonesia. Apakah ini yang ingin kita wariskan ke generasi berikutnya? Budaya di mana kehormatan tubuh dan nilai pribadi diukur dari seberapa viral sesuatu bisa dijual? Kita tidak bisa hanya menertawakan atau mengecam. Kita butuh intervensi nyata—baik dari sisi hukum, budaya, maupun ekonomi.
Secara hukum, perlu ada regulasi yang menyesuaikan perkembangan zaman. UU No. 36/2009 tentang Kesehatan bisa diperluas untuk melarang peredaran produk yang tidak higienis atau berpotensi membahayakan kesehatan. UU ITE juga bisa mengatur lebih tegas promosi atau penjualan produk daring yang bertentangan dengan kesusilaan publik.
Namun hukum saja tidak cukup. Kita butuh pendekatan kultural dan edukatif. Pendidikan karakter yang menanamkan nilai martabat, kerja keras, dan penghargaan terhadap tubuh manusia harus diperkuat. Program seperti Kartu Prakerja bisa ditingkatkan—bukan hanya pelatihan teknis, tapi juga akses ke peralatan, modal, dan pendampingan usaha yang nyata.
Platform digital seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, dan Instagram pun harus bertanggung jawab. Mereka perlu memperketat filter dan algoritma, agar produk-produk yang merusak norma sosial tidak dipromosikan dengan mudah.
Sosiolog Émile Durkheim menyebut istilah anomie untuk menggambarkan masyarakat yang kehilangan arah norma. Kita tengah menuju ke sana, bila tidak segera mengambil langkah. Kita tidak bisa membiarkan absurditas jadi hal lumrah. Kita tidak bisa menormalisasi ketelanjangan nilai atas nama “kreativitas” atau “kebebasan berekspresi.”
Indonesia masih punya kesempatan untuk menarik rem. Kita masih bisa menentukan arah, sebelum sabun berisi air mandi menjadi normal, dan celana dalam bekas jadi souvenir ulang tahun.
Langkah pertama? Mulailah bertanya: apa nilai yang masih kita anggap suci? Dan apakah kita siap mempertahankannya di tengah dunia yang semakin kabur antara privasi dan pasar?