Connect with us

Opini

AI dan Masa Depan Pekerja Muda Indonesia: Siapkah Kita?

Published

on

Artificial intelligence (AI) bisa menghapus separuh pekerjaan kerah putih tingkat pemula dalam lima tahun ke depan. Peringatan ini datang dari Dario Amodei, CEO Anthropic, seperti dilansir Axios pada Mei 2025. Sebagai masyarakat yang gelisah sekaligus penuh harap, saya sempat merasa jantungan mendengar pernyataan ini. Bayangkan, jutaan pemuda—adik kita, teman, atau bahkan diri kita sendiri—tiba-tiba kehilangan pijakan di dunia kerja. Kegelisahan ini nyata.

Sektor-sektor bergengsi seperti keuangan, hukum, teknologi, dan konsultasi—yang dulu jadi impian banyak anak muda—kini berada di ambang transformasi besar. Amodei, mantan eksekutif OpenAI, bicara blak-blakan: pengangguran di AS bisa melonjak 10 hingga 20 persen hanya dalam satu hingga lima tahun ke depan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Kita masih tertatih dalam meningkatkan literasi digital, yang pada 2023 baru mencapai skor 3,65 dari 5 menurut Indeks Literasi Digital Kominfo. Rasanya seperti baru belajar berlari, tapi sudah diminta melompat ke era baru yang lebih kompleks. Ada rasa takut, tapi juga secercah harapan: bisakah kita beradaptasi?

Peringatan Amodei bukan sekadar alarm kosong. Ia menyoroti ketidaksiapan publik dan para pembuat kebijakan yang masih cenderung “unaware” terhadap gelombang ini. Di Indonesia, cerita serupa sudah pernah terjadi. Dua dekade lalu, internet masuk tanpa banyak strategi. Warnet dan wartel tumbuh di mana-mana, orang ramai di mIRC dan Yahoo Messenger, namun tak banyak yang menyangka dari percakapan ringan itu kelak lahir e-commerce, ojek online, hingga revolusi ekonomi digital. Kini, warnet nyaris punah, telepon rumah tinggal kenangan. Perubahan datang cepat, tanpa ampun.

Data dari APJII menunjukkan penetrasi internet Indonesia pada 2023 telah mencapai 78,19%. Tapi itu belum berarti pemahaman mendalam terhadap teknologi. Di desa-desa, banyak yang masih memanfaatkan internet sebatas WhatsApp atau TikTok. Teknologi belum benar-benar menjadi alat produksi, apalagi pemahaman terhadap AI.

Amodei menyayangkan kecenderungan perusahaan dan pemerintah yang kerap “sugar-coating” kenyataan—membungkus ancaman dalam retorika optimisme. Ini menyakitkan, terutama bagi generasi muda yang baru lulus kuliah atau sedang mencari pijakan pertama di dunia kerja. Mereka berhadapan dengan mesin yang bisa mengetik, menganalisis, bahkan memberikan konsultasi—semua dilakukan lebih cepat dan murah. Microsoft, misalnya, memberhentikan 6.000 karyawan, mayoritas insinyur, meskipun labanya meningkat. Walmart memangkas 1.500 posisi, Crowdstrike 500, semua demi “efisiensi” dalam era “titik balik teknologi.”

Apa kabar dengan anak muda Indonesia? Kita menyaksikan tren yang sama mulai merayap masuk. Belum dalam skala masif, tetapi sinyalnya sudah terasa. Otomatisasi di sektor layanan, keuangan, dan bahkan jurnalistik mulai terlihat. Namun, belum ada peta jalan nasional yang konkret untuk merespons perubahan ini secara terstruktur.

Di sisi lain, AI memang membawa peluang. Laporan Linux Foundation, yang dipesan Meta pada Mei 2025, menunjukkan bahwa AI open-source telah mendorong efisiensi, inovasi, dan pertumbuhan pendapatan secara global. Kita bisa melihat manfaat ini secara terbatas di perusahaan besar seperti Gojek dan Tokopedia—yang menggunakan AI untuk mengoptimalkan rute pengiriman atau merekomendasikan produk secara cerdas.

Namun, seperti yang Amodei tekankan, ancaman tetap membayangi. Jika masyarakat dan pembuat kebijakan terus mengabaikan realitas ini, penggantian manusia oleh mesin bisa terjadi “hampir dalam semalam.” Bisnis akan tergoda oleh penghematan besar yang ditawarkan otomatisasi. Perekrutan akan berhenti, posisi lama dibiarkan kosong.

Indonesia menghadapi tantangan ganda. Di satu sisi, ada potensi luar biasa: populasi muda yang besar—sekitar 50% penduduk berusia di bawah 30 tahun menurut BPS 2023—bisa menjadi kekuatan besar jika dibekali keterampilan baru. Tapi di sisi lain, banyak dari mereka masih belum memiliki akses dasar terhadap literasi digital yang memadai. UMKM—yang menyerap lebih dari 60% tenaga kerja—banyak yang masih berjuang memahami teknologi paling dasar. Jika AI menggantikan tugas-tugas sederhana mereka, tanpa kesiapan, dampaknya bisa menghantam jantung ekonomi nasional.

Infrastruktur digital juga belum merata. Skor literasi digital yang berada di kategori “sedang” menutupi kesenjangan nyata antara kota dan desa. Jakarta dan Bandung melesat, tapi di Papua, NTT, dan pelosok lain, internet masih barang mewah. Banyak warga yang belum terhubung ke jaringan stabil, apalagi memiliki perangkat atau pengetahuan untuk memahami kecerdasan buatan. Strategi Nasional AI 2020–2045 dari BRIN dan Kominfo memang sudah disusun, namun belum terlihat implementasi yang masif di lapangan.

Apa yang bisa kita lakukan?

Amodei mengusulkan tiga langkah konkret. Pertama, membuat indeks khusus untuk melacak dampak AI terhadap sektor-sektor pekerjaan. Ini penting agar kita tahu sektor mana yang paling rawan terkena dampak. Di Indonesia, sektor administrasi, layanan pelanggan, dan bahkan pendidikan bisa jadi prioritas pemetaan.

Kedua, penyuluhan masif kepada para pembuat kebijakan. Bayangkan jika anggota DPR, kepala daerah, dan pejabat birokrasi menyadari betapa gentingnya situasi ini. Mereka bisa mendorong pelatihan digital berskala besar, menyiapkan perangkat hukum dan fiskal yang adaptif terhadap AI.

Ketiga, penerapan “token tax”—pajak khusus atas keuntungan dari penggunaan AI—yang bisa didistribusikan untuk pendidikan dan pelatihan ulang tenaga kerja. Di Indonesia, skema ini bisa dikaitkan dengan program seperti Kartu Prakerja. Program itu telah menjangkau jutaan peserta, dan bisa diperluas untuk membekali pekerja dengan keterampilan digital dasar, hingga kemampuan mengenali dan memanfaatkan AI dalam pekerjaan sehari-hari.

Gerakan literasi digital perlu dimassifkan, bukan hanya di kota, tetapi hingga pelosok. Kampanye kesadaran AI bisa dilakukan dengan pendekatan lokal: melalui kepala desa, guru, tokoh agama. Bahasa harus sederhana, analogi harus membumi. AI bisa dijelaskan layaknya traktor yang menggantikan bajak—bukan musuh, tapi alat bantu.

Pemerintah bisa membentuk “AI Corner” di perpustakaan desa, layaknya warnet dulu. Swasta pun bisa dilibatkan. Perusahaan seperti Gojek, Bukalapak, dan Tokopedia dapat memainkan peran edukatif, membantu mitra UMKM dan pengguna mengenali manfaat AI secara langsung.

Yang jelas, rasa takut harus diubah menjadi semangat belajar. AI memang bisa menggantikan banyak pekerjaan, tetapi juga membuka lapangan kerja baru: analis data, pelatih model AI, pengembang lokal, hingga fasilitator pelatihan teknologi.

Pertanyaannya: bisakah kita mengejar ketertinggalan, saat langkah digital kita sendiri masih terpincang?

Saya percaya bisa, asalkan ada kerja bersama—pemerintah, swasta, masyarakat sipil. Kita memang memulai lambat, seperti saat internet pertama kali masuk. Tapi kita pernah mengejutkan dunia dengan inovasi lokal yang menjawab tantangan global. Kita pernah melesat. Kita bisa mengulang itu di era AI. Hanya saja, waktunya tidak banyak. Dan kalau kita tidak mulai sekarang, bisa jadi kita akan menyesal, bukan karena AI terlalu canggih—tetapi karena kita terlalu lambat meresponsnya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *