Connect with us

Opini

Agresi ke Gaza, Bumerang bagi Israel

Published

on

Tentara pendudukan Israel mengakui kekurangan 10.000 prajurit, dengan 6.000 di antaranya dari unit tempur, sementara agresi di Gaza terus berlangsung, memicu krisis politik dalam koalisi pemerintahan dan penderitaan kemanusiaan yang tak terperi. Angka-angka itu bukan sekadar data, melainkan jeritan dari sebuah bangsa yang terperangkap dalam konflik tanpa ujung, di mana nyawa prajurit dan warga sipil menjadi taruhan. Ledakan di Khan Younis merenggut empat nyawa tentara, termasuk Chen Gross dan Yoav Raver, menambah daftar korban menjadi 429 sejak operasi darat dimulai. Di Gaza, lebih dari 53.000 orang dilaporkan tewas, angka yang mengguncang hati, meski belum terverifikasi. Krisis multidimensi ini—militer, politik, dan kemanusiaan—menggoyahkan Israel, dan jika dibiarkan berlarut, masa depan yang kelam mengintai, bukan hanya bagi Israel, tapi juga kawasan dan dunia.

Militer Israel berada di ujung tanduk. Kekurangan personel memaksa mereka memanggil 450.000 prajurit cadangan, dengan 9.000 di antaranya bergulat dengan trauma psikologis. Prajurit yang seharusnya pulih malah dikirim kembali ke medan perang, menelusuri bangunan berjebakan seperti di Bani Suheila, Khan Younis, yang runtuh dan menewaskan empat orang. Juru bicara IDF, Effi Defrin, menyebutkan masuk ke bangunan berisiko adalah “keharusan” untuk memeriksa terowongan Hamas. Tapi, keharusan ini terasa seperti taruhan nyawa. Jika krisis personel ini berlanjut, militer Israel berisiko kehilangan efektivitas. Prajurit yang kelelahan dan trauma bisa melemahkan moral dan kemampuan operasional, membuat Israel rentan terhadap ancaman eksternal, seperti serangan dari kelompok lain di kawasan, misalnya Hizbullah di Lebanon, yang telah menunjukkan kapasitas militernya.

Krisis politik memperparah keadaan. Isu wajib militer Haredi, yang selama ini dikecualikan demi studi agama, memicu perpecahan dalam koalisi Netanyahu. Partai ultra-Ortodoks seperti United Torah Judaism mengancam membubarkan Knesset jika wajib militer diberlakukan, mengguncang pemerintahan yang sudah rapuh. Netanyahu, yang menghadapi tuduhan korupsi, tampaknya memperpanjang perang untuk menjaga koalisi sayap kanan, seperti dikritik banyak pihak. Survei Israel Democracy Institute menunjukkan hanya 37% warga percaya operasi di Gaza akan membebaskan 55 sandera, dan 38,5% yakin bisa menggulingkan Hamas. Jika ketegangan politik ini berlanjut, pemerintahan bisa runtuh, memicu pemilu dini atau kekosongan kekuasaan. Di Indonesia, kita bisa membayangkan betapa chaos-nya jika pemerintahan terpecah di tengah krisis nasional, seperti saat pandemi atau bencana besar, meski skala dan konteksnya berbeda.

Dampak kemanusiaan di Gaza adalah luka terbuka. Blokade 78 hari hingga Mei 2025 menyebabkan kelaparan, dengan warga seperti Abdel Rahman Madi berkata, “Saya tak bisa beli roti, tak ada daging, tak ada sayur.” Upaya bantuan melalui Gaza Humanitarian Foundation kacau, hanya mendistribusikan 25.000 kotak makanan, jauh dari kebutuhan 600 truk per hari menurut PBB. Insiden penembakan warga yang mencari bantuan menewaskan puluhan, menurut otoritas Hamas, memicu kecaman internasional. Jika krisis ini terus berlanjut, Gaza berisiko menjadi bencana kemanusiaan yang lebih parah, dengan kelaparan massal dan penyakit yang bisa menyebar ke kawasan lain. Di Indonesia, kita mengenal solidaritas untuk Palestina melalui demonstrasi dan donasi, tapi skala penderitaan ini menuntut lebih dari sekadar empati—ia menuntut solusi global.

Jika krisis multidimensi ini tidak ditangani, masa depan Israel suram. Militer yang kelelahan dan kekurangan personel bisa gagal menjaga keamanan nasional, terutama jika konflik meluas ke front lain, seperti perbatasan Lebanon atau Tepi Barat. Ketidakstabilan politik berisiko melumpuhkan pengambilan keputusan strategis, membuat Israel sulit merespons ancaman eksternal atau tekanan internasional. Kegagalan membebaskan sandera—dengan 33 dari 55 dipastikan meninggal—dan menggulingkan Hamas akan memperdalam ketidakpercayaan publik, yang sudah terlihat dari survei. Ini bisa memicu kerusuhan sosial, terutama jika ketegangan dengan Haredi memburuk, mengingat 70% warga Yahudi mendukung wajib militer universal. Di Indonesia, kita tahu bagaimana polarisasi sosial, seperti saat pemilu atau isu agama, bisa mengguncang stabilitas—bayangkan dampaknya di Israel, di mana taruhannya adalah perang dan perdamaian.

Secara kemanusiaan, kelanjutan konflik akan memperburuk penderitaan di Gaza. Angka kematian yang dilaporkan 53.000 oleh otoritas Hamas, meski belum terverifikasi, menunjukkan skala tragedi. Idul Adha yang seharusnya penuh sukacita berubah menjadi duka, dengan warga seperti Hala Abu Nqeira berkata, “Tak ada tepung, tak ada kebahagiaan.” Jika blokade dan kekacauan bantuan berlanjut, Gaza bisa menghadapi kolaps total, dengan dampak seperti migrasi massal atau radikalisasi yang bisa mengguncang kawasan. Ini juga akan meningkatkan isolasi diplomatik Israel, karena sekutu seperti AS dan Eropa menekan atas krisis kemanusiaan. Indonesia, yang aktif menyuarakan dukungan untuk Palestina di forum internasional, mungkin melihat ini sebagai panggilan untuk mendorong mediasi global.

Pada akhirnya, strategi militer Israel tak hanya menghancurkan Gaza—ia juga meruntuhkan masa depan Israel sendiri. Pendekatan militeristik yang memusatkan pada penghancuran dan pengepungan justru menggali jurang lebih dalam: jurang trauma, kebencian, dan ketidakstabilan. Dalam usahanya untuk membungkam Hamas, Israel malah memperkuat narasi perlawanan dan membuka celah bagi konflik berkepanjangan. Kota-kota Gaza yang rata dengan tanah menjadi simbol dari kegagalan strategi yang mengabaikan solusi jangka panjang. Alih-alih meredam ancaman, Israel menciptakan lebih banyak luka, baik di wilayah pendudukan maupun dalam tubuh bangsanya sendiri.

 

Di tengah reruntuhan Gaza, dunia melihat wajah kegagalan kebijakan kekerasan. Ini bukan sekadar konflik bersenjata; ini adalah pelajaran pahit tentang bagaimana kekuatan militer tanpa dimensi moral dan kemanusiaan akan menghancurkan bukan hanya musuhnya, tapi juga dirinya sendiri. Dunia harus bersuara lebih keras, tidak hanya untuk menghentikan penderitaan warga Palestina, tetapi juga untuk menyelamatkan Israel dari jalan kehancurannya sendiri. Karena pada akhirnya, tidak akan ada kemenangan sejati jika yang tertinggal hanyalah puing-puing, duka, dan kehampaan.

Sumber: Al Mayadeen, The Times of Israel

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *