Connect with us

Opini

Adu Jotos Ekonomi AS-UE: Perang Dagang Tanpa Wasit

Published

on

Ronde baru pertarungan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa kembali bergema. Donald Trump, presiden AS yang gemar mengibarkan bendera proteksionisme, kembali mengayunkan pukulan tarifnya. Tanpa basa-basi, Trump menaikkan bea masuk 25% untuk baja dan aluminium dari Eropa, mengabaikan segala perundingan diplomatik yang sebelumnya coba dijalin.

Uni Eropa, yang selama ini mencoba tampil elegan dalam arena ekonomi global, akhirnya melepaskan jasnya dan melangkah ke ring dengan tangan mengepal. Komisi Eropa merespons dengan tindakan yang mereka sebut “cepat dan proporsional,” yakni dengan memberlakukan tarif balasan senilai €26 miliar terhadap berbagai produk AS. Adu jotos ekonomi resmi dimulai.

Tarif, sejatinya, adalah pajak yang dibebankan kepada rakyat sendiri dengan kedok menghukum lawan. Trump berdalih bahwa kebijakannya adalah demi melindungi industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan memperbaiki neraca dagang yang timpang. Namun, seperti pertandingan tinju tanpa strategi, pukulannya mengenai siapa saja, termasuk rakyat Amerika sendiri.

Uni Eropa tak tinggal diam. Dengan gaya khasnya yang lebih memilih retaliasi berkelas, mereka menargetkan produk-produk AS yang strategis. Dari baja hingga suku cadang mesin, dari bourbon hingga knitting needles—semua kena getahnya. Jelas, ini bukan sekadar perlawanan ekonomi; ini adalah perang simbolis yang menyasar industri kebanggaan Amerika.

Pukulan tarif Trump ini bukan yang pertama. Pada periode pertamanya, Trump sudah lebih dulu bermain kasar dengan kebijakan serupa, memicu reaksi keras dari Brussels. Kala itu, Eropa menahan diri, mencoba berdiplomasi. Namun kini, dengan Trump yang kembali berada di gelanggang politik, Eropa tidak mau lagi menjadi samsak latihan.

Dalam pertarungan dagang ini, Uni Eropa dan AS seperti dua petarung yang saling meninju tanpa peduli akibatnya. Teori tit-for-tat dalam game theory berlaku: satu pukulan dibalas satu pukulan, tanpa ada yang benar-benar menang. Jika ini terus berlanjut, keduanya hanya akan kehabisan tenaga sebelum ada pemenang sejati.

Bagi Trump, ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan strategi politik. Dengan pemilu di depan mata, kebijakan proteksionisme ini adalah panggung teater untuk mengukuhkan citranya sebagai pembela ekonomi Amerika. Para pekerja baja dan industri manufaktur dipertontonkan ilusi bahwa mereka akan menjadi pemenang, meskipun harga barang akan meroket akibat kebijakan ini.

Sebaliknya, Uni Eropa menghadapi dilema: jika mereka tidak membalas, mereka terlihat lemah. Jika mereka melawan, ekonomi mereka sendiri juga terkena dampaknya. Tanpa solusi nyata, langkah mereka lebih mirip refleks defensif daripada strategi ofensif yang benar-benar terencana. Mereka berteriak tentang “perdagangan yang adil” sementara tangan mereka sendiri ikut mencengkeram tarif balasan.

Sejarah membuktikan bahwa perang dagang tak pernah membawa kebaikan bagi siapapun. Pada 1930-an, Smoot-Hawley Tariff Act memperburuk Depresi Besar dengan membatasi perdagangan internasional. Kini, Trump tampaknya mengambil lembaran usang dari buku sejarah itu dan mengulang kesalahan yang sama dengan dalih “membela Amerika.”

Dari sudut pandang geopolitik, ini bukan sekadar perang dagang biasa. Ini adalah cerminan dari ketegangan yang lebih dalam antara dua kekuatan ekonomi dunia yang bersaing dalam pengaruh global. AS ingin mempertahankan hegemoninya, sementara Uni Eropa ingin menegaskan bahwa mereka bukan sekadar blok ekonomi kelas dua.

Jika kita melihat ini dalam bingkai teori game, perang tarif ini lebih menyerupai Chicken Game. Keduanya memacu kendaraan ke arah satu sama lain, menunggu siapa yang akan membelok lebih dulu. Jika tak ada yang menyerah, tabrakan tak terhindarkan. Jika salah satu mengalah, ia akan dipandang lemah. Tidak ada solusi sempurna, hanya pilihan buruk dan lebih buruk.

Namun, dalam skenario ini, siapa yang lebih mungkin keluar sebagai pemenang? Trump mungkin berharap Eropa akan menyerah lebih dulu, tapi Uni Eropa bukanlah lawan yang mudah. Mereka memiliki banyak sekutu dagang lain yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan pada AS. China, misalnya, siap mengambil keuntungan dari situasi ini dengan memperkuat hubungan dagang dengan Eropa.

Di sisi lain, perekonomian AS juga tidak kebal terhadap dampak perang tarif. Sektor otomotif, yang menjadi target utama kebijakan tarif Trump, bisa mengalami guncangan besar. Perusahaan-perusahaan besar seperti BMW dan Volkswagen yang memiliki pabrik di AS mungkin akan mengurangi investasi mereka, atau lebih buruk lagi, hengkang dari pasar Amerika.

Sementara para ekonom memperdebatkan dampaknya, rakyat biasa yang menanggung beban kebijakan ini. Harga mobil, elektronik, dan berbagai produk lainnya melonjak. Para pekerja yang dijanjikan lapangan kerja baru justru menghadapi ketidakpastian akibat pasar yang terguncang. Seperti biasa, dalam perang ekonomi, korban utamanya bukanlah politisi di Washington atau Brussels, melainkan masyarakat biasa.

Pada akhirnya, perang dagang ini mungkin akan berakhir seperti yang sebelumnya: dengan negosiasi yang memalukan dan kompromi yang tertunda. Namun, sebelum itu terjadi, kedua belah pihak akan terus bertukar pukulan, berusaha menunjukkan siapa yang lebih kuat, meski keduanya sama-sama berdarah-darah.

Dan seperti dalam pertandingan tinju yang buruk, penonton hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil bertanya: “Kenapa mereka tidak berhenti sebelum terlambat?”

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *