Opini
Ada Dosa AS, Jerman, dan Italia di Gaza

Spanyol berseru—dengan nada yang penuh kegelisahan—agar Eropa menghentikan pengiriman senjata ke Israel. Di tengah kecaman global atas tragedi kemanusiaan di Gaza—di mana 53.977 jiwa melayang dan 122.966 terluka sejak Oktober 2023—seruan Menteri Luar Negeri Spanyol, Jose Manuel Albares, terdengar seperti jeritan nurani yang mencoba menembus kebekuan diplomasi. “Yang terakhir dibutuhkan Timur Tengah sekarang adalah senjata,” tegasnya, kata-katanya bukan sekadar seruan, melainkan sindiran yang menggigit.
Di balik suara hati itu, tersimpan kenyataan pahit: Amerika Serikat, Jerman, dan Italia masih terus memasok persenjataan, seakan tragedi di Gaza adalah perkara yang bisa dinegosiasikan. Ketika negara-negara besar ini menempatkan kepentingan ekonomi dan geopolitik di atas nyawa manusia, dunia melihat diam-diam dosa moral yang melekat di tangan mereka—dan Gaza menjadi saksi bisu penderitaan itu.
Laporan terbaru mencatat 38 korban jiwa dan 169 luka-luka hanya dalam 24 jam terakhir, termasuk jasad-jasad yang ditarik dari puing bangunan. Rumah sakit di Gaza kini tak lagi berfungsi layaknya fasilitas medis—lebih mirip medan darurat yang tak berdaya. Menurut WHO, 64% peralatan medis telah rusak, dan 42% obat-obatan esensial telah habis. Ambulans tak dapat menjangkau korban karena serangan terus berlangsung. Bahkan tempat yang seharusnya aman, seperti Sekolah al-Jarjawi, menjadi sasaran misil penembus bunker yang menewaskan 36 orang, banyak di antaranya hangus terbakar, tak bisa dikenali.
Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah kisah tragis dari ayah, ibu, dan anak-anak yang kehilangan nyawa dalam sekejap. Di Indonesia, kita tahu betapa dalam luka akibat konflik. Tapi di Gaza, luka itu terus ditorehkan, hari demi hari, tanpa jeda, tanpa tempat berlindung.
Amerika Serikat adalah pemasok senjata terbesar bagi Israel—dua pertiga dari seluruh impor senjata Israel antara 2020 hingga 2024 berasal dari Washington. Pesawat tempur, kendaraan lapis baja, dan bom berpemandu dikirim rutin dalam kerangka bantuan militer tahunan senilai $3,8 miliar hingga 2028. Ironisnya, bantuan itu sebagian besar wajib dibelanjakan untuk membeli senjata dari perusahaan-perusahaan AS, menguntungkan korporasi seperti Lockheed Martin. Di belakang kebijakan ini, ada kepentingan industri pertahanan yang terus bertumbuh di atas reruntuhan Gaza.
Jerman menyumbang sekitar sepertiga dari sisanya, termasuk kapal perang, kapal selam, dan torpedo senilai €131 juta pada 2024. Italia, meski porsinya kecil, tetap mencatat ekspor senjata senilai €5,2 juta pada 2023—melanggar undang-undangnya sendiri yang melarang pengiriman senjata ke zona konflik.
Bom, misil, dan torpedo dari negara-negara ini mendarat di Gaza, menghancurkan rumah, sekolah, rumah sakit, dan harapan. Ketika WHO melaporkan bahwa rumah sakit kehabisan anestesi, bayangkan seorang dokter bedah harus menyambung tulang patah tanpa obat bius. Bisakah kita membayangkan rasa sakit itu? Dan bisakah kita terus membiarkan ini terjadi?
Tuduhan genosida menggema—meski belum diputuskan secara resmi oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau Mahkamah Internasional (ICJ). Penyelidikan terhadap pejabat Israel atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terus bergulir. Gugatan Afrika Selatan ke ICJ menandai langkah serius dunia terhadap kejahatan yang sedang terjadi. Pelapor khusus PBB, Francesca Albanese, bahkan menyebut tindakan Israel sebagai bentuk genosida karena serangan sistematis terhadap warga sipil.
Namun, Amerika Serikat tetap menolak usulan Senator Bernie Sanders untuk menghentikan penjualan senjata. Jerman bersikukuh bahwa dukungan terhadap Israel adalah “prinsip inti” mereka, sementara Italia melanggar regulasinya sendiri tanpa rasa malu. Mereka tahu apa yang terjadi di Gaza—kematian anak-anak, kehancuran rumah sakit, penghancuran tempat perlindungan—namun memilih untuk terus mengirimkan senjata. Ini bukan sekadar kebijakan luar negeri; ini adalah keputusan moral yang kelam.
Di Indonesia, solidaritas terhadap Palestina bukan hal baru. Demonstrasi besar-besaran di Jakarta, petisi masyarakat, hingga pernyataan resmi pemerintah untuk mendukung gencatan senjata mencerminkan empati rakyat terhadap penderitaan warga Gaza. Kita teringat sejarah perjuangan kita sendiri—ketika dunia tak selalu berpihak pada mereka yang tertindas.
Namun yang terjadi di Gaza lebih tragis: penderitaan itu diperparah oleh dukungan negara-negara yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia. Amerika Serikat dan Jerman, berlindung di balik alasan geopolitik—seperti menahan pengaruh Iran—atau tanggung jawab historis atas Holocaust, tetap mengabaikan kewajiban mereka terhadap hukum internasional, termasuk Arms Trade Treaty yang melarang penjualan senjata jika berisiko digunakan untuk kejahatan kemanusiaan.
Jika ICC atau ICJ kelak memutuskan bahwa Israel melakukan genosida, maka negara-negara penyokong senjatanya bisa dituduh terlibat secara tidak langsung. Hukum internasional mengakui bentuk keterlibatan ini. Tapi hukum saja tak cukup untuk menjelaskan luka yang ditinggalkan. Ada dosa moral yang tak bisa ditebus dengan argumen legal semata.
Bayangkan keluarga yang kehilangan anaknya di Sekolah al-Jarjawi. Bayangkan anak kecil di Deir al-Balah yang sekarat karena ledakan. Bayangkan dokter yang tak bisa menghentikan pendarahan karena kehabisan perban. WHO mencatat bahwa 94% rumah sakit di Gaza rusak atau hancur. Sementara itu, 51 truk bantuan tertahan di perbatasan, tidak bisa masuk karena blokade Israel yang sejak Maret 2025 menghentikan distribusi bantuan—dengan dalih bahwa Hamas akan menyalahgunakannya. Tuduhan yang belum terbukti, tapi digunakan untuk menjustifikasi kelaparan massal.
Lebih menyakitkan lagi, selebaran Israel di kamp pengungsian al-Shati yang berbunyi “perang akan segera berakhir” terasa seperti ejekan. Ini bukan sekadar propaganda, tapi bentuk perang psikologis yang memperparah luka warga sipil. Di Indonesia, kita tahu rasanya menunggu bantuan yang tak kunjung datang, merasakan perih karena konflik. Tapi Gaza jauh lebih parah: mereka terperangkap, tanpa jalan keluar, tanpa pilihan.
Mengapa AS, Jerman, dan Italia terus memasok senjata? Jawabannya sederhana: uang dan kekuasaan. Industri pertahanan AS meraup keuntungan dari miliaran dolar bantuan, sementara Jerman mendapat pemasukan jutaan euro dari ekspor. Geopolitik mendorong AS mempertahankan Israel sebagai sekutu utama di Timur Tengah, dan Jerman terpaku pada luka sejarah. Italia? Lebih terlihat inkonsisten daripada tegas. Namun, keuntungan itu dibayar mahal dengan darah warga Gaza.
Ketika seorang anak di al-Zaytoun tewas akibat bom berpemandu, atau ketika dokter kehabisan alat untuk menolong pasien, apakah para pemasok senjata bisa mengaku tak bersalah? Mereka tahu persis ke mana senjata itu diarahkan—dan memilih untuk tetap diam.
Spanyol, lewat forum Madrid Group yang dihadiri Mesir, Yordania, dan Turki, mencoba mengetuk nurani dunia dengan seruan embargo senjata. Tapi gaung itu nyaris tak terdengar ketika AS dan Jerman tetap bergeming. Israel, meski juga produsen senjata besar, tetap mengandalkan bantuan senjata dari AS dan Jerman sebagai tulang punggung operasinya. Tanpa itu, skala kehancuran bisa jadi tidak sebesar sekarang.
Peneliti Catherine Gegout dari University of Nottingham menyebut Jerman sebagai “masalah besar” bagi Uni Eropa karena posisinya dalam konflik ini. Di Indonesia, seruan “Free Palestine” kerap bergema di masjid, jalanan, dan ruang-ruang publik. Namun, kita juga patut bertanya: apa makna solidaritas kita jika tetap membiarkan senjata terus mengalir?
Pertanyaan yang menghantui: sampai kapan dunia akan terus diam? Jika ICC atau ICJ memutuskan bahwa genosida benar-benar terjadi, apakah AS, Jerman, dan Italia akan diadili? Hukum membuka ruang bagi itu. Tapi kenyataan menunjukkan bahwa kekuasaan kerap lebih menentukan arah sejarah ketimbang keadilan.
Gaza adalah cermin kegagalan moral dunia: ketika senjata lebih bernilai daripada nyawa, dan kepentingan politik membungkam nurani. Ada dosa di tangan negara-negara besar—dosa yang tertulis dengan darah warga Gaza, dan teriakan mereka terus menggema, meski tak didengar.
Kini saatnya bertanya lebih jauh: apa yang bisa kita lakukan? Di Indonesia, kita bisa melampaui sekadar solidaritas simbolik. Kita bisa mendesak pemerintah untuk secara aktif mendorong embargo senjata di forum internasional. Tapi yang terpenting, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita juga sedang diam di hadapan ketidakadilan? Gaza bukan hanya tentang Timur Tengah; ini soal kemanusiaan. Dan jika kita membiarkannya berulang, maka dosa itu juga akan menodai kita semua.