Connect with us

Opini

Abbas Sibuk Kudeta Politik Saat Gaza Dibantai

Published

on

Di tengah bau daging terbakar dan reruntuhan yang mengubur harapan anak-anak Gaza, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas memilih duduk nyaman di kursi kekuasaan, merancang ulang struktur politik yang sudah lama tak lagi mencerminkan denyut nadi rakyatnya. Melalui pengumuman sepihak untuk merestrukturisasi Dewan Nasional Palestina (PNC), Abbas sekali lagi membuktikan bahwa istana politik bisa saja berdiri kokoh di atas puing-puing rakyat yang menggelepar. Hamas, tentu saja, menanggapi ini dengan “keprihatinan mendalam”—kalimat diplomatik yang sebetulnya adalah jeritan frustrasi yang ditahan agar tak terdengar seperti makian.

Sungguh, ini bukan sekadar perbedaan taktik antara kubu perlawanan dan kubu diplomasi. Ini adalah demonstrasi paling telanjang dari absurditas kepemimpinan yang tak lagi tahu malu. Ketika bom fosfor putih jatuh seperti hujan kematian di Gaza, dan pemukim ilegal menggasak desa-desa di Tepi Barat sambil menari di atas tanah curian, Abbas justru asyik dengan agenda “penataan ulang,” seolah seluruh bangsa Palestina sedang libur panjang dari penderitaan. Tidak ada pembicaraan soal gencatan senjata, tidak ada upaya menyatukan perlawanan. Yang ada hanyalah meja-meja rapat dan memo-memo politik yang sama dinginnya dengan lorong-lorong kekuasaan di Ramallah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ironi ini terlalu pekat untuk diabaikan. Hamas menyebut langkah Abbas sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan Kairo, Algiers, Moskow, dan Beijing. Nama-nama kota yang mewakili janji persatuan, yang hari ini tinggal kenangan dalam dokumen yang sudah menguning. Keputusan sepihak Abbas tak hanya menampar wajah perlawanan, tapi juga membungkam semangat nasionalisme yang dulu sempat menyala terang. Bayangkan: sebuah dewan yang seharusnya mencerminkan kehendak seluruh rakyat Palestina, justru dirancang ulang tanpa melibatkan pihak yang berdarah-darah di garis depan.

Dan di situlah makna sebenarnya dari apa yang sedang dilakukan Abbas: ini bukan sekadar reformasi lembaga, ini adalah kudeta politik yang dibungkus administrasi, perebutan kendali yang dilakukan secara sistematis dan senyap—namun sangat telanjang bagi siapa pun yang masih waras. Kudeta tanpa senjata, tapi tidak kalah berbahaya dari pengkhianatan. Sebab ia tak mengarah ke musuh, tapi ke saudara sebangsa yang tak sepaham.

Apakah Abbas tidak tahu? Ataukah ia tahu tapi tidak peduli? Ini bukan lagi soal perbedaan strategi antara diplomasi dan perlawanan. Ini soal akal sehat. Soal kapan terakhir kali Abbas menatap mata anak Gaza yang kehilangan seluruh keluarganya dalam satu malam. Atau barangkali memang tak pernah. Karena mereka yang sibuk dengan pengamanan pribadi dan jalur negosiasi rahasia biasanya terlalu sibuk untuk mendengar suara rakyat yang tertindih. Dan dari sekian banyak suara, yang paling Abbas tak mau dengar adalah suara perlawanan.

Koordinasi keamanan dengan penjajah tetap jalan. Fasilitas elite tetap tersedia. Gaji pegawai PA tetap cair. Tapi rakyat? Mereka hanya diingat saat perlu dikutip dalam pidato. Sungguh, ini semacam simfoni kekuasaan yang fals sejak nada pertama. Dan Abbas, sayangnya, tetap menjadi dirigen yang tak mau turun panggung meski orkestranya sudah bubar sejak lama. Dalam keadaan seperti ini, setiap keputusan yang ia ambil tidak lagi tampak sebagai solusi, melainkan sebagai penghalang yang disengaja agar status quo tetap abadi.

PLO, yang dulu digadang sebagai wadah perjuangan semua faksi, kini lebih mirip klub pensiunan politikus yang alergi terhadap perubahan. Hamas dan faksi-faksi lain telah lama menuntut rekonstruksi organisasi ini agar lebih demokratis dan inklusif. Tapi Abbas tampaknya lebih nyaman menjaga pagar tinggi di sekeliling institusi yang telah ia sulap menjadi properti pribadi. Ketika dia bilang “restrukturisasi,” yang dimaksud bukan pembaruan, melainkan pemusnahan peluang bagi lawan politik untuk masuk dan memengaruhi arah perjuangan.

Langkah sepihak ini merupakan kudeta politik tersembunyi, memperkuat dominasi Fatah di dalam PLO, dan secara sistematis menyingkirkan faksi-faksi perlawanan yang selama ini menjadi duri dalam daging kekuasaan Abbas. Ia ingin meninggalkan warisan politik bukan berupa kemerdekaan Palestina, tapi berupa struktur yang setia padanya bahkan setelah ia tiada.

Tidak mengherankan jika Hamas menyebut langkah ini sebagai ancaman terhadap kehendak nasional. Karena memang begitulah kenyataannya. Ketika rakyat Palestina mencari titik temu, Abbas justru membentangkan garis pemisah. Ketika rakyat Palestina mencoba membangun kesatuan dalam derita, Abbas justru memperkuat fragmentasi dalam elit. Seakan-akan proyek pembebasan bisa diraih dengan menyingkirkan mereka yang benar-benar bertarung di medan perlawanan.

Dan di sinilah letak tragedi itu: di satu sisi rakyat Palestina sedang menghadapi genosida, di sisi lain elit politiknya sibuk menyusun ulang komite dan lembaga tanpa transparansi dan tanpa partisipasi. Lalu, bila ada yang bertanya kenapa Palestina tak pernah bersatu, jangan buru-buru menyalahkan faksi-faksi. Lihat dulu siapa yang menutup pintu saat yang lain datang mengetuk. Lihat dulu siapa yang menjadikan struktur formal sebagai benteng eksklusif, bukan ruang kolektif.

Dalam lanskap ini, Abbas terlihat seperti seorang kepala sekolah yang sedang membentuk OSIS baru, padahal sekolahnya sedang terbakar. Semua sibuk dengan lembar evaluasi dan formasi struktur, sementara siswa-siswanya menangis di bawah reruntuhan. Tapi mungkin memang itulah politik ala Ramallah: menjaga formalisme sebagai jubah kekuasaan, meski isinya keropos dan tak punya nyawa.

Ada sesuatu yang sangat kelam sekaligus konyol dalam semua ini. Bahwa di saat dunia menyorot Gaza dan genosida yang berlangsung, pemimpin tertinggi Palestina justru lebih sibuk memoles wajah lembaga tua yang kehilangan arah. Bukankah ini seperti membersihkan kaca jendela saat rumah sudah tanpa atap? Atau, lebih tepatnya, seperti merombak denah rumah di saat penghuni rumah sedang dikurung di ruang bawah tanah oleh pencuri bersenjata.

Abbas tak lagi sekadar memimpin. Ia menggulingkan semangat kolektif demi melanggengkan struktur yang hanya setia pada satu hal: dirinya sendiri. Ia tidak sedang menyusun strategi pembebasan, ia sedang menyusun peta kekuasaan pribadi. Dan untuk itu, perlawanan harus disingkirkan. Ia bukan membangun rumah bersama, ia sedang mengunci pintu dari dalam agar tidak ada faksi lain yang bisa ikut memegang kunci.

Dan ketika kelak sejarah Palestina ditulis dengan tinta darah dan air mata, nama Abbas barangkali akan muncul bukan sebagai pemimpin visioner, tapi sebagai simbol dari apa yang salah dalam tubuh perlawanan: ketakutan terhadap perubahan, kecanduan kekuasaan, dan keengganan untuk memberi tempat bagi mereka yang benar-benar berdiri di garis depan.

Jika ada satu hal yang rakyat Palestina butuhkan hari ini, itu bukanlah restrukturisasi lembaga. Mereka butuh kejujuran, keberanian, dan kesediaan untuk menyingkirkan ego. Mereka butuh pemimpin yang tak hanya hadir di meja diplomasi, tapi juga berdiri bersama mereka di puing-puing kehidupan. Dan sejauh ini, Abbas telah gagal memberikan itu semua.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer