Opini
Abbas Lucuti Senjata Penjuang Palestina: Ironi Perjuangan di Panggung Absurd

Di bawah langit Beirut yang kelabu, di tengah aroma kopi pahit dan debu kamp pengungsi, Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas bersiap melangkah ke panggung absurditas politik. Pada 19 Mei, ia akan tiba, bukan sebagai pahlawan perjuangan, melainkan sebagai juru damai yang membawa kabar pelucutan senjata—bagi Fatah, anak kandungnya sendiri, dan faksi-faksi Palestina lain di Lebanon. Dengan senyum diplomatik yang kaku, ia akan memerintahkan perlawanan bersenjata menyerah, atau menghadapi kekerasan. Ironi yang getir: seorang pemimpin Palestina, di ujung usia 89 tahun, meminta rakyatnya meletakkan senjata di saat Gaza berdarah. Realitas ini, seperti puisi yang salah rima, menggugah kegelisahan: apa yang tersisa dari perjuangan jika harapan pun dilucuti?
Langkah Abbas ini, sebagaimana dilaporkan Middle East Eye, bukan sekadar kunjungan protokoler. Ia akan bertemu Presiden Lebanon Joseph Aoun, meneken rencana demiliterisasi kamp-kamp pengungsi, tempat Fatah, Hamas, dan PFLP bertahan di tengah puing sejarah. Abbas, kata sumber, telah menyetujui pelucutan senjata Fatah, dan dengan penuh semangat bak aktor tragedi Yunani, ia akan menyerukan faksi lain mengikuti. Jika menolak? Operasi militer menanti, dengan Abbas sebagai penutup politiknya. Ini bukan sekadar kebijakan; ini teater absurd, di mana seorang pemimpin melepaskan senjata rakyatnya sendiri sambil menuding mereka sebagai pengkhianat. Di kamp-kamp, di mana listrik hanya menyala beberapa jam, keputusan ini seperti lampu yang dipadamkan paksa.
Laporan itu menyebut Saudi sebagai dalang di balik layar, dengan Menteri Luar Negeri Faisal bin Farhan menyampaikan “permintaan” agar Abbas menjinakkan faksi-faksi bersenjata. Saudi, dengan kilau minyak dan ambisi regionalnya, tampaknya ingin Lebanon jadi panggung stabilitas, bukan perlawanan. Abbas, yang tahu betul bagaimana angin geopolitik bertiup, menurut. Tapi ini bukan soal patuh pada Riyadh semata. Ini soal bertahan di kursi kekuasaan, di mana ia, tanpa pemilu sejak 2005, bergantung pada restu Barat dan telapak tangan Arab. Di sini, ironi menggigit: seorang pemimpin Palestina, yang seharusnya jadi suara rakyatnya, malah menari mengikuti irama asing.
Konteksnya tak bisa diabaikan. Pengungsi Palestina di Lebanon, keturunan mereka yang diusir pada Nakba 1948, hidup dalam limbo. Sekitar 750.000 jiwa terlantar saat itu, dan kini, di kamp-kamp seperti Ain al-Hilweh atau Shatila, mereka tetap tak punya hak. Tak boleh punya rumah, tak boleh kerja di banyak profesi, tak boleh bermimpi terlalu jauh. Faksi bersenjata, dari Fatah hingga Hamas, lahir dari keputusasaan ini—sebagai pelindung, penyedia, kadang satu-satunya suara. Melucuti mereka bukan cuma soal senjata; itu soal merenggut identitas perlawanan dari orang-orang yang sudah kehilangan segalanya. Abbas, dengan komite keamanannya yang akan “mengawasi” proses ini, seolah lupa: di kamp-kamp, senjata bukan cuma besi, tapi simbol harapan yang rapuh.
Dan oh, betapa simbol itu pernah berdarah. Ingat Sabra dan Shatila, 1982? Ketika milisi Kristen Lebanon, dengan restu Israel, membantai 800 hingga 3.500 jiwa—kebanyakan perempuan, anak, dan lansia. Memori itu masih hidup di tiap gang kamp, di tiap cerita nenek kepada cucu. Kini, Abbas menggenggam tangan Lebanon untuk melucuti faksi-faksi, seolah lupa bahwa negara yang sama ini pernah gagal melindungi rakyatnya. Jika operasi militer digulirkan, seperti yang dijanjikan sumber, apa jaminan tak ada Sabra-Shatila lain? Di sini, satire politik terasa paling pahit: seorang pemimpin yang seharusnya melindungi justru membuka pintu bagi risiko baru, sambil menyebutnya “kepemimpinan.”
Lebih jauh, langkah ini sejalan—secara sengaja atau tidak—dengan agenda Israel. Pelucutan senjata faksi Palestina di Lebanon akan melemahkan front perlawanan, sesuatu yang Israel kejar tanpa perlu mengotori tangan. Serangan mereka pada 2024 telah memenggal kepemimpinan Hizbullah, dan kini, dengan Abbas sebagai pelayan tak sengaja, ancaman dari utara semakin pudar. Ini seperti permainan catur di mana Israel tak perlu memindahkan bidak; Abbas, dengan segala kebingungannya, melakukannya untuk mereka. Dan ketika ia menyebut Hamas “sons of dogs,” menyalahkan mereka atas genosida Israel di Gaza—yang telah merenggut 52.535 jiwa per Mei 2025—ia tak hanya memecah Palestina, tapi juga meminjamkan suaranya pada narasi musuh.
Gaza, menjadi latar yang tak bisa dielakkan. Di sana, dalam 24 jam terakhir saja, 40 orang tewas, 125 luka, menambah daftar korban yang kini mencapai 118.491 cedera. Amnesty International menyebutnya “genosida yang disiarkan langsung,” tapi Abbas, dari singgasananya di Ramallah, malah menyerang Hamas, menuntut mereka menyerah, seolah itu akan menghentikan tank Israel. Ini bukan sekadar salah langkah; ini pengkhianatan yang dibalut retorika diplomasi. Rakyat Palestina, yang menyaksikan rumah mereka hancur, bertanya: jika Abbas tak membela kami, untuk apa dia ada?
Ada kekhawatiran yang menggelayut: Lebanon hanyalah babak pertama. Jika model ini berhasil, mengapa tak diterapkan di Suriah, di mana kamp Yarmouk pernah jadi benteng perlawanan? Atau di Tepi Barat, tempat koordinasi keamanan PA dengan Israel sudah menjagal semangat perjuangan? Dan Gaza—mimpi buruk Israel—bisa jadi target berikutnya, meski Hamas tak akan menyerah tanpa perang. Abbas, dengan langkahnya ini, seperti membuka kotak Pandora, di mana setiap senjata yang diserahkan adalah harapan yang dikubur. Dan dunia, dengan segala konferensi damainya, akan bertepuk tangan, menyebut ini “kemajuan.”
Tapi di kamp-kamp Lebanon, tepuk tangan tak terdengar. Di sana, anak-anak bermain di antara puing, dan para ibu menghitung beras yang makin menipis. Faksi bersenjata, betapapun bermasalah, adalah bagian dari jaringan hidup mereka—tak sempurna, tapi nyata. Melucuti mereka tanpa mengatasi akar penderitaan—tanpa hak, tanpa tanah, tanpa masa depan—adalah seperti menyuruh orang kelaparan menyerahkan pisaunya. Abbas, dengan jasnya yang rapi dan pidato yang terukur, mungkin tak mendengar gemuruh keresahan ini. Ia sibuk menjaga kursi, menjaga restu, menjaga ilusi bahwa diplomasi bisa menang melawan tank.
Jadi, ke mana arahnya? Abbas mungkin berpikir ia sedang membangun jembatan menuju perdamaian, tapi yang ia lakukan adalah merobohkan benteng terakhir rakyatnya. Di Lebanon, di bawah langit yang sama kelabunya, para pengungsi akan menatap kunjungannya dengan campuran kecewa dan takut. Mereka tahu, seperti kita tahu, bahwa perjuangan tak pernah murah, dan pengkhianatan—sengaja atau tidak—selalu punya harga. Maka, sambil tersenyum miris, kita bertanya: jika Abbas melucuti senjata harapan, apa yang tersisa untuk Palestina? Hanya puing, dan cerita yang tak selesai.