Connect with us

Opini

900 Tentara Tewas: Kuburan Arogansi Militer Israel

Published

on

Di balik dentuman artileri, di balik deru jet tempur yang memekakkan telinga, ada sebuah ironi yang menyayat: tentara yang konon tak terkalahkan justru berguguran satu demi satu di tanah yang mereka klaim bisa ditaklukkan dengan cepat. Angka resmi—900 tentara tewas, lebih dari 6.200 terluka—bukan sekadar statistik. Itu adalah paku-paku karat yang menancap di peti mati arogansi Israel, membongkar mitos keperkasaan militer yang selama ini dijual ke dunia. Dan angka itu pun, kata pejabat mereka sendiri, hanyalah puncak dari gunung es kebenaran yang sengaja ditutupi.

Sejak 7 Oktober 2023, Israel berdiri di panggung dunia dengan narasi tunggal: mereka adalah korban, mereka berhak membalas, mereka akan menghancurkan Hamas secepat kilat. Tapi lihatlah fakta yang terkuak, bahkan dari mulut jenderal mereka sendiri: ribuan keluarga berduka, ribuan prajurit dirawat dengan tubuh yang remuk, dan ratusan lainnya tewas mengenaskan di medan yang semestinya mereka kuasai. Saya rasa, ini bukan sekadar soal jumlah. Ini adalah soal bagaimana sebuah proyek kolonial yang pongah mulai digerogoti dari dalam, oleh darah tentaranya sendiri.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Golani Brigade, kebanggaan Israel, kini tercatat kehilangan 114 jiwa. Unit yang selalu dipamerkan sebagai simbol keberanian, luluh lantak oleh pasukan perlawanan yang jauh lebih kecil, bersenjata lebih sederhana, dan terkepung tanpa jalur suplai. Apa yang bisa lebih memalukan dari itu? Bayangkan jika sebuah klub sepak bola elit, dengan pemain bintang dan dana miliaran dolar, justru kalah telak melawan tim kampung yang hanya berlatih di lapangan becek. Begitulah kira-kira absurditas yang sedang terjadi di Gaza.

Dan kita jangan lupa, dari 900 korban jiwa itu, 311 jatuh hanya dalam dua hari pertama—7 dan 8 Oktober—saat Operasi Bandai Al-Aqsa dilancarkan. Dua hari! Itu bukan sekadar serangan kejutan, melainkan tamparan keras yang menghancurkan aura keangkuhan militer Israel. Jika di awal saja sudah begitu berdarah, lalu apa yang tersisa dari klaim mereka tentang “kontrol penuh” atas Gaza? Yang tersisa hanyalah retorika kosong dan siasat propaganda, sementara fakta di lapangan justru menunjuk arah sebaliknya.

Lebih dari 2.800 tentara Israel terluka hanya dalam invasi darat. Artinya, setiap meter tanah Gaza yang mereka pijak, dibayar mahal dengan darah dan daging. Itu bukan operasi militer, itu adalah perburuan bunuh diri yang dipoles dengan jargon pertahanan negara. Helicopter evakuasi terus mondar-mandir, membawa tubuh-tubuh yang koyak dihantam ranjau atau mortir. Al-Qassam bahkan menyebut telah menghantam tank Merkava dan Namer APC, kendaraan yang selama ini dielu-elukan sebagai simbol teknologi canggih. Ternyata, besi baja berlapis pun bisa luluh di tangan para pejuang yang bersembunyi di reruntuhan.

Ada satu momen yang paling mencerminkan kepanikan Israel: aktivasi Hannibal Protocol. Sebuah kebijakan militer yang dingin dan kejam—lebih baik membunuh prajurit sendiri ketimbang membiarkannya ditawan. Apakah ini yang disebut sebagai “nilai kemanusiaan” yang selalu mereka gembar-gemborkan? Di mata dunia, Hannibal Protocol adalah pengakuan terselubung bahwa mereka takut sekali tentaranya hidup sebagai tawanan, sebab itu akan menjadi kartu as di tangan perlawanan. Maka, lebih baik mati, pikir mereka, daripada pulang dengan kepala tertunduk. Ironis, bukan?

Kita di Indonesia, yang sering dicekoki berita dari media arus utama Barat, diajak percaya bahwa Israel selalu “menang” dan Hamas selalu “kalah”. Tapi laporan ini justru membalik semua narasi. Hamas—atau lebih tepatnya perlawanan Palestina—bukan hanya masih bertahan, tetapi berhasil membuat lawannya berdarah-darah. Seperti seorang petani yang melawan tengkulak rakus dengan cangkul dan keringat, mereka mungkin terlihat kalah secara sumber daya, namun tekad dan pengetahuan akan tanahnya sendiri membuat mereka unggul dalam ketahanan. Saya kira, inilah inti dari perlawanan sejati: tak butuh senjata mahal, yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menolak tunduk.

Israel mungkin masih bisa membombardir Gaza dengan rudal. Mereka bisa meratakan bangunan, menewaskan ribuan warga sipil, dan menutup rapat akses bantuan kemanusiaan. Tetapi perang bukan hanya soal siapa yang punya bom lebih banyak. Perang juga soal moral, soal legitimasi, soal siapa yang akhirnya bisa berdiri tegak tanpa rasa malu di hadapan rakyatnya sendiri. Dan di titik ini, Israel sedang kalah telak. Setiap peti jenazah yang dikirim ke keluarga di Tel Aviv atau Haifa adalah bukti nyata bahwa perang ini bukan kemenangan, melainkan kegagalan yang disamarkan.

Saya rasa kita semua tahu, sebuah bangsa tak bisa selamanya menutupi luka dengan propaganda. Cepat atau lambat, masyarakat Israel akan bertanya: untuk apa anak-anak mereka dikorbankan di Gaza? Untuk keamanan? Nyatanya, keamanan tidak pernah datang. Untuk menghapus Hamas? Fakta di lapangan justru memperlihatkan Hamas masih eksis, bahkan semakin dipandang heroik di mata dunia Arab. Untuk membela martabat bangsa? Bagaimana mungkin martabat bisa tegak jika harus dibangun di atas jasad ribuan warga sipil Palestina dan ribuan tentara sendiri?

Kenyataan yang getir ini mungkin akan membuat sebagian orang tersenyum pahit. Sebab pada akhirnya, yang roboh bukan hanya tank Merkava atau APC yang meledak di jalan-jalan Gaza. Yang roboh adalah mitos tentang “ketidak terkalahkan” Israel, sebuah mitos yang selama puluhan tahun dijadikan alat untuk menakut-nakuti kawasan. Gaza, dengan segala penderitaannya, kini berubah menjadi kuburan simbolis bagi arogansi itu. Dan sejarah, seperti biasa, akan mencatat siapa yang benar-benar kalah dan siapa yang bertahan.

Mungkin Israel masih bisa membual tentang “target yang hampir tercapai”, tetapi angka 900 nyawa tentara yang melayang sudah bicara lebih jujur daripada pidato Netanyahu atau propaganda media Barat. Itu angka yang tak bisa disulap. Itu kenyataan yang menampar wajah mereka sendiri. Dan saya yakin, semakin lama perang ini berlanjut, semakin banyak lagi angka yang akan ditambahkan ke daftar korban, semakin dalam pula jurang yang mereka gali dengan tangan mereka sendiri.

Pada akhirnya, dunia akan mengingat perang ini bukan sebagai “perang Israel melawan Hamas”, melainkan sebagai perang Israel melawan dirinya sendiri. Sebuah perang melawan kesombongan, melawan kebohongan yang mereka ciptakan, dan melawan kenyataan pahit yang mereka coba sembunyikan. Dan seperti yang bisa kita lihat hari ini, Israel sedang kalah di semua lini itu.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer