Connect with us

Opini

27 Tahun Berlalu, Reformasi Masih dalam Tanda Tanya

Published

on

“Di mana ada organisasi yang pemimpinnya berganti setiap tahun?” Pertanyaan tajam ini muncul dalam diskusi Kompas TV, menyiratkan kegelisahan yang tak mudah ditepis. Ia menampar kesadaran kita, seolah mempertanyakan arah perjalanan Reformasi yang kini telah berusia 27 tahun. Negeri ini, yang pernah bergolak dengan semangat perubahan pada 1998, kini seperti terjerat dalam bayang-bayang masa lalu yang tak kunjung usai. Korupsi masih menjadi penyakit kronis, nepotisme kembali tumbuh leluasa, dan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat terasa seperti utopia yang menjauh. Apakah Reformasi benar-benar dikorupsi? Atau lebih menyakitkan lagi—apakah kita telah mengabaikan bara perjuangan yang dahulu menyala begitu terang?

Refleksi atas Reformasi membawa kita pada dua wajah yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, tak bisa dimungkiri bahwa ada pencapaian institusional yang patut diapresiasi. Muhammad Qodari, Wakil Kepala Staf Kepresidenan, menekankan bahwa Reformasi telah mengubah lanskap politik Indonesia secara fundamental. Sentralisasi kekuasaan seperti di era Orde Baru telah terkikis. Presiden kini dibatasi masa jabatan, sistem multipartai tumbuh, dan otonomi daerah diterapkan luas. Empat kali amandemen UUD 1945 antara 1999 hingga 2002 menjadi simbol dari perubahan sistemik itu. Kini, kita menikmati kebebasan berbicara, berkumpul, dan memilih pemimpin dalam pemilu. Gubernur Lemhannas, Ace Hasan Syadzily, bahkan menyebut kebebasan ini sebagai “kemewahan” yang tak pernah dikenal sebelumnya.

Namun, apakah kemewahan prosedural itu cukup untuk menyebut Reformasi berhasil?

Dari sisi substansi, suara kritis muncul lantang. Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyoroti luka sejarah yang belum juga diobati. Tragedi Trisakti, Semanggi, dan kerusuhan Mei 1998 masih membekas. Komnas HAM telah menyatakan peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat. Namun, ketika tokoh seperti Yusril Ihza Mahendra menyangkal keberadaan pelanggaran HAM selama Indonesia berdiri, rasa keadilan terasa makin jauh. Sumarsih, ibu dari Wawan—korban Semanggi I—masih setia berdiri setiap Kamis di depan Istana, menagih janji keadilan yang telah 18 tahun diabaikan. Ia bukan hanya simbol duka, tetapi juga cermin dari demokrasi yang cacat—sebuah demokrasi yang tak bersedia mendengar jeritan korban.

Impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM—yang beberapa masih berkecimpung di politik hari ini—menjadi tanda tanya besar. Seperti dikatakan Bivitri Susanti, ketidakmauan politik untuk menyelesaikan kasus-kasus ini menunjukkan bahwa kekuasaan lebih memilih diam demi menjaga stabilitas semu.

Di sisi lain, korupsi yang menjadi musuh utama Reformasi justru kian menggila. Aktivis 98, Safik Ali, menyampaikan keterkejutannya atas skandal korupsi yang kini menyentuh angka ratusan triliun rupiah, termasuk kasus Sritex yang ditangani Kejaksaan Agung. Bila dulu korupsi dianggap monopoli kroni Cendana, kini seolah siapa pun bisa mencicipinya—dari aparat kecil hingga pejabat tinggi. Penegakan hukum pun tak lepas dari sorotan. Bivitri menyebut fenomena “populisme hukum”, di mana langkah hukum digunakan lebih untuk mengesankan publik ketimbang menyelesaikan akar masalah.

Kasus Sritex mencerminkan kekacauan itu. Pemerintah awalnya mendukung penyelamatan perusahaan demi buruh, namun belakangan berubah menjadi drama hukum dengan utang berlipat ganda dan kerugian besar. Hukum, dalam konteks ini, bukan lagi pilar keadilan, melainkan alat pertunjukan kekuasaan.

Jurnalis senior Farid Gaban memperdalam kegelisahan ini. Dalam wawancara di Ekspedisi Indonesia Baru, ia membandingkan situasi kini dengan masa menjelang kejatuhan Orde Baru. Gejalanya serupa: penguasa yang terlalu percaya diri karena dukungan politik besar, menguatnya nepotisme, dan krisis ekonomi yang membayangi. Ia menyinggung pengangkatan Gibran sebagai Wakil Presiden, yang mengingatkan pada Tutut di era Soeharto. Farid menolak anggapan bahwa demokrasi kita terlalu bebas. Justru sebaliknya, ia melihat Indonesia kekurangan demokrasi substantif. Demokrasi sejati menuntut supremasi hukum, independensi peradilan, dan partisipasi rakyat. Sayangnya, intervensi eksekutif terhadap KPK, kejaksaan, hingga Mahkamah Agung memperlihatkan betapa rapuhnya pilar-pilar tersebut.

Indeks demokrasi internasional pun mencerminkan kemunduran ini. Freedom House dan V-Dem Institute mengkategorikan Indonesia sebagai “electoral autocracy”—negara yang menggelar pemilu, tapi minim kebebasan politik. Resentralisasi kekuasaan, seperti yang tampak dalam UU Cipta Kerja dan revisi UU Otsus Papua, menghantam esensi otonomi daerah yang dulu diperjuangkan. Pendekatan top-down, seperti dalam program Koperasi Merah Putih, justru mematikan inisiatif lokal yang menjadi jantung demokrasi partisipatif. Seperti kata Bung Hatta, demokrasi sejati tumbuh dari desa—bukan dari instruksi pusat yang tak memahami konteks lokal.

Di tengah suramnya situasi, muncul satu pertanyaan mendasar: ke mana kita melangkah?

Masukidi, dalam forum Kompas TV, mengajak kita untuk berani berkata benar di hadapan penguasa. Mengutip Bung Hatta, ia menegaskan bahwa cinta pada kebenaran adalah inti dari semangat Reformasi. Ia menyinggung konsep “weaponized state”—negara yang digunakan sebagai alat politik untuk membungkam oposisi dan mempertahankan kekuasaan. Hukum yang semestinya menjamin keadilan justru digunakan sebagai senjata intimidasi. Pembentukan koalisi super mayoritas di parlemen bukanlah tanda demokrasi sehat, melainkan indikasi upaya membungkam kritik sistemik.

Revisi UU TNI, yang membuka ruang bagi militer mengisi jabatan sipil, menjadi contoh kekhawatiran yang sah. Bagi Safik, ini adalah pengkhianatan terhadap salah satu semangat utama Reformasi: pemisahan militer dari urusan sipil. Kembalinya militerisme, meski dibalut dalih efisiensi atau stabilitas, sejatinya langkah mundur ke era yang telah coba kita tinggalkan.

Meski demikian, asa belum sepenuhnya padam. Usman Hamid menyebut pentingnya idealisme, terutama di kalangan muda, untuk menjaga nyala Reformasi. Gerakan mahasiswa 2019 menjadi bukti bahwa generasi baru masih peduli, dengan tuntutan mulai dari pembebasan berekspresi hingga reforma agraria dan kesejahteraan buruh. Farid pun melihat harapan dalam tumbuhnya koperasi desa yang berbasis prinsip demokratis—suatu model pembangunan yang lahir dari rakyat, bukan sekadar dikirim dari pusat kekuasaan.

Dan di antara semua itu, sosok seperti Sumarsih tetap berdiri sebagai lentera. Aksi Kamisannya yang konsisten menjadi simbol bahwa harapan, betapapun rapuhnya, masih bisa dirawat. Ia, bersama suara-suara lain yang tak lelah menuntut keadilan, menjadi pengingat bahwa Reformasi tak boleh ditutup lembarannya hanya karena elite politik merasa sudah cukup.

Refleksi 27 tahun Reformasi adalah pengingat pahit: perjuangan belum selesai. Kita tak bisa berhenti pada nostalgia 1998. Demokrasi tak berhenti pada pemilu. Kebebasan yang kita miliki hari ini—meski makin sempit—masih memberi ruang untuk bergerak, mengoreksi, dan membangun kembali. Yang dibutuhkan adalah keberanian seperti Sumarsih, idealisme seperti mahasiswa 2019, dan visi pembangunan akar rumput sebagaimana dicita-citakan Bung Hatta.

Jika kita tidak bergerak, tak hanya Reformasi yang dikorupsi—ia bisa benar-benar mati. Maka pertanyaannya: apa yang akan kita lakukan untuk menjaga apinya tetap menyala?

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *