Connect with us

Opini

208 Jurnalis Gaza Tewas: Kebenaran Dibunuh oleh Bom dan Narasi Israel

Published

on

Ketika laporan dari Watson Institute for International and Public Affairs mendarat di meja publik pada April 2025, angka 208 terpampang jelas seperti lonceng kematian: 208 jurnalis Palestina tewas di Gaza sejak Oktober 2023. Bukan sekadar statistik, angka ini adalah jeritan bisu dari kebenaran yang terkubur di bawah puing-puing perang. Laporan bertajuk News Graveyards: How Dangers to War Reporters Endanger the World menyebut konflik ini sebagai yang terburuk bagi jurnalis dalam sejarah—melampaui Perang Dunia, Vietnam, hingga Afghanistan. Tapi ini bukan tentang rekor. Ini tentang nyawa, tentang mata yang memandang, dan suara yang mencoba berbicara di tengah deru bom.

Bayangkan Mohammad Mansour, koresponden Palestine Today, atau Hossam Shabat dari Al Jazeera Mubasher, yang minggu lalu—tepat sebelum 2 April 2025—dihabisi dalam dua serangan terpisah oleh militer Israel. Israel mengakui membunuh Shabat, menyebutnya “teroris yang dieliminasi,” sebuah label yang langsung menempel tanpa bukti publik yang jelas. Ini bukan pertama kalinya. Samer Abu Daqqa, Hamza al-Dahdouh, Ismail al-Ghoul, Ahmed al-Louh—nama-nama ini bukan hanya daftar korban, tapi saksi yang dibungkam. Mereka adalah jurnalis lokal, orang-orang yang mengenal denyut Gaza, yang berlari ke reruntuhan untuk merekam apa yang dunia tak boleh lupakan. Namun, 208 kematian dalam 18 bulan—satu setiap tiga hari di 2024, menurut Watson—adalah lebih dari tragedi individu; ini adalah genosida terhadap fakta.

Pernahkah kita berhenti sejenak untuk memikirkan apa arti angka ini? Membunuh satu jurnalis sama dengan membunuh kebenaran, kata pepatah lama. Kalikan itu dengan 208, dan yang kita miliki adalah kehancuran sistemik terhadap jendela dunia ke Gaza. Laporan itu menyebutkan bahwa kebanyakan korban adalah jurnalis lokal, bukan koresponden asing yang dilarang masuk oleh Israel. Tanpa mereka, kita kehilangan lensa paling autentik—yang tidak hanya melihat, tapi merasakan penderitaan di tanah yang terkepung. Ketika Al Jazeera bersumpah mengejar keadilan untuk jurnalisnya, seperti yang mereka nyatakan pada Senin lalu, itu adalah seruan putus asa di tengah badai. Tapi suara mereka tenggelam oleh narasi yang lebih licin: Hasbara, mesin propaganda Israel yang tak hanya membunuh dengan peluru, tapi juga dengan kata-kata.

Hasbara—kata Ibrani untuk “penjelasan”—adalah senjata naratif yang mematikan. Ketika Shabat tewas, IDF langsung melabelinya “teroris.” Tanpa investigasi independen, tuduhan itu menyebar, diulang oleh media Barat yang kadang terlalu malas atau terlalu takut untuk menantang. Ini bukan kejadian tunggal. Shireen Abu Akleh, jurnalis Al Jazeera yang ditembak mati di Tepi Barat pada 2022, awalnya disalahkan pada Palestina oleh Hasbara, meski bukti akhirnya menunjuk ke tentara Israel. Di Gaza, pola ini berulang: jurnalis dilabeli “afiliasi Hamas” atau “propagandis,” reputasi mereka dihancurkan sebelum tubuh mereka dingin. Dari 208 kematian, berapa banyak yang “dibunuh” lagi oleh narasi ini? Watson Institute tak bisa menghitungnya, tapi efeknya jelas: dunia jadi kurang peduli, karena korban tak lagi dilihat sebagai pembawa kebenaran, melainkan sebagai “target sah.”

Media Barat, yang seharusnya jadi penyeimbang, sering kali jadi megafon tak sengaja untuk Hasbara. Ambil contoh BBC, yang baru-baru ini dikecam lebih dari 100 karyawannya sendiri dalam surat terbuka kepada direktur jenderal Tim Davie, dilaporkan The Independent pada 2025. Surat yang ditandatangani 237 orang—termasuk 101 staf anonim BBC, Sayeeda Warsi, dan Juliet Stevenson—menuduh BBC gagal menjunjung standar editorialnya sendiri. Mereka menyoroti headline seperti “Hind Rajab, 6, found dead in Gaza days after phone calls for help” pada Januari 2024, yang tak menyebut Israel sebagai pelaku meski gadis itu ditembak militernya. “Ini bukan tindakan Tuhan,” kata seorang penandatangan. “Israel harus ada di judulnya.” Tapi BBC, dalam responsnya, bersikeras mereka “berusaha jadi yang paling tepercaya dan imparsial,” sebuah klaim yang terasa hampa bagi staf yang resign karena kehilangan kepercayaan.

Surat itu juga menyinggung ketimpangan: BBC tak siarkan langsung gugatan genosida Afrika Selatan melawan Israel di ICJ pada 11 Januari 2024, tapi menyiarkan pembelaan Israel keesokan harinya. Karyawan mengeluh bahwa sumber Palestina selalu dianggap kurang kredibel dibandingkan klaim IDF, meski militer Israel punya rekam jejak kebohongan—dari Abu Akleh hingga Shabat. Ini bukan sekadar bias redaksional; ini adalah bukti bagaimana Hasbara meresap, membentuk cerita sebelum fakta punya kesempatan bicara. Dan ketika 208 jurnalis sudah tak bisa lagi melawan narasi itu, yang tersisa adalah lubang hitam informasi, tempat kebenaran mati bersama mereka yang mencoba menyuarakannya.

Bagi jurnalis yang masih bertahan di Gaza, angka 208 adalah bayang-bayang maut di setiap langkah. Mereka tahu rekan mereka—seperti Mansour atau Shabat—tak hanya mati karena bom, tapi juga karena mereka adalah ancaman bagi keheningan yang diinginkan perang. Watson Institute mencatat bahwa di 2023, seorang jurnalis tewas setiap empat hari; di 2024, setiap tiga hari. Ini bukan statistik acak—ini pola pembantaian. Mereka yang tersisa hidup dalam ketakutan ganda: peluru yang bisa datang kapan saja, dan fitnah yang akan mengikuti kematian mereka. Al Jazeera, dalam pernyataannya, menegaskan komitmen meliput Gaza “meski terus ditargetkan dan dilecehkan.” Tapi berapa lama mereka bisa bertahan ketika satu demi satu timnya jatuh?

Lalu apa artinya ini bagi dunia? Ketika 208 jurnalis dibungkam, kita kehilangan lebih dari nyawa—kita kehilangan sejarah yang mereka rekam. Bayangkan 208 laporan yang tak pernah ditulis, 208 foto yang tak pernah diabadikan, 208 suara yang tak pernah didengar. Gaza, yang sudah dikepung dan diisolasi, menjadi bisu di mata global karena saksi-saksinya dihabisi. Watson Institute memperingatkan bahwa ancaman terhadap jurnalis di zona perang merusak “ekosistem informasi dunia.” Tanpa mereka, kita bergantung pada narasi yang dikendalikan—sering kali oleh Hasbara atau media Barat yang tak cukup kritis—dan kebenaran jadi korban tak terlihat berikutnya.

Ini bukan hanya soal Gaza. Jika pembunuhan 208 jurnalis dibiarkan tanpa akuntabilitas, itu adalah preseden bagi setiap konflik di masa depan. Suriah, menurut Syrian Network for Human Rights, kehilangan 700 jurnalis dalam dekade perangnya—angka mengerikan yang kini dilampaui Gaza dalam intensitas. Tapi di Gaza, kecepatan dan skala pembunuhan ini, ditambah kontrol Israel atas akses, menciptakan kekosongan yang hampir sempurna. BBC mengakui “keterbatasan akses ke Gaza” dalam tanggapannya kepada The Independent, tapi jarang menekankan bahwa ini akibat kebijakan Israel—sebuah kelalaian yang memperkuat Hasbara secara tak langsung. Dan ketika kebenaran mati, yang tersisa hanyalah propaganda yang menang.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Solidaritas global adalah awal—jurnalis di luar Gaza harus meneruskan suara 208 yang hilang, menolak narasi Hasbara, dan menuntut investigasi independen. Platform seperti X bisa jadi saluran bagi jurnalis lokal untuk bicara langsung, melewati filter media besar. Tapi itu tak cukup. Publik harus dilatih melihat pola—klaim “teroris” tanpa bukti, headline yang mengaburkan pelaku—dan mencari sumber alternatif seperti laporan Watson atau video dari lapangan. Organisasi seperti Committee to Protect Journalists harus menekan PBB atau ICC untuk bertindak, meski politik global sering jadi penghalang.

Pada akhirnya, 208 bukan angka statistik—it’s a scream. Itu adalah 208 kebenaran yang terkubur, 208 mata yang ditutup, 208 cerita yang tak pernah selesai. Bagi jurnalis, ini adalah perang melawan keheningan paksa, di mana setiap kata yang mereka tulis adalah perlawanan. Bagi kita, ini adalah panggilan untuk tidak membiarkan kematian mereka sia-sia—untuk mendengar jeritan itu, dan memastikan kebenaran tak ikut mati bersama mereka. Karena jika kita diam, kita sama saja memegang senjata yang membunuh mereka.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *