Opini
20 Tahun Ngeyel, Sekarang Menyesal: Eropa dan Karma Politik Global

Dua puluh tahun lalu, mantan perdana menteri dan diplomat Prancis, Dominique de Villepin berdiri di depan dunia, menyampaikan peringatan di PBB dengan penuh percaya diri. Dengan bahasa yang tajam dan elegan, ia mengecam rencana invasi AS ke Irak dan memperingatkan Eropa agar tidak menjadi budak kebijakan luar negeri Washington. Pidatonya mendapat tepuk tangan langka dari Dewan Keamanan, tetapi di Eropa sendiri, suaranya hanya dianggap sebagai angin lalu.
Saat itu, Eropa masih asyik menikmati ilusi persahabatan dengan Amerika Serikat. Washington adalah pelindung, NATO adalah tameng, dan Uni Eropa bisa fokus pada urusan ekonomi tanpa harus repot-repot memikirkan pertahanan mandiri. Mereka menertawakan Villepin yang dianggap terlalu dramatis. “AS tidak akan pernah meninggalkan kita,” kata mereka dengan penuh keyakinan.
Dua dekade kemudian, realitas datang menghantam seperti batu bata yang jatuh dari lantai sepuluh. Donald Trump muncul sebagai presiden, mengobrak-abrik aliansi tradisional, mengancam menarik diri dari NATO, dan memperlakukan sekutu Eropa seperti mitra dagang kelas dua. Eropa yang dulu sombong kini mendadak tersadar: mereka tidak lebih dari satelit yang mengorbit di sekitar kepentingan Washington.
Villepin yang dulu dicemooh kini berdiri dengan ekspresi gue bilang juga apa? di wajahnya. “Eropa harus mandiri!” katanya lagi, seolah-olah itu bukan hal yang sudah dia ulang sejak 2003. Kali ini, suara Villepin tidak lagi terdengar sebagai provokasi, tetapi sebagai alarm yang membangunkan para pemimpin Eropa dari tidur panjang mereka.
Ketika Rusia menyerang Ukraina, Eropa berharap AS akan langsung terjun dengan segudang bantuan. Tapi apa yang terjadi? AS lebih sibuk dengan politik domestiknya, membiarkan Eropa kebingungan mencari cara untuk mempertahankan stabilitas. Mereka baru sadar bahwa sekutu yang mereka andalkan selama ini ternyata bisa dengan mudah berbalik badan jika tidak lagi merasa diuntungkan.
Villepin melihat ini semua dengan getir. Jika saja pada 2003 Eropa mendengarkan ucapannya, mereka mungkin sudah memiliki pertahanan yang lebih kuat, teknologi militer yang lebih mandiri, dan strategi luar negeri yang tidak tergantung pada siapa yang sedang duduk di Gedung Putih. Tapi tidak, mereka lebih suka membangun ilusi bahwa AS akan selalu ada untuk mereka.
Kini, Eropa mendadak rajin bicara tentang kemandirian strategis. Mereka mulai berbicara tentang investasi besar di sektor pertahanan, tentang mengurangi ketergantungan pada teknologi dan senjata AS. Bahkan Prancis dan Inggris, dua kekuatan utama di Eropa, mulai mencari cara untuk mempererat kerja sama militer tanpa perlu campur tangan Washington. Semuanya tampak seperti ide cemerlang—jika saja ini dilakukan dua puluh tahun lebih awal.
Di tengah semua ini, Elon Musk muncul sebagai tokoh yang tidak diundang dalam drama geopolitik Eropa. Villepin menudingnya sebagai ancaman baru: seorang miliarder yang ingin mengontrol media dan politik Eropa dengan cara yang bahkan lebih cerdik daripada para pemimpin populis. Musk diduga mendukung kelompok-kelompok ekstremis di Eropa, dan Villepin memperingatkan bahwa jika Eropa tidak berhati-hati, mereka bisa kehilangan kendali atas narasi politik mereka sendiri.
Tentu saja, beberapa pemimpin Eropa masih berusaha menenangkan diri. Mereka berkata, “Ah, ini hanya fase, AS pasti kembali pada kita.” Benarkah? Dengan tiga kekuatan besar dunia—AS, Rusia, dan China—yang kini semakin berhaluan nasionalis dan otoriter, apakah Eropa masih bisa bertaruh pada kemurahan hati Washington? Villepin sudah punya jawabannya, dan ia tidak akan lelah mengulanginya.
Yang paling ironis, Eropa kini menghadapi ancaman dari dalam. Partai-partai populis dan nasionalis semakin menguat, didorong oleh kebijakan yang selama ini gagal menjawab keresahan rakyat. Marine Le Pen, misalnya, berusaha meredam citra ekstremnya, tetapi Villepin dengan tajam mengingatkan bahwa ideologinya tetap dekat dengan politik Trump. Kedekatannya dengan Rusia dan sikap anti-globalisasinya adalah bagian dari gelombang besar populisme yang bisa mengubah wajah Eropa selamanya.
Namun, Villepin masih optimis. Ia percaya bahwa nasionalisme ekstrem pada akhirnya akan runtuh oleh realitas ekonomi dan sosial. Sejarah sudah membuktikan bahwa ketika politik berbasis ilusi bertemu dengan dunia nyata, ilusi itu akan hancur berantakan. Ia melihat peluang bagi Eropa untuk kembali ke jalur yang benar, tetapi hanya jika mereka benar-benar serius dalam membangun kemandirian.
Pertanyaannya sekarang, apakah Eropa siap membayar harga atas kesalahan mereka selama dua dekade terakhir? Membangun pertahanan mandiri tidak bisa dilakukan dalam semalam. Mengurangi ketergantungan pada AS dalam teknologi dan industri militer membutuhkan investasi besar dan waktu yang tidak singkat. Singkatnya, Eropa kini harus mengejar waktu yang telah mereka sia-siakan.
Jika saja dua puluh tahun lalu mereka mendengarkan Villepin, mungkin situasi hari ini tidak akan serumit ini. Tapi seperti kata pepatah lama, orang bijak belajar dari kesalahan, sementara orang bodoh mengulangi kesalahan yang sama sambil berharap hasilnya berbeda. Eropa kini harus memutuskan di kelompok mana mereka ingin berada.