Connect with us

Opini

12 Hari Perang, 4 Tahun Panik: Pentagon Butuh Napas

Published

on

Dalam 12 hari yang panas, langit Timur Tengah dibelah oleh suara rudal dan gemuruh perisai buatan manusia. Amerika Serikat, negara yang selama ini dijuluki “arsenal demokrasi dunia,” tiba-tiba menunjukkan gejala sesak napas. Bukan karena serangan langsung ke jantung Washington, bukan pula karena konflik menyentuh batas negaranya—melainkan karena terlalu sibuk menjadi satpam global. Sebuah laporan dari Israeli Defense dan CNN membuka tirai teater geopolitik: 150 peluru pencegat THAAD, seperempat dari seluruh inventaris AS, diluncurkan untuk melindungi Israel dari serangan Iran. Dalam dua belas hari. Dua belas. Seperempat amunisi untuk perang yang bahkan bukan milik mereka.

Sekarang bayangkan ini: butuh sekitar empat tahun untuk memproduksi kembali jumlah itu. Empat tahun produksi, melawan dua belas hari konsumsi. Rasio yang luar biasa tragis. Bayangkan seseorang menghirup oksigen dalam-dalam hanya untuk berteriak bagi orang lain—dan baru sadar bahwa tabungnya kosong ketika giliran bernapas tiba. Pentagon, konon pusat strategi militer tercanggih dunia, kini tengah menghitung kembali persediaan dan mempercepat lini produksi yang selama ini malas-malasan. Mereka seperti pemadam kebakaran yang baru sadar tak punya air setelah memadamkan api di rumah tetangga.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

THAAD, si kebanggaan Lockheed Martin yang seharusnya menjadi tameng anti-rudal pamungkas, terbukti hanya kuat di katalog. Hebat di brosur, tapi bisa habis dalam hitungan hari. Tidak ada drama besar, tidak ada “perang dunia,” hanya konflik terbatas di Timur Tengah. Namun dampaknya seperti gempa di ruang-ruang logistik Pentagon. Sistem pertahanan AS, yang katanya siap menghadapi tiga front sekaligus—Rusia, Tiongkok, dan Iran—ternyata ngos-ngosan baru satu kaki dilangkahkan. Seperti orang yang terlalu percaya diri membawa tas kecil untuk pindahan rumah.

Yang lebih menggelikan, laporan menyebut bahwa kapal perang AS juga menembakkan 80 misil SM-3 dari laut. Bukannya pamer kehebatan, justru menimbulkan pertanyaan serius soal efektivitasnya. Pentagon sampai harus melakukan audit operasional atas setiap peluncuran. Seperti guru matematika yang terpaksa memeriksa ulang jawaban siswa karena nilainya terlalu rendah untuk dipercaya. Dunia disuruh percaya bahwa sistem ini adalah benteng tak tertembus, tapi prakteknya malah jadi koleksi peluru mahal yang hilang begitu saja dalam dentuman dan debu.

Tentu, semua ini bukan hanya soal angka. Ini soal cara berpikir, prioritas, dan absurditas peran Amerika Serikat di panggung dunia. Untuk membela Israel—negara yang tidak pernah kekurangan bantuan militer, ekonomi, maupun moral dari Washington—AS rela menguras cadangan misil strategisnya. Cadangan yang seharusnya disiapkan untuk situasi gawat, kini justru terkuras untuk kepentingan politik Timur Tengah. Seolah-olah AS adalah lembaga asuransi eksklusif untuk satu negara di dunia. Dan premi yang dibayarkan? Keamanan nasionalnya sendiri.

Tak perlu jadi pakar militer untuk menyadari betapa konyolnya ini. Bahkan di warung kopi pun, orang bisa tertawa getir membayangkan negara adidaya panik karena kehabisan peluru. Dan ketika kita bicara soal ancaman dari Tiongkok di kawasan Pasifik, dari Korea Utara yang rutin bermain-main dengan roket, atau bahkan dari serangan siber Rusia yang menyusup ke sistem pertahanan—pertanyaannya sederhana: dengan apa Amerika akan bertahan? Dengan semangat juang Hollywood?

Beberapa pensiunan jenderal AS, dalam laporan CNN, bahkan mengaku terkejut melihat betapa rendahnya stok peluru THAAD. Salah satu dari mereka sampai menyebut ini “mengejutkan”—yang kalau diterjemahkan ke bahasa sehari-hari mungkin berbunyi: “Gila, kita seceroboh itu, ya?” Kita sedang menyaksikan detik-detik di mana sebuah negara superpower tiba-tiba sadar bahwa kekuatannya bukanlah tak terbatas, melainkan sangat manusiawi: bisa habis, bisa panik, bisa kelelahan. Bahkan bisa bodoh, jika terlalu percaya diri.

Anehnya, narasi-narasi resmi tetap bicara tentang perlunya mempertahankan “tatanan dunia berbasis aturan.” Aturan siapa? Tatanan apa? Jika tatanan itu artinya harus mengorbankan 25% peluru pencegat demi satu sekutu, lalu mengeluh soal kesiapan menghadapi Tiongkok, maka mungkin yang dibutuhkan bukan penambahan anggaran pertahanan, tapi sesi terapi kelompok bagi para perencana perang di Pentagon.

Ironisnya, semua ini terjadi di tengah bantuan miliaran dolar AS untuk Ukraina. Kita belum bicara soal kebutuhan misil untuk front Eropa, atau ketegangan yang terus meningkat di Laut China Selatan. Amerika sedang mencoba menjadi pemadam kebakaran di tiga benua sekaligus—tapi hanya membawa satu ember. Dan embernya bocor. Kini, setelah kelelahan membela satu negara di Timur Tengah, mereka sadar bahwa tidak ada cukup peluru untuk membela diri sendiri. Itulah tragedi satir yang sedang kita saksikan.

Bagi kita yang tinggal di ujung lain dunia—di Indonesia, misalnya—semua ini bisa jadi terasa jauh. Tapi ketimpangan ini berdampak nyata. Saat anggaran militer AS menggelembung demi perang-perang yang bukan milik mereka, banyak wilayah di Global South masih berjuang mendapatkan vaksin, pangan, dan akses air bersih. Sementara satu misil THAAD seharga $10 juta bisa habis dalam satu dentuman, jutaan orang di Afrika dan Asia menunggu bantuan kemanusiaan yang selalu katanya “sedang diproses.”

Ini bukan hanya soal peluru. Ini soal cara dunia diatur oleh negara-negara besar yang lupa bahwa kekuasaan, tanpa logika dan empati, akan menggerogoti dirinya sendiri. Pentagon kini panik, bukan karena diserang, tapi karena terlalu sibuk menyerang untuk orang lain. Ini bukan cerita tentang keberanian atau diplomasi tinggi. Ini cerita tentang betapa sebuah negara bisa terjebak dalam peran global yang mereka ciptakan sendiri—dan akhirnya kehabisan napas di tengah panggung.

Kita tahu, dunia ini tidak selalu masuk akal. Tapi ketika negara terkuat di dunia kehabisan senjata karena terlalu banyak ikut campur urusan orang, rasanya kita berhak untuk menyebutnya dengan satu kata sederhana: konyol. Atau jika ingin lebih sopan dan akademis, kita bisa menyebutnya sebagai “kontradiksi imperial.”

Tapi mari kita tetap santai. Mungkin dalam empat tahun ke depan, lini produksi akan bekerja siang malam, para kontraktor senang, saham naik, dan Amerika kembali merasa siap. Hingga perang berikutnya datang. Dan kita pun akan membaca berita serupa, tertawa pahit, lalu kembali sibuk dengan harga cabai yang naik dan jalan berlubang di depan rumah.

Karena pada akhirnya, bahkan adidaya pun butuh istirahat. Dan tampaknya, Pentagon sekarang sedang butuh napas panjang.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer