Connect with us

Opini

12 Hari, $12 Miliar, dan Retaknya Kepercayaan Diri “Israel”

Published

on

Dalam 12 hari yang terasa seperti gema dentuman berabad-abad, “Israel” dihantam badai misil dari Iran yang bukan hanya meledakkan bangunan, tapi juga meledakkan mitos. Laporan resmi yang dirilis pemerintah menunjukkan angka kerugian awal sebesar 10 miliar shekel, atau sekitar$3 miliar. Angka itu mencakup kerusakan gedung, infrastruktur, serta kompensasi untuk bisnis yang terdampak. Tapi tunggu dulu—itu baru pembukaan. Belum termasuk pengisian ulang Iron Dome, belum termasuk amunisi, belum termasuk biaya militer yang terus menguap seperti janji damai di forum PBB.

Sungguh, angka-angka ini bukan sekadar deret nol di layar komputer Kementerian Keuangan Zionis. Ini luka. Luka material yang tak bisa ditutup oleh retorika “kita masih kuat” atau “pertahanan kita solid.” Bahkan Menteri Keuangan mereka, Bezalel Smotrich, secara jujur (atau frustrasi?) memprediksi total kerugian bisa mencapai $12 miliar. Ini artinya sama dengan sehari, “Israel” menggeluarkan dana $1 miliar. Sementara Gubernur Bank Sentral, Amir Yaron, mencoba meredam dengan angka lebih kecil—sekitar $6 miliar—seakan ekonomi bisa dipulihkan hanya dengan kalkulasi optimisme.

Perekonomian Zionis, yang selama ini dipoles sebagai kiblat teknologi dan stabilitas di kawasan penuh konflik, mendadak berhenti berdetak. Sekolah tutup, bisnis macet, hanya layanan esensial yang diperbolehkan beroperasi. Dalam 12 hari, jantung ekonomi kawasan Tel Aviv—yang katanya tak pernah tidur—dipaksa tidur paksa. Kita bicara tentang wilayah metropolitan yang menampung lebih dari separuh populasi Zionis, bukan desa kecil di perbatasan. Ketika pusat itu lumpuh, maka bukan hanya ekonomi yang terkena, tapi juga rasa aman yang selama ini menjadi komoditas utama Zionis untuk menjual masa depan pada warganya.

Tak main-main, pemerintahnya sendiri memperkirakan bahwa hanya untuk ganti rugi bisnis saja, mereka harus menyiapkan 5 miliar shekel (sekitar $1,4 miliar). Itu hampir dua kali lipat dari total kompensasi untuk kerusakan akibat serangan Hamas sejak Oktober 2023. Bayangkan: sebuah kelompok perlawanan di Gaza yang diblokade, yang senjatanya seringkali dimulai dari pipa bekas, justru menimbulkan kerusakan lebih kecil dibanding negara berdaulat bernama Iran yang kini tak segan menunjukkan giginya.

Dan di titik ini, kita perlu berhenti sejenak—bukan untuk berempati, tapi untuk merenung. Betapa absurditas ini menggenang di depan mata. Negara yang konon paling bersenjata di kawasan Timur Tengah, negara dengan anggaran pertahanan nyaris tak terbatas berkat suntikan rutin dari Washington, justru keteteran menghadapi 12 hari serangan balasan. Belum sebulan. Belum total perang.

Iron Dome yang dulu dielu-elukan sebagai “payung dewa” ternyata bocor. Rudal balistik Iran menghantam Weizmann Institute of Science, sebuah simbol kemajuan sains “Israel.” Serangan juga menyasar kilang minyak di Haifa, serta sebuah rumah sakit besar di wilayah selatan. Ini bukan hanya serangan fisik—ini tamparan psikologis. Ketika rumah sakit diserang dan laboratorium sains hancur, narasi “kami hanya membela diri” mulai terdengar sekarat.

Donald Trump, dengan gayanya yang selalu dramatis dan—tak jarang—konyol, menyelipkan kalimat yang terdengar seperti sindiran jujur: “Those ballistic missiles, boy, they took out a lot of buildings.” Iya, boy, dan banyak juga yang akhirnya sadar: gedung-gedung itu tidak dibangun di atas kenyataan bahwa negeri ini kebal. Mereka dibangun di atas ilusi superioritas. Dan ilusi itu kini tersungkur di reruntuhan beton dan kaca.

Kita di Indonesia mungkin sulit membayangkan kerugian sebesar $12 miliar. Tapi mari bantu membumikan: itu setara dengan separuh anggaran pendidikan nasional kita. Atau bisa membangun puluhan rumah sakit tipe A. Atau, dalam skala individu, cukup untuk memberi makan semua warga miskin Indonesia selama beberapa tahun. Namun di Tel Aviv, uang sebanyak itu dibakar dalam 12 hari. Bukan untuk pembangunan, tapi untuk mempertahankan ilusi kekuasaan.

Ada ironi yang menggelitik di sini. Negara yang selama ini mengklaim diri sebagai korban, sebagai garda terdepan demokrasi di tengah gurun otoritarianisme, ternyata tak lebih dari benteng rapuh yang mudah terguncang. Mungkin mereka tak menyangka bahwa perang modern tak hanya diukur dari jumlah tank, tapi juga dari kemampuan bertahan menghadapi guncangan psikologis, ekonomi, dan diplomatik. Dan mereka jelas kalah di banyak lini.

Apakah ini akhir dari keperkasaan Zionis? Mungkin belum. Tapi ini jelas titik patah. Dalam 75 tahun sejarahnya, belum pernah “Israel” mengalami kehancuran simultan di bidang ekonomi, sosial, dan militer dalam waktu sesingkat ini. Mereka bisa saja membalas lebih dahsyat, bisa saja menghancurkan Teheran, tapi ongkosnya akan jauh lebih mahal—bukan hanya dalam bentuk uang, tapi juga dalam bentuk legitimasi moral yang makin menipis.

Bagi Iran, ini lebih dari sekadar serangan balasan. Ini pembuktian bahwa mereka bukan lagi pemain pinggiran, bukan sekadar “sutradara bayangan” di belakang Hizbullah atau Houthi. Mereka adalah aktor utama, dengan senjata yang bisa menggetarkan pusat-pusat simbolik Zionis. Dan dunia melihat itu. Dunia mencatat. Dunia mulai bertanya: kalau “Israel” tak bisa membela dirinya sendiri, mengapa kita harus terus percaya pada narasi mereka?

Tulisan ini bukan perayaan atas penderitaan—karena perang tak pernah benar-benar membawa kemenangan. Tapi ini adalah catatan atas perubahan zaman. Zaman di mana mitos runtuh, satu per satu, oleh kenyataan yang tak bisa lagi disangkal. Bahwa kekuasaan bukan soal berapa banyak senjata dimiliki, tapi seberapa kuat bertahan menghadapi realitas baru.

Dan realitas itu kini mengetuk pintu bunker-bunker Tel Aviv.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *