Opini
100 Hari Trump: Janji Besar, Kekacauan Lebih Besar?

Sebuah polling yang dilakukan NBC mengungkapkan bahwa 52% rakyat Amerika kecewa dengan orang-orang yang dipilih Donald Trump untuk mengisi kabinetnya. Sementara itu, hanya 45% yang mendukung, mungkin termasuk mereka yang percaya bumi itu datar dan perubahan iklim adalah kebohongan buatan China. Sebuah angka yang lebih rendah dibandingkan Obama pada 2008, ketika 67% rakyatnya puas dengan pilihan kabinet presiden. Jika angka ini adalah sinyal bahaya, Trump tampaknya sedang memakai kacamata hitam di tengah badai.
Polling lain dari CNN menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Amerika kecewa dengan kebijakan ekonomi Trump. Bayangkan, dalam tiga bulan pertama, presiden yang menjanjikan kebangkitan ekonomi justru membuat 56% rakyatnya merasa bahwa ia telah menginjak-injak janji kampanye dengan sepatu buatan Meksiko. Tentu saja, Trump tidak peduli. Bagi seorang pria yang lebih sering bercermin daripada membaca laporan ekonomi, opini rakyat hanyalah suara bising yang bisa direduksi dengan satu tweet penuh caps lock.
Tingkat kepuasan terhadap kebijakan luar negeri Trump bahkan lebih menyedihkan. Reuters melaporkan bahwa hanya 37% yang mendukung kebijakan luar negeri Trump, sementara 50% lainnya lebih memilih menuangkan aspirasi mereka dalam sumpah serapah di Twitter. Mengingat cara Trump berkomunikasi lebih mirip influencer gagal daripada kepala negara, sepertinya dia lebih sibuk menyiapkan punchline berikutnya daripada mencari solusi nyata dalam hubungan internasional.
Jika ada satu hal yang konsisten dari 100 hari pertama Trump, itu adalah kemampuannya mengabaikan kenyataan dengan keteguhan luar biasa. Ketika rakyatnya mengirimkan sinyal peringatan lewat hasil polling, Trump memilih untuk melanjutkan langkahnya dengan penuh percaya diri, seperti seorang pria yang kehilangan kompas tetapi bersikeras bahwa ia sedang menuju surga. Faktanya, ia lebih suka menyalahkan media, menyebut mereka sebagai ‘fake news’ daripada mengakui bahwa kepemimpinannya sedang berjalan seperti kapal Titanic yang baru saja menabrak gunung es.
Dalam strategi politik yang aneh namun efektif, Trump tidak berusaha merebut hati rakyat Amerika secara keseluruhan. Ia hanya perlu menjaga basis loyalnya, sekelompok orang yang meyakini bahwa ia adalah penyelamat dari kaum elit yang korup, meskipun Trump sendiri adalah milyarder yang lebih sering bermain golf daripada bekerja. Bagi mereka, setiap kritik terhadap Trump adalah bagian dari konspirasi global, dan setiap keputusan buruknya hanyalah ujian kesetiaan.
Ironisnya, janji-janji besar yang ia gembar-gemborkan saat kampanye justru menjadi senjata makan tuan. Ia berjanji akan memperbaiki sistem kesehatan, tetapi kini 56% rakyat Amerika menilai kebijakan kesehatannya lebih buruk daripada sakit kepala akibat mendengarkan pidatonya. Ia berjanji akan memajukan ekonomi, tetapi hanya butuh 100 hari baginya untuk membuat rakyatnya sadar bahwa slogan ‘Make America Great Again’ mungkin sebaiknya diubah menjadi ‘Make America Gag Again’ karena begitu memuakkan.
Namun, di balik kekacauan ini, ada satu hal yang patut diakui: Trump adalah seorang entertainer sejati. Setiap kebijakannya bukan hanya menjadi berita, tetapi juga hiburan. Setiap tweet-nya bukan hanya pernyataan politik, tetapi juga meme viral. Ia telah berhasil mengubah Gedung Putih menjadi reality show terbesar di dunia, di mana skandal demi skandal muncul seperti episode yang ditunggu-tunggu oleh penonton setia dan haters yang penasaran.
Kebijakan tarif Trump juga tak kalah mengundang gelombang kekecewaan. 61% responden CNN menyatakan bahwa mereka tidak puas dengan kebijakan tarifnya. Dari kebijakan yang merugikan petani hingga merangsang perang dagang dengan China, Trump seolah memimpin dengan metode coba-coba tanpa strategi yang jelas. Alih-alih menyusun rencana jangka panjang, ia lebih sibuk mencari siapa yang bisa disalahkan jika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan.
Di bidang kesehatan, Trump dan Partai Republik berusaha mencabut Obamacare, yang menjadi penyelamat bagi jutaan warga Amerika. Sayangnya, usahanya justru memperjelas bahwa alternatif yang mereka tawarkan tidak lebih dari janji kosong. Warga Amerika yang selama ini mengandalkan asuransi kesehatan yang lebih terjangkau mendadak menyadari bahwa slogan-slogan kampanye Trump tidak bisa menggantikan kebutuhan medis mereka.
Sementara itu, kebijakan imigrasinya lebih menyerupai plot film distopia daripada solusi yang masuk akal. Larangan terhadap warga negara Muslim, pembangunan tembok di perbatasan Meksiko, dan kebijakan deportasi massal membuat banyak keluarga tercerai-berai. Tetapi bagi Trump, ini hanyalah langkah yang diperlukan demi menjaga ‘keamanan nasional’—terlepas dari fakta bahwa banyak teroris yang melakukan serangan di AS justru lahir dan besar di negara itu sendiri.
Dari sisi lingkungan, Trump secara aktif membongkar kebijakan-kebijakan perlindungan lingkungan yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya. Ia menarik AS keluar dari Kesepakatan Paris, mengizinkan eksplorasi minyak dan gas di kawasan lindung, serta menyangkal perubahan iklim dengan gaya khasnya yang anti-sains. Jika ada sesuatu yang bisa dijadikan contoh kepemimpinan yang membutakan diri terhadap kenyataan, Trump telah melampauinya.
Jadi, apakah Trump akan mengubah kebijakannya demi merespons suara rakyat? Kemungkinannya lebih kecil daripada dia membaca buku. Trump telah menunjukkan berkali-kali bahwa ia bukan tipe pemimpin yang akan melunak karena kritik. Baginya, menjadi presiden bukan soal membangun negara, melainkan membangun brand. Dan sejauh ini, ia berhasil. Dalam 100 hari, ia telah memperkuat citranya sebagai presiden yang tidak peduli dengan aturan main, yang menganggap opini rakyat sebagai polusi suara, dan yang melihat Gedung Putih sebagai markas besar bisnis pribadinya.
Mungkin, dalam beberapa bulan ke depan, ketika polling menunjukkan angka yang lebih buruk, Trump akan tetap melangkah dengan keyakinan penuh bahwa ia adalah pahlawan Amerika. Dan ketika rakyatnya semakin frustasi, ia hanya perlu satu langkah sederhana untuk mengalihkan perhatian: membuka Twitter, mengetik beberapa kata provokatif, dan membiarkan dunia terbakar dalam pertarungan opini tanpa akhir.