Connect with us

Opini

10 Ribu Nyawa Tumbal Pahit Transisi Suriah

Published

on

Sejak runtuhnya rezim lama, Suriah bukan lagi sekadar negara yang porak-poranda oleh perang, melainkan panggung raksasa di mana ribuan nyawa melayang seperti angka-angka di tabel kematian. Menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), sejak Desember 2024 hingga awal Agustus 2025, 9.889 orang tewas. Angka itu, di atas kertas, hanyalah deretan digit. Namun, jika diurai, di balik setiap digit ada wajah, ada keluarga, ada cerita yang kini terputus di tengah jalan. Dari jumlah itu, 7.449 adalah warga sipil—396 di antaranya anak-anak, 541 perempuan. Sisanya, para kombatan dari berbagai kubu, yang namanya mungkin hanya akan muncul di daftar korban perang, tak lebih.

Angka-angka itu tidak datang dari satu pihak saja. Mereka tewas di tangan berbagai aktor, dari kelompok bersenjata lokal hingga kekuatan asing. Ada yang mati karena tembakan sembarangan, ada yang dibunuh di jalanan karena identitas politik atau agama, ada yang meninggal di ruang-ruang gelap penjara karena disiksa, dan ada pula yang dilumat ledakan ranjau. Satu bulan paling mematikan, Maret 2025, mencatat 2.644 kematian—1.726 di antaranya eksekusi lapangan. Ya, eksekusi, sebuah kata yang seharusnya diucapkan pelan-pelan, tapi di sini jadi rutinitas seperti jadwal salat. Sebagian besar terjadi di pos-pos pemeriksaan di wilayah pesisir, tempat identitas seseorang bisa menjadi vonis mati yang dijatuhkan dalam hitungan detik.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Di tengah semua ini, presiden transisi Ahmad al-Sharaa berdiri di puncak kekuasaan. Bukan kekuasaan yang lahir dari mandat rakyat, melainkan dari momentum kekacauan. Pertanyaannya: semua nyawa ini, apakah bagian dari “harga” menuju masa depan yang dijanjikan? Ah, tapi menyebutnya harga terlalu mulia, terlalu memberi kesan ada kesepakatan antara pemberi dan penerima. Mereka bukan pembayar, mereka adalah tumbal. Tumbal bagi al-Sharaa untuk mencapai sesuatu—apa pun itu—yang jelas bukan kehidupan yang lebih aman bagi rakyatnya.

Tumbal, karena mereka tidak pernah menandatangani kontrak sosial yang membolehkan nyawa mereka dijadikan alat tawar-menawar. Tumbal, karena kematian mereka terjadi di bawah atmosfer yang sengaja dibiarkan kacau, di mana hukum mati, dan yang hidup adalah selera politik penguasa dan kepentingan kelompok bersenjata. Jika ini adalah “revolusi” atau “transisi,” maka ia telah memakan anak-anaknya sendiri, seperti mitos-mitos Yunani yang pernah kita baca, hanya saja kali ini disiarkan secara langsung dan dicatat dalam laporan statistik.

Lebih ironis lagi, banyak dari kematian ini terjadi bukan karena pertempuran sengit di garis depan, melainkan akibat penentuan identitas di pos pemeriksaan, gosip sektarian yang berujung eksekusi, atau dendam lama yang dilunasi di tengah kekosongan hukum. Bayangkan, di abad ke-21, di sebuah negara yang pernah memimpikan modernisasi, nyawa seseorang bisa lenyap hanya karena namanya “terdengar” dari kelompok tertentu. Sungguh absurd—meski mungkin kata itu terlalu ringan untuk menggambarkannya.

Kondisi ini mengingatkan saya pada pepatah yang sering kita dengar di Indonesia: “Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah.” Bedanya, di Suriah, pelanduknya dibunuh secara sistematis, lalu diarsipkan rapi dalam laporan HAM. Di sini, pelanduk tak hanya mati karena terhimpit, tapi diburu, diinterogasi, lalu dieksekusi, demi memastikan para gajah tetap nyaman di singgasananya. Dan para gajah itu bukan cuma satu atau dua—ada gajah lokal, ada gajah asing, semua ikut berpesta di reruntuhan.

SOHR juga mencatat adanya ratusan kasus penyiksaan di penjara berbagai kelompok bersenjata, dari ISIS hingga SDF, bahkan kelompok pro-pemerintah. Ribuan orang masih ditahan tanpa dakwaan atau proses hukum—dokter, mantan perwira, warga biasa. Mereka hilang dari rumah, ditangkap di jalan, atau di pos pemeriksaan, lalu lenyap. Bagi keluarga, hanya ada harapan tipis dan rumor yang membakar malam. Di sini, hukum bukan sekadar mati, tapi dibunuh.

Yang lebih menggelikan—dalam arti sinis—adalah upaya sistematis untuk membakar lagi bara sektarian. SOHR melaporkan adanya kampanye disinformasi yang memfitnah komunitas tertentu: Alawit disebut “sisa-sisa rezim,” Druze dicap “kolaborator,” Kurdi dilabeli “separatis.” Seakan konflik belum cukup, mereka tambahkan bumbu kebencian agar luka sosial semakin menganga. Dan jangan lupa, semua ini juga dibumbui serangan siber, doxing, dan pembunuhan karakter terhadap jurnalis serta aktivis HAM. Rupanya, dalam katalog kekerasan, bahkan reputasi pun bisa dijadikan tumbal.

Saya teringat obrolan dengan seorang teman di Jakarta yang pernah bilang, “Kadang orang mati bukan karena peluru, tapi karena dianggap perlu.” Di Suriah, kalimat itu terasa sangat literal. Sebab, di tengah kekosongan kekuasaan, nyawa bisa menjadi alat politik yang murah, sekaligus pesan yang mahal. Pesan bahwa kekuasaan kini berada di tangan mereka yang berani menumpuk mayat lebih banyak, bukan mereka yang mampu menegakkan hukum atau melindungi rakyat.

Jika kita tarik ke konteks lokal, bayangkan saja seandainya Indonesia mengalami kekosongan otoritas seperti ini setelah pergantian presiden. Bayangkan jika aparat pecah menjadi faksi-faksi, milisi lokal muncul di setiap kota, dan tetangga Anda bisa menghilang hanya karena berbeda afiliasi politik. Kita sering memandang krisis di Timur Tengah sebagai drama jauh di sana, tapi nyatanya, sejarah menunjukkan bahwa kekacauan seperti ini tidak pernah benar-benar “jauh.” Ia bisa menjadi cermin gelap yang memantulkan potensi paling buruk dari politik kita sendiri.

Mereka yang tewas di Suriah tidak mendapatkan apa pun dari kematian mereka. Tidak ada keamanan baru, tidak ada keadilan, tidak ada stabilitas ekonomi. Mereka hanya menjadi angka dalam laporan, foto dalam arsip, atau kenangan yang perlahan memudar di kepala keluarga yang tersisa. Jika ini adalah revolusi yang dijanjikan membawa demokrasi, maka ia sedang berjalan mundur sambil tersenyum sinis.

Ahmad al-Sharaa mungkin akan berkata bahwa semua ini adalah “bagian dari proses transisi” atau “dampak sampingan dari membangun negara baru.” Kalimat seperti itu sering terdengar di ruang-ruang konferensi internasional, disampaikan dengan bahasa yang rapi, sambil diselipi jargon-jargon pembangunan. Namun, di lapangan, transisi itu terasa seperti eksperimen sosial yang menjadikan jutaan warga sebagai kelinci percobaan, dan ribuan lainnya sebagai tumbal permanen.

Pada akhirnya, angka-angka di laporan SOHR itu seperti monumen digital bagi absurditas kita sebagai manusia. Kita mampu mencatat kematian dengan presisi, mengelompokkan korban berdasarkan sebab, bulan, dan jenis kelamin, namun gagal mencegahnya terjadi lagi bulan depan. Kita mengutuk kekerasan di forum-forum resmi, sambil membiarkan pelakunya duduk di kursi kekuasaan atau bernegosiasi di meja perundingan. Dan kita, entah di Jakarta atau Damaskus, tetap terjebak dalam ilusi bahwa kematian massal bisa dibenarkan demi “tujuan besar.”

Mungkin inilah warisan terburuk dari abad ini: kemampuan untuk mengubah nyawa manusia menjadi data yang bisa diolah, dianalisis, bahkan dijadikan bahan presentasi—sementara darahnya belum kering di tanah. Suriah hari ini adalah pengingat pahit bahwa di tangan penguasa yang salah, rakyat tidak pernah menjadi pemilik negara, hanya menjadi stok tumbal yang siap dipakai sesuai kebutuhan politik. Dan seperti biasa, mereka yang masih hidup hanya bisa berharap bahwa nama mereka tidak masuk dalam angka kematian di bulan berikutnya.

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Suriah di Ambang Kekacauan: Janji Baru, Nyawa Terenggut Lagi - vichara.id

  2. Pingback: Dari Pemimpin Milisi ke Presiden: Jejak Darah Ahmad al-Sharaa - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer