Connect with us

Feature

Tragedi Penyiksaan Tahanan Palestina Sebelum Dibebaskan

Published

on

Pada pagi yang penuh harapan, sejumlah tawanan Palestina akhirnya dibebaskan, namun kebahagiaan itu ternodai oleh jejak kekejaman yang tak terhapuskan. Gencatan senjata yang membawa kebebasan bagi 90 orang—termasuk 21 anak-anak dan 69 wanita—memang membawa secercah harapan, namun perjalanan mereka menuju kebebasan penuh dengan luka batin dan fisik yang tak terhitung jumlahnya.

Di balik senyum yang tersungging, tersimpan kisah yang mencekam tentang penghinaan dan kekerasan yang mereka alami. Di penjara-penjara Israel, kehidupan mereka adalah derita tanpa ujung. Mereka yang baru dibebaskan, seperti Rula Hassanein, seorang jurnalis yang baru saja melahirkan sebelum ditangkap, menggambarkan betapa penguasa Israel tidak hanya mencabut kebebasan, tetapi juga martabat mereka sebagai manusia. “Saya sangat khawatir dengan anak saya, yang saya tinggalkan saat masih membutuhkan ASI,” ujar Rula, dengan suara yang penuh kesedihan. Keadaan fisiknya yang memprihatinkan, dengan wajah pucat dan tubuh yang kurus, menjadi bukti nyata dari penderitaan yang ia alami.

Kisah penderitaan itu tak hanya milik Rula. Nidaa Salah, seorang wanita dari Jenin, menceritakan bagaimana ia dan para tahanan wanita lainnya diperlakukan dengan kejam saat akan dibebaskan. “Kami dipukul, rambut kami ditarik, tubuh kami dijatuhkan ke tanah, dan tidak ada yang membantu kami bangun,” ujar Nidaa, menggambarkan bagaimana tubuh mereka direndahkan bahkan pada saat-saat terakhir mereka di penjara. Semua ini, katanya, hanya untuk memanipulasi dan merendahkan martabat mereka sebagai perempuan, sebagai manusia.

Sementara para tawanan Palestina diseret ke dalam dunia yang penuh kekerasan dan penyiksaan, dunia luar sedang berusaha menunggu dan berharap. Mereka yang terkurung di dalam penjara tidak tahu kapan kebebasan itu akan datang, tidak tahu apakah mereka akan melihat keluarga mereka lagi. Mereka hanya bisa berpegangan pada kesabaran dan harapan bahwa gencatan senjata ini akan menjadi awal dari kebebasan yang sejati.

Khalida Jarrar, seorang tokoh penting dalam Front Populer untuk Pembebasan Palestina, baru saja dibebaskan setelah enam bulan berada dalam isolasi total. Dengan rambut yang memutih akibat tekanan berat, Khalida mewakili ratusan perempuan dan anak-anak yang menderita di balik jeruji penjara Israel. Dia adalah bukti dari kejahatan administratif yang diterapkan oleh otoritas Israel, yang menahan orang tanpa dakwaan, tanpa proses pengadilan, hanya untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Di sisi lain, para tawanan yang telah dibebaskan itu, meski diizinkan kembali kepada keluarga mereka, harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan yang mereka peroleh datang dengan harga yang sangat mahal. Mereka merasa terpecah antara kebahagiaan untuk bertemu keluarga dan penderitaan yang mereka alami. Seperti yang dikatakan Amal Shujaiya, salah satu mantan tahanan, “Mereka membunuh kami secara perlahan, dengan cara yang lebih hina dan brutal. Kami tidak hanya ditahan, tetapi dihancurkan secara mental dan fisik.”

Penyiksaan ini bukan hanya soal fisik. Dalam kisah Ablaa Sadaat, seorang mantan tahanan yang menceritakan bahwa penguasa Israel berusaha memecah belah jiwa mereka dengan memperlakukan mereka sebagai makhluk yang lebih rendah. “Mereka berusaha menghancurkan rasa percaya diri kami. Mereka ingin kami merasa bahwa mereka lebih tinggi dari kami, bahwa kami tak lebih dari sekadar benda yang bisa mereka perlakukan sesuka hati,” ujarnya dengan suara yang penuh kebencian. Namun, meskipun diperlakukan dengan kejam, tekad mereka tetap utuh, seperti yang diungkapkan oleh Sadaat, “Kebebasan adalah sesuatu yang sangat berharga. Kami tidak akan pernah menyerah.”

Sebagai bentuk perbandingan yang mengerikan, video dari tiga wanita Israel yang dibebaskan oleh Hamas menunjukkan mereka tersenyum dan bercanda dengan para penjaga mereka setelah lebih dari setahun ditahan. Mereka bahkan diberi tas hadiah berisi kenang-kenangan dari masa penahanan mereka. Sedangkan bagi tawanan Palestina, kebebasan datang dengan ceceran darah dan air mata. “Kami diseret, dipukuli, dihina,” kata Raghad Amr, seorang perempuan muda yang baru dibebaskan, mengingat penderitaan yang mereka alami.

Semua ini adalah gambaran betapa kejamnya perlakuan yang diterima oleh tawanan Palestina. Di balik perayaan kebebasan yang seharusnya penuh dengan sukacita, ada kenyataan pahit yang harus diterima—bahwa kebebasan yang mereka peroleh tidak menghapuskan jejak luka yang tertinggal di tubuh dan jiwa mereka. Namun, meskipun segala penyiksaan itu, semangat perlawanan mereka tidak pernah pudar. Kebebasan mereka mungkin baru dimulai, namun perlawanan mereka akan terus berlangsung.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *