Feature
Tragedi di Jenin: Israel Kepung Rumah Sakit

Di tengah kegelapan malam yang hampir tak tertahankan, suara gemuruh bulldozer Israel menggema di jalan-jalan kota Jenin, menghantam aspal dan hati para penduduk. Kota yang biasanya tenang ini kini berubah menjadi medan perang, dengan tentara Israel mengelilingi dua rumah sakit utama. Cahaya lampu rumah sakit berkedip-kedip, menjadi saksi bisu dari keputusasaan yang melanda.
Langkah-langkah medis bergerak cepat, namun setiap upaya terasa sia-sia. Tim medis dihadapkan dengan ancaman nyata dari tembakan langsung dari pasukan Israel. Para paramedis berusaha mencapai korban yang tergeletak di jalan, namun setiap langkah mereka terhalang oleh rintangan yang dibuat dari tanah dan kekerasan. Suara tangisan dan teriakan memenuhi udara, membuat malam ini terasa lebih panjang dari biasanya.
Jumlah korban terus bertambah, dengan setidaknya sepuluh nyawa hilang dan empat puluh lainnya terluka sejak serangan dimulai pada pagi Selasa. Rumah sakit pemerintah Jenin, yang biasanya menjadi tempat penyelamatan, kini terisolasi. Jalan utama menuju ke sana hancur oleh bulldozer, membuat akses menjadi mustahil. Wissam Bakr, direktur rumah sakit, berusaha menjelaskan situasi dalam suara yang bergetar, “Sulit sekali untuk masuk atau keluar.”
Lebih dari enam ratus orang mencari perlindungan di rumah sakit ini, terjebak tanpa makanan selama sehari penuh. Bakr bercerita tentang malam yang mengerikan, di mana ketakutan akan serangan langsung oleh tantara Israel menggantung di udara. Rumah sakit dipenuhi oleh pengungsi dan pasien, dan setiap suara dari luar membuat semua orang berpikir, “Apakah ini adalah akhir?”
Di tengah kekacauan, upaya untuk membawa makanan ke dalam rumah sakit terhalang oleh militer Israel. Pasokan yang biasanya rutin tiba kini menjadi mimpi yang sulit diwujudkan. Pada pagi hari Rabu, beberapa pengungsi diizinkan untuk keluar, namun setelah diperiksa dan beberapa di antara mereka ditangkap. Pemandangan ini membuat Iyad Salahat, yang menemani ibunya yang sakit, merasa seperti berada di dalam mimpi buruk.
Dengan suara gemuruh kendaraan militer dan ancaman dari pengeras suara, Salahat membayangkan skenario terburuk, mengingat nasib buruk rumah sakit di Gaza. “Apakah mereka akan menyerbu? Menculik dokter? Membunuh kami semua?” tanya yang tak ada jawabannya. Setelah diizinkan keluar, mereka harus melewati pemeriksaan yang memalukan dan menyakitkan.
Di rumah sakit al-Amal, situasinya lebih brutal. Tentara Israel menembak tanpa pandang bulu ke dalam halaman rumah sakit, melukai beberapa dokter dan pekerja medis. Ihsan Rawajba, seorang resepsionis, menggambarkan bagaimana kekacauan dan ketakutan menjadi satu ketika peluru melesat begitu saja. Seorang perawat ditembak dan terluka parah, hanya bisa diselamatkan setelah melewati waktu yang terasa seperti berabad-abad.
Rumah sakit ini tetap dalam keadaan pengepungan ketat, hanya satu ambulans yang diizinkan masuk dan keluar, tapi setiap gerakan di bawah pengawasan ketat. Rawajba menjelaskan betapa sulitnya mendapatkan makanan dan bahkan menerima pasien baru. Di sisi lain, pasukan keamanan Otoritas Palestina (PA) juga ikut serta dalam drama malam ini, menyerbu al-Razi Hospital dan menangkap seseorang yang dicari oleh Israel.
Malam ini, di Jenin, setiap detik berlalu dengan beban tak tertahankan dari ketidakpastian dan ketakutan. Kota ini, yang biasanya penuh dengan kehidupan, sekarang hanya memiliki suara tangisan, tembakan, dan doa-doa dari mereka yang berharap fajar akan membawa kebaikan.