Feature
Suriah Pasca Assad: Krisis Pangan dan Ketidakpastian Masa Depan

Di luar sebuah toko roti di Damaskus, antrean panjang terbentang. Pria dan wanita terpisah dalam dua barisan, menjaga jarak dalam ketertiban yang kaku. Di tengah terik matahari, mereka menunggu dengan sabar, mata penuh harap, menatap pintu toko roti yang tak kunjung terbuka. Tak jauh dari mereka, kendaraan melintas, sementara petugas roti melayani dengan cepat para pembeli yang siap membayar lebih, demi mendapat sepuluh potong roti yang dijual secara ilegal.
Harga roti yang kini meroket hingga sepuluh kali lipat, dari 400 lira menjadi 4.000 lira, telah menjadi simbol betapa krisis Suriah semakin dalam. Dalam sekejap, selembar roti yang dulu bisa dinikmati dengan biaya sekecil 3 sen kini berubah menjadi barang langka, dijual seharga 31 sen, sebuah angka yang tak terjangkau bagi sebagian besar rakyat Suriah. Rahaf, seorang ibu dari delapan anak, berdiri di antara antrean itu, wajahnya menyiratkan kelelahan yang tak terucapkan. “Saya hanya hidup karena saya belum mati,” katanya lirih, menggambarkan kesulitan yang ia hadapi dalam setiap langkah hidupnya.
Tepat di samping Rahaf, orang-orang berbisik dengan hati-hati, berbicara tentang krisis yang tengah mengguncang Damaskus. Banyak yang tak berani menyebutkan nama mereka, takut mengungkapkan perasaan atau keluhan terhadap pemerintahan sementara yang kini berkuasa. Bahkan, ketika mereka mengutarakan keresahan tentang harga roti, ketakutan akan ancaman dari pihak berwenang menjalar di antara mereka. Mereka tahu betul, sebuah kata bisa memicu bahaya yang tak terduga di tengah ketidakstabilan yang melanda.
Sejak pemerintahan Bashar al-Assad runtuh, Damaskus dan kota-kota besar lainnya di Suriah telah berubah. Kejatuhan rezim Assad membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Ahmad al-Shara atau Abu Muhammad Julani yang merupakan pemimpin kelompok Hayat Tahrir Al Sham (HTS). Namun, perubahan itu tak serta merta membawa kebaikan bagi rakyat Suriah. Seperti yang diungkapkan oleh Joshua Landis, seorang pakar Suriah, “Kami sedang berada dalam periode kekacauan.” Krisis pangan yang semakin meruncing ini, terutama kelangkaan roti, berpotensi menjadi pemicu ketidakstabilan politik lebih lanjut, bahkan lebih dari sekadar krisis kelaparan.
Dulu, di bawah pemerintahan Assad, roti disubsidi dan menjadi kebutuhan pokok yang dijaga ketat. Namun, kini, di bawah rezim baru, harga roti melambung tinggi akibat korupsi yang merajalela, serta upaya pemerintah untuk mengurangi perdagangan ilegal roti yang telah lama berlangsung. Mohammad Siyadeh, seorang pejabat di Kementerian Pasokan, menjelaskan bahwa perubahan harga roti bertujuan untuk menghentikan peredaran roti di pasar gelap yang tak menguntungkan banyak pihak. Namun, meskipun harga sudah dinaikkan, masih banyak warga yang harus membeli roti dengan harga lebih tinggi, melalui perantara yang menjualnya di jalan-jalan, membuat mereka terjebak dalam roda kemiskinan yang tak berujung.
Lebih parah lagi, negara ini hanya memiliki stok tepung yang cukup untuk lima bulan ke depan. Sanksi internasional yang dikenakan pada Suriah semakin memperburuk situasi, menyulitkan negara untuk mengimpor gandum, sumber utama tepung untuk roti. Rusia, yang dulunya menjadi pemasok utama tepung, kini menghentikan pasokannya setelah pemerintahan baru berkuasa. Di sisi lain, Ukraina menawarkan bantuan, namun sanksi-sanksi yang masih membelenggu Suriah menghalangi proses impor tersebut. Seiring berjalannya waktu, ketergantungan pada bantuan asing semakin mengkhawatirkan, terutama ketika sanksi terus membatasi akses ke sistem perbankan internasional.
Di sepanjang jalan-jalan Damaskus, pemandangan serupa terlihat di banyak tempat. Warga Suriah yang kesulitan mendapatkan roti mengais kesempatan dengan membeli roti sebanyak mungkin untuk dijual kembali di pinggir jalan, mencari nafkah di tengah kekacauan yang menguasai negara mereka. Seorang wanita berusia 33 tahun, seorang ibu tunggal, membeli roti dari pedagang jalanan, meroggoh kocek lebih dari seharusnya. “Saya harus membeli roti untuk anak-anak saya,” katanya, meski wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Ia menambahkan, “Kebebasan itu lebih penting daripada roti.” Bagi wanita ini, meskipun roti mahal dan sulit didapat, kebebasan dari pemerintahan yang menindas lebih bernilai.
Namun, tidak semua warga Suriah merasa demikian. Beberapa orang yang sudah muak dengan janji-janji pemerintah baru mulai mengungkapkan kekecewaan mereka. Seorang pensiunan guru di Damaskus berkata, “Saya sudah dua jam di sini, sampai kapan?” Ia menggelengkan kepala, kecewa dengan kenyataan yang ada. “Pemerintahan baru ini bilang akan membawa kebebasan, tapi kita masih tidak bisa membeli roti,” ujarnya, memandang ke luar toko roti dengan tatapan kosong.
Masa depan Suriah pasca-Assad kini dipenuhi dengan ketidakpastian. Dalam keseharian yang semakin sulit, roti yang dulu menjadi simbol kestabilan kini menjadi lambang dari kegagalan pemerintah baru untuk mengelola negara. Rakyat Suriah terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak kunjung usai, menanti perubahan yang mungkin tak pernah datang.