Connect with us

Feature

Suriah Pasca Assad: Hidup di Tengah Puing dan Harapan

Published

on

Langit Qaboun berwarna kelabu, seperti menyerap kesedihan dari tanah yang penuh reruntuhan. Angin tipis membawa aroma debu, bercampur dengan bau kayu yang terbakar. Samir al-Baghdadi, seorang pria paruh baya dengan wajah lelah, berdiri di tengah puing-puing yang dulunya adalah rumahnya. Di tangan kirinya, ada cangkul yang sudah berkarat, di tangan kanannya, harapan yang tersisa.

“Setiap batu ini punya cerita,” katanya sambil membungkuk, memungut pecahan ubin yang pernah menjadi lantai rumahnya. “Ini dulu tempat anak-anak saya bermain.” Namun kini, hanya tumpukan puing yang tersisa, menjadi saksi bisu kehancuran sebuah keluarga, sebuah kota, sebuah negara yang dulu berdiri dengan bangga di antara bangsa-bangsa lain.

Hidup di Suriah pasca-perang tidak lebih mudah dibandingkan saat perang masih berkecamuk. Presiden Bashar Assad mungkin telah jatuh, tapi penderitaan tetap mengakar di setiap sudut negeri ini. Tidak ada pesta kemenangan, hanya rasa dingin yang menyelimuti, baik dari udara malam maupun dari hati-hati yang lelah menunggu perubahan.

Pasar-pasar di Damaskus, yang dulu menjadi pusat kehidupan, kini hanya penuh dengan keramaian tanpa transaksi. Pedagang-pedagang mengeluh, bukan karena barang dagangan yang sedikit, tetapi karena pembeli yang tidak mampu membeli. Orang-orang hanya berjalan, mencium aroma rempah-rempah, memegang kain, tapi akhirnya pergi tanpa sepatah kata.

“Semua orang datang untuk melihat, tapi tidak ada yang membeli,” kata Walid Naoura, pedagang pakaian di pasar tua Damaskus. “Kami sudah terbebas dari penindasan, tapi kami tidak bebas dari kemiskinan.” Di sudut pasar, seorang pria tua duduk, mengunyah roti basi yang dibagikan sebagai bagian dari bantuan kemanusiaan, dengan tatapan kosong.

Di rumahnya yang setengah jadi, Samir memutuskan untuk bertahan meskipun semuanya serba kurang. Tidak ada listrik, tidak ada air bersih, bahkan tidak ada jaminan keselamatan. Namun, baginya, lebih baik hidup dalam reruntuhan kenangan daripada tinggal di tempat lain tanpa jiwa. “Saya tidak bisa meninggalkan ini,” katanya, sambil menatap puing-puing itu. “Ini adalah rumah saya.”

Samir bukan satu-satunya yang hidup dalam kesulitan. Hampir sembilan puluh persen warga Suriah kini berada di bawah garis kemiskinan. Bahan makanan semakin mahal, dan mata uang negara terus terpuruk. Listrik hanya menyala beberapa jam sehari, itupun dengan harga yang tidak terjangkau bagi kebanyakan orang. Mereka yang mampu bertahan melakukannya dengan bantuan keluarga di luar negeri.

Di pinggiran Qaboun, Abou Samir masih bekerja di bengkel kayunya yang kecil. Tidak ada listrik untuk menggerakkan mesinnya, jadi ia memotong kayu dengan gergaji tangan. “Saya sudah bekerja selama lima puluh tahun, tapi tidak pernah sesulit ini,” katanya. Setiap potongan kayu yang ia bentuk menjadi meja atau lemari adalah simbol perjuangan untuk tetap hidup.

Anak-anak Abou Samir tinggal di luar negeri, mengirimkan uang setiap bulan untuk membantu ayah mereka bertahan. Namun, uang itu tidak cukup untuk membuat hidup lebih mudah. “Saya tidak akan berhenti bekerja,” katanya sambil menghapus peluh. “Ini bukan soal uang, tapi soal martabat. Saya tidak bisa hanya duduk dan menunggu.”

Di malam hari, Qaboun menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh lilin dan obor buatan. Samir duduk di depan rumahnya yang setengah jadi, menikmati secangkir teh dengan cahaya bohlam kecil yang ia sambungkan sendiri ke kabel listrik yang dipinjam dari tetangga. “Hari ini atapnya runtuh lagi,” katanya dengan tawa pahit. “Tapi setidaknya saya masih di sini.”

Hidup tanpa air bersih memaksa warga seperti Samir untuk berjalan berkilo-kilometer mencari sumur atau mengandalkan bantuan. Tapi air yang mereka dapat tidak selalu cukup untuk kebutuhan sehari-hari. “Kami harus memilih,” katanya. “Apakah untuk memasak atau untuk minum.” Kekurangan ini mencerminkan kehidupan Suriah: selalu ada pilihan sulit, tapi tidak pernah ada yang cukup.

Di jalan-jalan utama Damaskus, bendera baru berkibar, menggantikan simbol-simbol lama yang tumbang bersama Assad. Tetapi bendera itu tidak bisa menghapus rasa lapar, tidak bisa menghilangkan ketakutan, tidak bisa membayar utang yang menumpuk. Orang-orang tersenyum ketika ditanya tentang kebebasan, tapi air mata sering kali menetes saat mereka berbicara tentang masa depan.

Di tengah semua ini, ada rasa optimisme yang samar. Beberapa negara tetangga berjanji membantu Suriah membangun kembali ekonominya. Tetapi bantuan itu datang dengan syarat-syarat politik yang rumit, sementara sanksi internasional tetap menjadi penghalang besar. Pembangunan kembali Suriah diperkirakan membutuhkan ratusan miliar dolar, jumlah yang terasa seperti mimpi bagi warga yang bahkan tidak mampu membeli roti.

Samir tahu bahwa hidupnya tidak akan berubah dalam waktu dekat, tapi ia menolak untuk menyerah. “Kami sudah kehilangan segalanya,” katanya. “Tapi jika saya berhenti, saya akan kehilangan diri saya sendiri.” Dengan tangan kosong dan hati yang penuh luka, ia melanjutkan pekerjaannya, menata batu demi batu, membangun kembali rumah yang mungkin tidak akan pernah selesai.

Ketika pagi datang, suara burung menggantikan suara bom yang dulu menghantui Qaboun. Tetapi kedamaian ini bersifat menipu, karena setiap detik adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Samir menyeka debu dari wajahnya, memandang ke arah reruntuhan yang entah kapan akan kembali menjadi kota. “Ini bukan hidup yang saya inginkan,” katanya. “Tapi ini hidup yang saya miliki.”

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *