Connect with us

Feature

Sehari di Gaza: Hidup Mati dalam Segenggam Lentil

Published

on

Setiap pagi, Abeer membuka matanya dalam terik yang membungkus tenda tipis tempat ia tinggal bersama suami dan enam anak mereka. Angin dari Laut Mediterania tak cukup menyejukkan panas yang terperangkap dalam terpal usang. Di sampingnya, Fadi sudah duduk diam menatap lantai pasir. Pertanyaan yang sama kembali mengendap di benaknya: dari mana mereka akan mendapatkan makanan hari ini?

Tenda mereka berdiri rapuh di atas tanah pengungsian di barat Kota Gaza. Setelah berulang kali terusir dari rumahnya akibat gempuran dan pengeboman, tenda itu kini menjadi satu-satunya perlindungan yang mereka miliki. Tak ada kasur empuk, hanya gulungan kain usang yang digelar di malam hari dan dilipat saat matahari muncul. Hidup mereka dipadatkan dalam ruang yang tak lebih luas dari satu kamar kecil.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Air bersih menjadi kemewahan yang langka. Di pagi hari, Abeer berjalan ke pantai, menimba air laut dengan ember plastik. Anak-anak bergantian berdiri di atas baskom logam, tubuh kecil mereka disiram air asin yang menyengat mata. Si bungsu, Hala, yang baru berusia sembilan bulan, selalu menangis saat air menyentuh wajahnya. Tapi tak ada pilihan lain. Inilah satu-satunya cara mereka tetap bersih.

Sementara anak-anak mandi, Abeer menyapu pasir yang masuk ke dalam tenda. Lantai mereka tak lebih dari tanah terbuka, dan setiap gerakan membawa debu. Di luar tenda, harapan akan sarapan tergantung pada belas kasih orang lain. Kadang, tetangga memberi segenggam lentil (kacang-kacangan). Kadang tak ada siapa pun yang bisa memberi. Maka hari itu dimulai tanpa makanan.

Di tempat lain, Fadi melangkah ke dapur umum yang terletak beberapa blok dari tempat tinggal mereka. Dulu ia adalah pedagang kaki lima, menjual jajanan kecil di jalanan Gaza. Kini ia berdiri berjam-jam dalam antrean panjang yang hanya buka seminggu sekali. Tak jarang, ia pulang dengan tangan hampa, karena makanan tak cukup untuk semua.

Fadi pernah mencoba mendapatkan bantuan langsung dari truk-truk yang datang dari arah utara. Tapi kerumunan yang ganas dan tembakan peringatan dari tentara Israel membuatnya tak bisa bersaing. Bahkan, bulan lalu ia tertembak di kaki saat mencoba mendekati truk bantuan. Sejak itu, ia tak sanggup berlari atau mendorong kerumunan lagi. Luka di tubuhnya menjadi luka bagi seluruh keluarga.

Sementara Fadi mencoba peruntungan di dapur umum, Abeer dan ketiga anak tertuanya, Youssef, Mohammed, dan Malak, pergi mencari air bersih. Mereka membawa jeriken plastik dan berjalan jauh ke truk penyalur air dari pabrik desalinasi. Tubuh kecil mereka membungkuk di bawah beban jeriken yang berat. Debu jalan menempel di kaki, dan sinar matahari membuat kulit mereka menghitam.

Di sore hari, Abeer kadang nekat pergi ke Zikim, tempat truk-truk bantuan tiba. Di sana, sebagian besar yang menunggu adalah laki-laki dewasa. Tubuh mereka lebih kuat, langkah mereka lebih cepat. Abeer nyaris tak pernah berhasil. Tapi ia terus mencoba, karena harapan anak-anaknya bertumpu padanya. Bila gagal, ia mengemis pada mereka yang berhasil: “Tolong, demi Tuhan, beri saya sedikit.”

Orang-orang mulai mengenali wajahnya. Seorang pria bernama Youssef Abu Saleh, yang sering datang ke sana, mengaku beberapa kali memberinya tepung. “Kami semua lapar,” katanya, “tapi mereka lebih membutuhkan.” Ketika berhasil mendapatkan sedikit tepung, Abeer segera pulang dan mulai membuat adonan roti. Tak ada oven. Hanya kaleng logam dan api kecil dari sampah yang dibakar.

Anak-anak mereka telah belajar memilah sampah. Mereka mencari potongan kayu, kertas, bahkan sol sepatu tua yang masih bisa menyala. Di antara reruntuhan bangunan dan puing-puing bekas serangan, mereka menggali harapan dari sisa-sisa. Suatu hari, mereka menemukan panci bekas di tumpukan sampah. Kini, itu menjadi alat masak utama mereka.

Ketika malam tiba dan udara mulai mendingin, Abeer kadang berhasil menyajikan semangkuk kecil sup lentil. Tipis dan encer, namun cukup untuk membuat anak-anak tidur. Tapi lebih sering, mereka tidur dalam kelaparan. Dalam gelap, Abeer memeluk Hala sambil menahan gemetar tubuhnya yang lemah. Ia sendiri jarang makan, memilih memberi bagian terakhir untuk anak-anaknya.

Kelelahan menjadi teman sehari-hari. Tubuh Abeer sering lemas saat berjalan mencari makanan atau air. Kepalanya berkunang-kunang. Dalam hati, ia mulai kehilangan harapan. “Aku sudah tak kuat lagi,” bisiknya pada diri sendiri. “Jika perang ini terus berlanjut, aku mungkin tak akan bertahan.” Kata-kata itu bukan ancaman, melainkan ungkapan dari jiwa yang tertekan bertahun-tahun.

Dalam kegelapan, suara pesawat tempur kadang masih terdengar. Di kejauhan, ledakan mengguncang tanah. Tapi ketakutan akan bom tak lagi menjadi kekhawatiran utama. Yang lebih menakutkan bagi keluarga ini adalah pagi yang tiba tanpa makanan, hari yang berlalu tanpa air, malam yang datang tanpa api untuk memasak.

Di dunia luar, Gaza mungkin hanya disebut dalam berita singkat, angka korban dan data statistik. Tapi bagi Abeer dan Fadi, Gaza adalah napas terakhir anak mereka saat kelaparan, adalah suara tangisan Hala yang haus, adalah peluh di punggung Youssef saat mengangkat jeriken. Gaza adalah tempat di mana hidup dan mati hanya dipisahkan oleh segenggam lentil.

Penderitaan ini bukan akibat bencana alam, melainkan produk dari kebijakan manusia. Blokade, pembatasan bantuan, dan tembakan pada kerumunan lapar bukanlah insiden—mereka adalah keputusan yang diambil sadar penuh. Dalam dunia yang mengaku menjunjung nilai kemanusiaan, Gaza telah menjadi titik buta, luka terbuka yang tak kunjung disembuhkan.

Abeer tidak butuh belas kasihan, ia butuh keadilan. Ia tidak ingin dikenang sebagai korban, tetapi sebagai ibu yang mencoba menyelamatkan anak-anaknya dari kelaparan. Jika dunia diam, maka biarlah cerita ini menjadi jeritan dari tanah yang terkepung. Sebab di balik setiap angka, ada wajah. Dan di Gaza, setiap wajah menunggu uluran tangan, sebelum terlambat.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer