Feature
Saat Ambil Bantuan Tepung, Ibu Gaza Ditembak Tewas

Di bawah langit Gaza yang berdebu dan kelabu, Reem Zeidan memulai perjalanannya yang terakhir. Malam belum sepenuhnya berubah menjadi pagi ketika perempuan berusia 44 tahun itu melangkah pelan bersama anak perempuannya, Mirvat (20 tahun), dan putranya, Ahmad (12 tahun). Dalam gelap dan dingin subuh, mereka berjalan menyusuri puing-puing kota yang telah hancur, menuju sebuah titik distribusi makanan yang dijaga militer Israel.
Reem bukan sedang pergi untuk bertahan hidup. Ia sedang berjuang agar anak-anaknya bisa tetap hidup.
Selama seminggu penuh, ia telah menempuh perjalanan yang sama: berjalan selama enam jam dari reruntuhan rumah mereka di Khan Younis ke titik distribusi makanan, hanya untuk kembali dengan tangan hampa. Tapi kali ini, ia berharap lebih. Ia membawa serta anak-anaknya dan berulang kali mengulang rencana: “Kalau kita terpisah karena tembakan, kita ketemu di tempat yang sudah kita sepakati.” Sebuah latihan kecil di tengah neraka perang, demi memastikan bahwa kematian tak serta-merta memisahkan mereka selamanya.
Namun, kenyataan jauh lebih kejam. Sebelum fajar menyingsing, sebuah peluru menembus dahi Reem. Tubuhnya tergeletak di tanah, dan untuk tiga jam yang panjang dan penuh teror, Mirvat dan Ahmad duduk mematung di samping jasad ibu mereka, tak bisa bergerak, hanya bisa menunggu hujan peluru berhenti.
Kelaparan di Gaza bukan sekadar sensasi lapar. Ia adalah ketakutan yang menyiksa, yang mencengkeram tubuh anak-anak hingga mereka menangis semalaman karena “air tidak bisa mengenyangkan perut.” Reem tahu benar itu. Ia menyaksikan putri bungsunya yang baru lima tahun, Razan, menangis dan merengek karena sup lentil yang disajikan hanya meninggalkan rasa air.
“Air tidak bisa mengisi perutku,” rengek Razan, dan kalimat itu menggema di kepala Reem, menenggelamkan rasa takut, menggantinya dengan tekad. Maka ia melawan nasihat putrinya yang lebih tua, melawan logika dan bahaya, demi satu harapan: sekilo tepung. Itu saja.
“Saya bilang ke ibu, mungkin tembakan dua hari lalu itu isyarat dari Tuhan untuk berhenti,” kenang Mirvat. “Tapi semua berubah ketika adik saya menangis kelaparan. Ibu tidak tahan mendengarnya.”
Malam itu, Reem memeluk suaminya, Mohammad, pria pendiam berusia 46 tahun yang selama perang kehilangan dua anak dan sebagian besar harapannya. “Dia bilang ingin coba lagi. Saya tak bisa menahannya,” katanya pelan.
Selama enam hari terakhir, mereka sudah pergi berdua, tapi selalu kembali dengan tangan kosong. Pusat distribusi itu bukan tempat harapan, tapi jebakan. “Ketika tentara mulai menembak, kamu hanya bisa tiarap. Orang di sampingmu mungkin tertembak, tapi kamu tidak bisa menolong,” ujar Mohammad dengan mata kosong.
Itulah yang terjadi pada Selasa dini hari. Dentuman pertama terdengar ketika Reem dan anak-anaknya hampir sampai. Ia sempat berbalik dan bertanya lagi pada Ahmad dan Mirvat, “Kalau kita terpisah, di mana kita akan bertemu lagi?” Itu kalimat terakhirnya.
Beberapa detik kemudian, peluru menembus kepalanya.
Ahmad yang berada tak jauh darinya sempat melihat tubuh ibunya ambruk. Ia berlari, mencoba mengguncangnya, memanggil namanya, berharap ada gerakan. Tapi yang ada hanya darah dan keheningan. Di sekeliling mereka, peluru beterbangan, drone berdesing, dan ledakan membuat bumi bergetar.
“Semua berubah dalam satu detik. Tiba-tiba saja semuanya kacau. Aku berteriak, mengguncang ibu, berharap dia bangun. Tapi dia tidak merespon,” kata Ahmad dalam suara bergetar.
Mereka tak bisa membawa jenazah Reem. Mereka hanya bisa duduk di sampingnya, mendekap tubuh yang dulu hangat, kini dingin. Di sela suara tembakan dan jeritan orang-orang yang tertembak, waktu berjalan lambat. Ketika tembakan berhenti, kerumunan langsung menyerbu makanan. Mirvat harus memilih: tinggal bersama jasad ibunya, atau memastikan Ahmad selamat.
Ia memilih adiknya, berbisik di telinga Reem, “Aku titipkan Ibu pada Tuhan.”
Mereka mencari jenazah ibu mereka selama berjam-jam, dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain—British hospital, American hospital, markas Palang Merah. Tak ada yang tahu. Tak ada yang menjawab. Sampai di Rumah Sakit Nasser, sebuah ambulans datang membawa jenazah-jenazah tak dikenal. Salah satunya adalah Reem.
Seorang jurnalis sempat merekam Ahmad yang menangisi tubuh ibunya, mencium wajahnya, memeluknya erat. “Tidak, ibu saya belum mati. Dia masih hidup!” teriaknya. Ironisnya, video itu menjadi viral, seperti video Reem yang setahun sebelumnya menangisi jenazah anak sulungnya, Nabil, yang tewas dalam serangan udara.
Dulu, Reem berdiri di depan kantong jenazah, mengenali baju putranya. Ia menangis dan meratap—wajahnya menjadi simbol penderitaan ibu-ibu Gaza. Kini, giliran anak-anaknya yang menangisi tubuhnya, dan dunia hanya bisa menyaksikan.
Sebelum perang, keluarga Zeidan bukanlah keluarga kaya. Tapi mereka utuh. Mereka punya tawa, meja makan, dan cinta. Reem bekerja sebagai pembersih bersama putranya, Nabil. Suaminya bekerja serabutan. Mereka hidup sederhana, tapi bahagia.
“Ibu saya selalu tersenyum. Dia tidak pernah membentak kami. Kalau kami sedih, dia memasakkan makanan favorit kami dan menjelaskan kenapa dia menegur kami. Dia mendidik kami dengan cinta, bukan ketakutan,” ujar Mirvat.
Kini, tawa itu sirna. Meja makan kehilangan satu kursi yang tak akan pernah terisi. Dan cinta yang dulu mengikat keluarga itu, kini berubah menjadi luka yang dalam.
Sementara dunia memperdebatkan “mekanisme distribusi” dan “strategi militer”, keluarga-keluarga seperti Zeidan dihancurkan, satu per satu. Reem bukan angka dalam statistik. Ia seorang ibu, istri, perempuan yang hanya ingin membawa pulang sekilo tepung.
GHF, organisasi yang mengklaim menjadi solusi distribusi bantuan, justru menjadi simbol dari kegagalan total. Dalam hitungan hari sejak beroperasi, puluhan warga sipil telah tewas. Reem adalah salah satunya. Reem, yang hanya ingin anak-anaknya makan.
Di hari Iduladha, ketika seharusnya keluarga berkumpul merayakan, anak-anak Reem justru menguburkan ibunya. Tahun lalu mereka kehilangan Nabil. Tahun ini, ibunya. Tahun depan?
Kini, Mirvat tak lagi punya mimpi kuliah. Dulu ia ingin jadi pengacara, kini ia hanya ingin adik-adiknya bertahan. “Aku tidak bisa bayangkan makan malam tanpa ibu. Duduk di meja dan melihat kursi ibu kosong… rasanya tidak tertahankan.”
Gaza terus menunggu keadilan. Tapi bagi keluarga Zeidan, harapan itu telah dikubur bersama Reem.
Dan dunia? Dunia terus berjalan. Seolah kematian seorang ibu di Gaza hanyalah berita lain yang cepat berlalu.
Namun di antara reruntuhan dan airmata, kisah Reem tetap hidup. Sebuah pengingat bahwa cinta seorang ibu, bahkan di tengah perang, adalah kekuatan yang tak tergantikan—meski harus dibayar dengan nyawa.
Sumber:
https://www.theguardian.com/news/ng-interactive/2025/jun/07/story-of-a-mother-shot-dead-searching-for-food-in-gaza