Feature
Pulang ke Puing-Puing: Kisah Haru di Tengah Gencatan Senjata

Pagi itu, sinar mentari menerobos lembut di langit Khan Younis, seakan menyampaikan harapan baru yang telah lama dinantikan. Gencatan senjata yang diumumkan pada Minggu pagi membawa ribuan warga Palestina yang terlunta-lunta di pengungsian kembali ke reruntuhan tempat yang dulu mereka sebut rumah. Namun, perjalanan ini bukanlah akhir dari penderitaan mereka, melainkan babak baru yang penuh duka.
Ahmad Agha melangkahkan kakinya dengan penuh semangat ke arah timur, ke kota kecil Khuza’a, tempat kenangan masa kecilnya bersemayam. Ia mengira akan menemukan sisa-sisa rumahnya yang, menurut kabar terakhir, hanya rusak sebagian. Namun, setibanya di sana, kenyataan menghantamnya seperti badai. Rumah tiga lantai itu kini rata dengan tanah, meninggalkan puing-puing yang berbicara tentang kehilangan.
“Saya sangat bahagia mendengar kabar gencatan senjata, lalu saya tinggalkan tenda dan pulang. Tapi begitu tiba, hati saya remuk. Rumah kami benar-benar lenyap. Saya tidak tahu harus ke mana sekarang,” katanya dengan mata nanar menatap ke kehampaan. Jalanan menjadi pelarian terakhirnya, antara memilih tetap tinggal di dekat reruntuhan atau kembali ke tenda yang pengap dan menyakitkan.
Di Gaza City, Izzat Qishawi dan keluarganya merasakan getir yang serupa. Malam sebelum kepulangannya ke Tal al-Hawa, kecemasan mencekik dadanya. Rumah itu, beserta kenangan di dalamnya, menjadi pusat dari segala pikirannya. Bersama keluarga, ia memulai perjalanan di pagi yang dingin, penuh harapan yang diselimuti kecemasan.
Namun, langkah mereka terhenti oleh suara memekakkan dari ledakan bom. Hanya seratus meter dari tujuan, sebuah drone menebar maut, merenggut nyawa seorang pria dan melukai yang lainnya. “Kami tahu ini mungkin terjadi. Anda tidak pernah bisa mempercayai Israel,” katanya dengan getir.
Ketika mereka akhirnya tiba di rumah, kenyataan menghujam lebih keras dari yang mereka bayangkan. “Rumah kami hancur. Kami hanya bisa mengambil beberapa pakaian,” ucapnya lirih. Tal al-Hawa, yang dulunya hidup dan ramai, kini hanyalah kawasan mati yang tak layak dihuni manusia. Namun, seperti ribuan keluarga lainnya, mencari tempat tinggal baru dengan harga sewa yang melonjak tiga kali lipat terasa seperti memetik bintang di langit.
Di tempat lain, Mohammad al-Astal mencoba menemukan secercah harapan di tengah kehancuran. Rumahnya di Khan Younis telah kehilangan lantai atasnya, tetapi lantai bawah masih bisa diperbaiki. Meski kecil, harapan ini memberinya alasan untuk bertahan. “Kami tidak bisa lagi tinggal di tenda,” ujarnya. Ia menceritakan penderitaan istrinya, yang penyakit tekanan darah tinggi dan diabetesnya semakin parah akibat hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Harapan untuk pulang, betapapun sederhananya, menjadi jangkar bagi banyak orang seperti Astal. Bagi mereka, kembali ke rumah, bahkan jika itu hanya puing-puing yang harus diperbaiki, adalah satu-satunya jalan menuju stabilitas dan kehormatan yang telah lama dirampas.
Namun, bagi Rafeeq Mahmoud, perjalanan pulang ke Rafah masih menjadi mimpi yang tertunda. Delapan bulan hidup di pengungsian di Khan Younis meninggalkan luka yang dalam. Rumahnya, sebagaimana yang ia dengar dari tetangga, telah dihancurkan. “Saya ingin pulang, tapi saya tidak bisa. Tentara Israel masih berjaga, dan mereka yang mencoba mendekat dibunuh,” katanya getir.
Mahmoud menggenggam erat kenangan tentang kehidupannya yang dulu di Rafah. “Kami menjalani hidup yang normal sebelum perang. Tapi perang ini mengubah segalanya. Setiap hari lebih buruk dari hari sebelumnya,” ucapnya dengan nada pilu. Meski begitu, ia tak kehilangan asa.
“Jika suatu hari daerah itu aman, saya akan kembali, meskipun rumah itu sudah tidak ada lagi,” katanya dengan suara yang penuh keyakinan. “Siapa yang bisa menolak untuk kembali ke tempat di mana ia tumbuh dan hidup?”
Di balik reruntuhan dan luka yang ditinggalkan, rakyat Palestina menunjukkan keteguhan luar biasa. Setiap langkah mereka menuju puing-puing rumah adalah simbol dari perjuangan yang tidak pernah padam. Kehancuran yang mereka hadapi tidak mampu mematahkan semangat untuk bangkit dan melawan. Mereka terus berjuang untuk hidup merdeka di tanah yang menjadi hak mereka, meskipun harus menghadapi penjajahan yang begitu kejam.
Perjuangan Palestina adalah perlawanan untuk keadilan yang menggema ke seluruh dunia. Di tengah derita, harapan tetap hidup—menyala di hati mereka yang yakin bahwa kemerdekaan akan datang. Suatu hari, tanah Palestina akan bebas dari penjajahan, membawa kedamaian dan masa depan yang layak bagi generasi mendatang.