Feature
Pesan Terakhir Azmi: Cinta di Tengah Derita Gaza

Di sebuah sudut sempit di Gaza, di bawah langit kelabu yang terus-menerus dihiasi oleh suara pesawat tempur dan ledakan, seorang anak kecil bernama Azmi Abu Al-Shaar duduk memeluk lututnya. Tangan kecilnya memegang erat sebuah ponsel tua. Usianya baru sepuluh tahun, tetapi tatapannya menyimpan beratnya beban dunia. Dalam keheningan yang penuh ketakutan, ia mengetik pesan yang akan menjadi saksi bisu kepergiannya.
“Jika aku mati, maafkan aku, Ayah, Ibu,” tulis Azmi dengan hati-hati. Jari-jarinya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku merasa waktuku tidak banyak lagi.” Pesan itu singkat, namun setiap kata mengandung luka yang tak terbayangkan. Azmi tahu bahwa rumah yang menjadi tempat berlindungnya mungkin tidak akan bertahan malam ini. Ia tahu bahwa setiap detik, kematian bisa mengetuk pintunya.
Rumah itu adalah tempat di mana suara tawa keluarganya pernah menggema. Di ruang tamu kecil, ia biasa bermain bersama adik-adiknya—Naeema, Shahed, Maryam, dan Mahmoud. Namun, kini rumah itu menjadi bayang-bayang dari apa yang pernah ada, retak dan penuh debu akibat serangan tanpa henti. Bahkan dalam kehangatan keluarga, ada rasa dingin yang tidak bisa diusir—dingin yang datang dari rasa takut.
Pada malam ketika pesan itu ditulis, langit Gaza diterangi oleh nyala api. Setiap ledakan mengguncang tanah, dan Azmi, seperti anak-anak lainnya, berlari ke pelukan ibunya. Namun, tidak ada pelukan yang cukup erat untuk menahan ancaman maut yang bersembunyi di balik awan kelam. Azmi menulis pesan itu sebagai bentuk perpisahan, sebuah surat cinta terakhir untuk keluarganya. Ia ingin mereka tahu bahwa ia menyesal jika pernah membuat mereka kecewa, bahwa ia mencintai mereka sepenuh hati.
Hanya beberapa hari setelah pesan itu ditulis, serangan udara Israel menghancurkan rumah keluarga Azmi. Dalam hitungan detik, tawa masa kecil, mimpi, dan harapan terkubur di bawah puing-puing. Saat tubuh Azmi ditemukan, di sampingnya ada ponsel yang menyimpan pesan terakhirnya, pesan yang kini menjadi pengingat bagi dunia tentang kepedihan yang dialami anak-anak Gaza.
Kisah Azmi bukanlah cerita tunggal. Ia adalah satu dari lebih dari 17,000 anak yang kehilangan nyawanya dalam konflik yang tak kunjung berakhir. Di Gaza, anak-anak sering menulis nama mereka di lengan mereka sendiri, bukan untuk bermain, tetapi sebagai identitas jika mereka meninggal. Bagi mereka, kehidupan adalah permainan waktu—menunggu kapan giliran mereka tiba.
Setelah genosida selama 15 bulan, sebuah kesepakatan gencatan senjata akhirnya tercapai pada Januari 2024. Namun, bagi penduduk Gaza, gencatan senjata hanyalah jeda dari mimpi buruk. Puing-puing bangunan masih berserakan, keluarga-keluarga kehilangan tempat tinggal, dan anak-anak yang selamat membawa luka yang lebih dalam dari sekadar fisik. Setiap sudut Gaza bercerita tentang kehilangan—wajah-wajah tak berdosa yang kini hanya menjadi nama di batu nisan.
Di tengah kehancuran, dunia bereaksi dengan terlambat. Pengadilan Internasional akhirnya mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk pemimpin Israel atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, bagi Azmi dan ribuan anak lain yang telah tiada, keadilan hanyalah angan-angan.
Pesan terakhir Azmi kini menyebar luas di media sosial, menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Ia menjadi simbol keberanian seorang anak kecil yang tahu bahwa hidupnya mungkin akan direnggut kapan saja, namun tetap memilih untuk mencintai. Dalam kata-katanya yang sederhana, ada seruan yang menggema: seruan untuk menghentikan kebencian, untuk menghentikan perang, untuk memberi anak-anak seperti Azmi kesempatan merasakan masa kecil yang layak mereka dapatkan.
Langit Gaza kini sunyi sejenak, tetapi bayangan kehilangan tetap membayangi setiap orang yang berjalan di antara reruntuhan. Di suatu tempat, seorang ibu memeluk ponsel Azmi, membaca pesan itu berulang kali dengan air mata yang tak kunjung kering. Sementara dunia terus berjalan, di Gaza, waktu seolah berhenti—menyisakan kenangan yang tak akan pernah pudar.