Connect with us

Feature

Natal di Gaza: Ketika Deru Bom Menggantikan Lonceng Damai

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Di bawah langit yang kelabu, yang tampaknya tak pernah sepenuhnya bebas dari asap dan kabut, Gaza merayakan Natal dengan cara yang sangat berbeda. Tak ada kembang api yang menyemarakkan malam, tak ada lonceng gereja yang berdering riang, hanya deru pesawat tempur dan detuman bom yang menghancurkan ketenangan. Di tengah kehancuran yang menyelimuti Gaza, umat Kristen—yang sudah berakar di sini selama lebih dari seribu enam ratus tahun—berdiri tegak, tetap merayakan, meski hanya dengan doa dan air mata.

Ramez Souri, seorang pria berusia 47 tahun, mengenang kembali Natal tahun ini, yang penuh dengan rasa kehilangan yang mendalam. “Kami masih berduka,” katanya lirih. “Kami masih dalam suasana yang jauh dari perayaan.” Ia kini tinggal di halaman Gereja St. Porphyrius, gereja Ortodoks Yunani kuno di Gaza City, tempat yang dulunya merupakan tempat beribadah yang damai, kini menjadi tempat perlindungan dari gempuran yang datang tanpa henti. Tempat di mana dulu tawa anak-anak menggema, kini hanya ada kesunyian dan kenangan tentang ketiga anaknya yang hilang akibat serangan udara Israel setahun lalu.

Ketika warga Gaza lainnya mencari perlindungan di reruntuhan, umat Kristen tetap bertahan di dua gereja besar yang tersisa—Gereja St. Porphyrius dan Gereja Keluarga Kudus. Gereja-gereja ini menjadi benteng terakhir, tempat mereka berlindung dari keganasan perang, meski tak mampu menjamin keselamatan mereka. Mereka tak merayakan Natal dengan sukacita. Tak ada pohon Natal yang dihias, tak ada musik meriah yang mengalun, hanya kesunyian yang terasa semakin berat di tengah hujan bom yang terus mengguyur. Dan di tengah kekacauan itu, mereka mencoba melanjutkan tradisi mereka dengan cara yang sederhana—berbagi sedikit burbara, puding gandum manis yang mereka buat bersama, meski rasanya jauh dari sempurna. “Kami ingin menunjukkan bahwa kami masih ada,” ujar Souri, sambil menatap kosong ke arah tempat di mana anak-anaknya dulu bermain.

Di Gaza, yang selama ini dikenal sebagai rumah bagi umat Islam, keberadaan umat Kristen telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah tanah ini. Gaza bukan hanya rumah bagi mereka yang mendambakan kesucian Al-Qur’an, tetapi juga rumah bagi mereka yang menghidupi Injil. Namun, kali ini, kedamaian Natal terenggut oleh serangan yang tak pandang bulu. Sebuah ironi pahit: sementara di berbagai belahan dunia, orang merayakan Natal dengan sukacita, di sini, umat Kristen merayakan dengan kesedihan yang mendalam, diliputi rasa takut dan kehilangan.

Pada malam Natal yang sunyi, di antara reruntuhan gereja yang masih tegak berdiri, hanya ada doa yang terucap. Doa untuk kedamaian yang tampaknya begitu jauh. Tidak ada pelukan hangat keluarga, hanya sesosok tubuh yang terluka oleh peperangan, mencoba untuk bertahan. Kementerian Luar Negeri Israel mungkin menganggap gereja-gereja ini sebagai “lokasi sensitif” yang harus dilindungi, tetapi kenyataannya, bahkan gereja-gereja yang dianggap suci ini tidak dapat menghindari kehancuran. Pada bulan Oktober, serangan udara Israel menghancurkan sebuah bangunan di dalam kompleks Gereja St. Porphyrius, merenggut nyawa 18 orang, termasuk wanita dan anak-anak.

Ironisnya, di tengah krisis ini, Natal tetap menjadi waktu untuk berkumpul—meskipun bukan untuk merayakan, tetapi untuk bertahan hidup. Komunitas Kristen di Gaza, yang dulunya hidup dalam ketenangan, kini harus menghadapi kenyataan bahwa masa depan mereka di tanah ini sangatlah rapuh. Mereka yang sudah pergi, banyak yang tak yakin apakah mereka akan pernah merasa aman untuk kembali. Seorang pejabat gereja, Kamel Ayyad, yang kini mengungsi di Mesir, berkata, “Masa depan umat Kristen di Gaza sedang diuji.”

Namun meskipun dalam kegelapan, ada secercah harapan. Seperti yang dikatakan oleh seorang pastor di Bethlehem, “Saya akan terkejut jika ada keberadaan umat Kristen yang kuat setelah perang di Gaza.” Tapi di tengah puing-puing dan kesedihan, mereka tetap berpegang pada iman mereka. Mereka terus berdoa, berharap suatu hari nanti, mereka bisa kembali merayakan Natal dengan cara yang lebih damai—di tanah yang telah mereka panggil rumah selama berabad-abad.

 

*Sumber: The New York Times

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *