Feature
Maaloula, Nestapa di Tanah Suci: Nasib Umat Kristen Suriah

Lonceng gereja berdentang di pagi yang dingin, menggema di antara lereng berbatu Maaloula. Di dalam Gereja Santo Georgius, lilin-lilin kecil berkedip, seolah berbisik doa-doa kuno yang telah lama menyatu dengan udara di kota ini. Hanya segelintir jemaat yang hadir, wajah-wajah tua yang tetap bertahan di tanah leluhur mereka meski masa depan kian samar.
Di luar gereja, Sameera Thabet merapatkan syalnya. Matanya menatap reruntuhan yang dulunya adalah rumah tetangganya, kini hanya dinding-dinding kosong yang dicemari grafiti. Ia ingat malam ketika keluarganya lari ke Damaskus, meninggalkan semuanya demi keselamatan. Kini, ia kembali, bukan karena tak takut, tetapi karena rumah yang kosong lebih menyakitkan daripada ketakutan.
Father Jalal Ghazal masih mengingat kejadian pagi itu. Ia terbangun oleh suara pecahan kaca dan bau anggur merah yang menyengat. Saat ia bergegas keluar, ia melihat lantai penuh cairan merah seperti darah. Sejenak, ia mengira telah terjadi pembunuhan. Namun, ternyata itu hanyalah botol-botol anggur yang dilempar dari balkon, bagian dari aksi vandalisme yang makin sering terjadi.
Dulu, Maaloula adalah kota yang tenang, tempat umat Kristen dan Muslim hidup berdampingan. Di rumah-rumahnya, bahasa Aramaik—bahasa yang diyakini digunakan Yesus—masih dituturkan turun-temurun. Anak-anak dulu mempelajarinya sejak lahir, tapi kini, suara mereka semakin jarang terdengar. Banyak yang pergi, mencari tempat yang lebih aman, meninggalkan rumah-rumah yang berangsur menjadi sepi.
Saat pemberontak menyerang pada 2013, kota ini berubah menjadi medan perang. Militan al-Qaeda memasuki Maaloula dengan senjata di tangan, menawan 12 biarawati, dan membuat ribuan penduduk melarikan diri. Ketika pasukan Assad merebut kembali kota ini, banyak Muslim yang dituduh mendukung pemberontak diusir. Sejak itu, luka lama belum sembuh, dan kini ketakutan baru muncul setelah Assad jatuh.
Tak ada polisi yang menjaga kota. Senjata-senjata dari kantor polisi telah dijarah dalam kekacauan setelah kejatuhan rezim. Mereka yang dulu diusir kini kembali, dan beberapa di antaranya diduga membalas dendam. Rumah-rumah diobrak-abrik, benda-benda suci dicuri, dan ketegangan merayap seperti bayangan yang tak terlihat. “Kami hanya ingin hidup dalam damai,” kata Sameera dengan suara lirih.
Di pasar kecil yang tersisa, penduduk berbicara pelan, seolah takut didengar. Tidak ada yang tahu apakah janji pemerintahan baru untuk melindungi minoritas benar-benar akan ditepati. Sebulan lalu, penduduk Kristen Maaloula mengirim surat kepada pemerintah baru, meminta jaminan keamanan. Tapi hingga kini, tak ada jawaban, hanya keheningan yang menggantung seperti awan kelabu di atas kota.
Di salah satu sudut kota, pohon Natal masih berdiri di alun-alun kecil. Lampu-lampunya padam, tetapi beberapa anak duduk di sekitarnya, memberi makan anjing-anjing liar yang berkeliaran. Mereka tertawa kecil, sesaat melupakan ketakutan yang membayangi kehidupan mereka. Bagi mereka, rumah adalah tempat di mana kenangan tertinggal, tempat di mana bahasa Aramaik masih bisa diucapkan tanpa rasa takut.
Father Ghazal menghela napas panjang. Ia tahu bahwa umat Kristen di Suriah telah mengalami banyak cobaan, dan ia tidak yakin berapa lama lagi mereka bisa bertahan. “Tidak ada jaminan,” katanya. “Yang bisa kami lakukan adalah berdoa dan berharap kejahatan ini bisa dihentikan.” Tetapi dalam hati, ia tahu, doa saja mungkin tidak cukup.
Di kejauhan, lonceng gereja kembali berdentang. Sama seperti kota ini, suaranya masih bertahan, meski dunia di sekitarnya terus berubah. Tapi sampai kapan? Itu pertanyaan yang tak seorang pun bisa menjawab.