Connect with us

Feature

Komunitas Alawi di Homs: Hidup dalam Bayang-Bayang Ancaman

Published

on

Di Zahra, sebuah kawasan Alawi yang terletak di pinggiran Homs, barat Suriah, tak ada lagi suara yang merayakan malam hari. Malam bukan lagi waktu untuk berkumpul, berbicara, atau menikmati kedamaian setelah hari yang panjang. Ini adalah saat ketika ketakutan melanda. Sejak kejatuhan Bashar al-Assad, malam di Zahra diwarnai oleh ketegangan yang mengancam setiap langkah kaki yang bergerak. Kehadiran Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) yang kini menguasai wilayah tersebut, semakin memperburuk keadaan. Tidak ada yang berani keluar rumah setelah matahari terbenam.

Sejak HTS mengambil alih wilayah ini, mereka mendirikan pos-pos pemeriksaan di seluruh Zahra dan lingkungan Alawi lainnya. Setiap sudut diperiksa, setiap rumah digeledah, dan ribuan orang dibawa tanpa kabar. Sejumlah orang, yang diduga memiliki keterkaitan dengan pemerintahan Assad sebelumnya, menjadi sasaran utama. Tindakan ini, menurut HTS, adalah bagian dari upaya untuk membasmi “sisa-sisa” rezim lama. “Kami hanya ingin mengembalikan keamanan,” kata Abu Khaled, seorang anggota Layanan Keamanan HTS. Tetapi kata-katanya tak mampu menenangkan ketegangan yang membara.

Pada tanggal 3 Januari, saat HTS menggeledah rumah-rumah di Zahra, Mahmoud, seorang pemuda berusia 26 tahun, merasakan ketakutan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Di luar rumah, petugas HTS memerintahkan warga untuk meninggalkan rumah mereka, membawa barang-barang berharga mereka. “Mereka memeriksa KTP setiap orang, mencari yang memiliki hubungan dengan rezim Assad,” kata Mahmoud. Setelah kembali ke apartemennya di lantai empat, dia melihat dua pria dipukuli di jalan bawah oleh anggota HTS. Suara tembakan mengiringi teriakan mereka. Malam itu, ketakutan menjadi bagian dari kenyataan yang tak bisa dihindari.

Kisah serupa terjadi di banyak rumah. Fatima, seorang wanita berusia 56 tahun, mengungkapkan bahwa saudaranya, Haydar, yang pernah menjadi anggota pasukan elit pemerintah, diculik oleh HTS pada 2 Januari. Dia dibawa tanpa jejak, dan setelah beberapa hari, Fatima mendapat informasi bahwa saudaranya sedang diinterogasi. Keadaan ini menciptakan ketidakpastian, dan ketakutan menjadi penguasa di setiap rumah di Zahra. “Mereka datang begitu tiba-tiba, dan kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan,” ujar Fatima dengan suara penuh kecemasan.

Tidak ada yang lebih menonjolkan ketidakpastian ini daripada bagaimana warga lokal harus berhadapan dengan realitas baru yang diciptakan oleh HTS. Yahya, seorang mantan tentara Assad, menceritakan bagaimana sepupunya ditangkap pada 3 Januari. “Kami disuruh keluar rumah untuk memberi ruang bagi pemeriksaan,” kata Yahya. “Tetapi mereka yang dipilih untuk tetap di luar, seperti sepupu saya, dipukuli di depan kami.” Warga Zahra merasa terperangkap, dalam ketidakpastian yang tak kunjung berakhir.

Di tengah segala ketegangan ini, masyarakat Alawi di Zahra merasa terpinggirkan. Setelah kekuasaan Assad jatuh, mereka merasa dihantui oleh balas dendam yang tak terhindarkan. Untuk banyak orang, perasaan ini bukanlah hal baru. Komunitas Alawi telah lama merasa terisolasi, terbagi oleh garis-garis sektarian yang tajam. “Kami selalu berada di pinggiran,” kata Yahya, menggambarkan bagaimana lingkungan mereka telah dipinggirkan bahkan sebelum kehancuran negara ini. Kini, mereka merasa terperangkap dalam lingkaran ketakutan yang tak tahu kapan akan berakhir.

Namun, jauh di balik semua ketakutan ini, ada juga upaya untuk mencari jalan keluar. Hussem, seorang mantan pegawai medis pemerintah, mengingatkan akan peran besar pemerintah Assad dalam menciptakan ketidakpastian yang kini melanda mereka. “Pemerintah bisa saja memberi kami peringatan sebelum kehancuran datang,” kata Hussem. “Tetapi mereka memilih untuk membiarkan kami berjuang sendiri.” Sementara itu, mereka yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya kini harus menjalani proses rekonsiliasi dengan HTS. Tapi rekonsiliasi itu bukanlah janji keamanan. Setiap orang yang melangkah ke pusat-pusat rekonsiliasi tahu bahwa masa depan mereka tak pasti.

Sementara itu, ketakutan dan ketidakpastian menyelimuti kehidupan sehari-hari mereka. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Warga Zahra kini hanya bisa berdoa agar malam berikutnya tidak membawa lebih banyak bahaya. Dengan setiap langkah, dengan setiap keputusan yang diambil, mereka tahu bahwa mereka berada di persimpangan jalan yang penuh ancaman, dengan setiap jalan berpotensi mengarah ke kehancuran lebih lanjut.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *