Feature
Kami Tidak Akan Pergi: Tekad Warga Gaza di Tengah Kepungan

Di jalanan Kota Gaza yang dipenuhi puing, debu beterbangan seperti kabut tipis. Matahari siang menembus sela bangunan yang setengah runtuh, memantulkan cahaya ke genangan air bercampur pasir. Bau asap dan besi terbakar masih terasa. Di antara reruntuhan itu, orang-orang berjalan cepat, sebagian membawa ember air, sebagian lagi memanggul karung tepung. Wajah-wajah mereka mengeras, seolah menantang dunia untuk mencoba mengusir mereka sekali lagi.
Umm Ibrahim Banat, 55 tahun, duduk di depan tenda daruratnya, matanya menerawang ke jalan yang lengang. “Sejak pagi, mendengar berita evakuasi Kota Gaza, saya gelisah dan takut,” ujarnya. Ia sudah empat kali diusir sejak perang pecah, kehilangan putrinya, menantunya, dan cucu-cucu. “Kami lelah dengan pengungsian, kelaparan, diusir dari satu tempat ke tempat lain. Sekarang, kami seperti mayat berjalan.”
Setiap langkah di Kota Gaza kini diiringi bayangan peluru. Setelah 22 bulan perang, hampir setiap keluarga di kota ini telah kehilangan seseorang. Hossam al-Saqa, 46 tahun, berdiri di depan rumahnya yang penuh lubang peluru. “Kami tetap di rumah, di tanah kami. Aku tidak akan pergi, bahkan jika semua senjata diarahkan ke kepalaku,” katanya. Suaranya tidak bergetar—yang tersisa hanyalah tekad yang dingin dan padat.
Jalanan Rimal, yang dulu dikenal dengan kafe dan toko buku, kini seperti dunia lain. Dinding retak, kabel listrik menggantung, dan bau sampah membusuk bercampur darah kering. Namun, di tengah kehancuran, beberapa anak bermain bola dengan bola plastik yang sudah kempis. Seorang ayah menonton dari kejauhan, tangannya menggenggam erat sekantong kecil berisi beras—mungkin satu-satunya stok makan keluarganya minggu ini.

ilustrasi anak-anak main bola
Ibrahim Abu al-Husni, 47 tahun, berdiri di depan rumahnya yang separuh ambruk. Anak sulungnya, usia 23 tahun, tewas dalam serangan udara. “Ini tanah tempat kami dibesarkan sejak kecil, dan kami tidak akan menyerahkannya begitu saja,” ucapnya. “Aku tidak akan meninggalkan kota ini. Aku akan tinggal di sini, dan aku akan mati di sini.” Kata-katanya melayang di udara seperti janji yang diukir di batu.
Di pasar darurat, beberapa pedagang menggelar barang di atas kain lusuh: beberapa botol air, kentang busuk, dan roti pipih yang mulai mengeras. Harga melambung, tapi tawar-menawar tetap terjadi—lebih karena ritual hidup daripada keyakinan akan mendapat harga lebih baik. Di sudut pasar, suara dentuman terdengar jauh, tapi orang-orang hanya menoleh sebentar sebelum kembali ke aktivitas mereka, seakan suara itu sudah menjadi bagian dari napas mereka.
Di dekat lokasi distribusi makanan, Ehab Nuor, 23 tahun, berbaring di pasir, bersembunyi di balik besi kusut. Tembakan senapan mesin meraung di udara. “Beginilah cara kami mendapatkan tepung di Gaza. Kami hanya ingin hidup—cukup sudah,” katanya. Ia sudah lebih dari sepuluh kali ditembaki saat mencoba mengambil bantuan. Tapi setiap kali, ia kembali lagi, karena di rumah, keluarganya menunggu dengan perut kosong.
Rumah sakit di Khan Younis dan Rafah penuh sesak dengan korban luka tembak. Dokter mengatakan mereka belum pernah melihat gelombang korban seperti ini. Lebih dari seratus pasien dinyatakan meninggal saat tiba, sebagian besar ditembak saat mencoba mengambil makanan. Bau obat antiseptik bercampur darah memenuhi lorong. Di ruang tunggu, keluarga menatap pintu ruang operasi, tak tahu apakah orang yang mereka cintai akan keluar hidup-hidup.
Bagi warga Gaza, bertahan di kota mereka bukan hanya soal tanah—ini adalah tentang harga diri, ingatan, dan hak untuk menentukan nasib sendiri. “Gaza sudah hancur total—apalagi yang bisa mereka lakukan?” tanya Umm Ibrahim. Baginya, pergi berarti menyerahkan semua yang pernah diperjuangkan. Di balik matanya yang letih, ada api kecil yang tak padam, api yang membuatnya tetap duduk di tenda itu, menolak pergi meski ancaman semakin dekat.
Ketika malam tiba, lampu sorot militer memotong kegelapan di sekitar pusat distribusi makanan. Orang-orang bergerak cepat di bawah sinar itu, memanggul karung tepung atau botol air. Tembakan terdengar lagi, tapi langkah mereka tidak berhenti. Seolah setiap karung tepung adalah pernyataan: kami masih di sini, kami masih hidup, dan kami tidak akan meninggalkan kota ini. Gaza mungkin porak-poranda, tapi hati warganya tetap berdiri tegak.
Di kamp pengungsian sementara di pinggiran kota, tenda-tenda berjejer sejauh mata memandang. Udara pengap dipenuhi aroma kain basah dan asap kayu bakar. Anak-anak berlarian di antara genangan air, sementara para ibu memasak roti di atas tungku tanah liat. Namun, banyak penghuni tenda ini berencana kembali ke rumah mereka di Kota Gaza, meski hanya tembok yang tersisa. “Lebih baik mati di rumah sendiri daripada hidup di tenda,” ujar seorang pria tua.
Di sebuah jalan kecil di Shuja’iyya, seorang perempuan muda memungut batu bata dari reruntuhan rumah keluarganya. Ia menyusunnya rapi di pinggir jalan, berharap suatu hari bisa membangun kembali. “Kami mungkin tidak punya listrik atau air bersih, tapi ini tetap tanah kami,” katanya sambil mengangkat bata dengan tangan penuh debu. “Jika kami pergi, siapa yang akan menjaga rumah ini? Siapa yang akan menceritakan bahwa kami pernah tinggal di sini?”
Hossam al-Saqa menghabiskan malamnya di atap rumah yang rusak, memandang langit yang sesekali diterangi kilatan ledakan. “Mereka ingin membuat kami takut dan pergi,” katanya lirih. “Tapi rasa takut hanya akan membuat kami kehilangan segalanya. Jika kami bertahan, setidaknya kami masih punya harga diri.” Di bawahnya, jalan-jalan sepi, hanya suara angin yang membawa aroma laut menyusup di antara bangunan.
Beberapa warga menolak evakuasi karena pengalaman pahit masa lalu. Mereka pernah pergi, tapi mendapati tempat tujuan sama berbahayanya. “Tidak ada tempat aman di Gaza,” ujar Abu Nasser Mushtaha, ayah empat anak. “Khan Younis hancur, Rafah hancur. Ke mana lagi kami bisa pergi?” Ia mulai mengatur rencana bertahan: menyimpan makanan kering, mengisi jerigen air, dan memastikan anak-anak selalu berada dekat dengannya.
Malam-malam di Gaza kini menjadi ruang tunggu panjang. Banyak keluarga berkumpul di satu ruangan, duduk melingkar di bawah cahaya lilin. Mereka berbagi cerita masa lalu, mengenang masa ketika Gaza penuh cahaya lampu jalan dan aroma kopi dari kafe. Sesekali, suara tembakan memotong percakapan, tapi tidak ada yang beranjak. Mereka tahu, di luar, rumah-rumah lain sedang kosong—tapi rumah mereka akan tetap berdiri, selama mereka masih di dalamnya.
Sumber: