Connect with us

Feature

“Kami Sendiri di Negeri Kami”: Luka Menganga di Tanah Alawi

Published

on

Di tengah langit biru yang menggantung tenang di atas pesisir barat laut Suriah, suara peluru kadang menyelinap seperti bisikan kematian. Aroma laut di Latakia yang dulu akrab kini tak mampu menenangkan jantung yang berdegup cepat karena ketakutan. Desa-desa yang pernah hidup dalam harmoni, kini tinggal menyisakan sunyi dan darah.

Sekilas, semua tampak tenang. Pemerintah bersikeras bahwa keadaan telah dikendalikan. Namun di balik jendela-jendela tertutup dan pintu-pintu yang terkunci rapat, masyarakat Alawi hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian—dan duka yang tak selesai.

Awal Maret lalu, tanah air yang mereka cintai berubah menjadi ladang peluru dan jeritan. Sebuah serangan terhadap pasukan keamanan Suriah—yang sebagian besar justru dilakukan oleh orang-orang dari kalangan Alawi sendiri, para loyalis Bashar al-Assad—menjadi awal dari kekacauan. Balas dendam pun mengambil bentuknya yang paling mengerikan: pembantaian terhadap warga sipil.

Laporan-laporan kemanusiaan mencatat jumlah kematian yang mengerikan. Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia menyebutkan lebih dari seribu jiwa melayang, mayoritas dari mereka adalah warga Alawi. Mereka tewas di tangan kelompok bersenjata—baik yang berbaju negara maupun yang bergerak dalam bayang-bayang kekuasaan. Namun angka-angka itu tak pernah benar-benar bisa menggambarkan dentuman kehilangan yang bergema di hati para ibu, ayah, dan anak-anak yang mendadak jadi yatim.

Sqoubin, sebuah desa di perbukitan Latakia, menyaksikan tragedi dalam senyap. Putra seorang ulama Alawi dibunuh di tengah jalan. Ia hanya ingin pulang dari tempat kerja. Bersama dua kerabatnya, ia dihentikan oleh orang-orang bersenjata yang tak dikenal, dan peluru pun menjadi salam terakhirnya.

Di al-Mawrid, peluru mengenai seorang pemuda dan pukulan menghantam tubuh seorang anak cacat. Dan di Tartous, tiga pemuda menghilang dalam perjalanan, hanya untuk ditemukan terbujur kaku di pinggir ladang.

Seakan waktu berhenti, tapi kematian tak mengenal jeda.

Para pelaku sering datang dengan wajah tertutup dan senjata terhunus, memakai seragam yang sulit dibedakan dari milik militer. Di desa al-Sanobar, enam pria bertopeng menggedor dua rumah bertetangga. Mereka masuk dengan kata-kata manis—”Semua baik-baik saja, jangan khawatir”—lalu berubah menjadi pemangsa yang mencari emas, ponsel, dan martabat.

Seorang kepala sekolah dipukul hingga berdarah, anting emasnya direnggut dari telinga. Di rumah sebelah, seorang guru fisika melarikan diri lewat kebun, meninggalkan keluarganya yang dihadapkan pada kekerasan dan penjarahan. Lima rumah saja yang kini masih dihuni. Sisanya, ditinggalkan dengan kenangan yang tak ingin diulang.

Bahkan sekolah pun tak selamat dari ancaman. Ketika para guru mencoba membuka kembali ruang kelas di al-Sanobar, peluru menyambut mereka. Tak ada penyelidikan. Tak ada keadilan. Hanya rasa takut yang terus beranak pinak.

Di Homs, seorang penjaga sumur dibunuh setelah peluru ditembakkan ke udara. Seolah-olah kematian itu hanya pengantar. Dan di jantung Latakia, seorang tukang cukur muda tewas di depan tokonya. Ia baru saja belajar merapikan rambut orang. Kini, tak ada yang bisa merapikan kematiannya.

Seorang saksi di al-Azhari melihat tiga pria ditembak di kepala hanya karena menjawab bahwa mereka adalah Alawi. “Apakah kamu Alawi?” menjadi pertanyaan yang bisa menentukan hidup dan mati di negeri yang dulunya mereka bela dengan darah dan keyakinan.

Kekacauan ini bukan sekadar angka atau statistik yang kaku. Ini adalah luka yang basah di tubuh bangsa. Anak-anak bangun dari tidur malam mereka dengan jeritan. Seorang ibu berkata, “Anakku tak pernah bercerita, tapi ia menangis dalam tidurnya. Terkadang menjerit, seolah masih bersembunyi dalam mimpi buruk yang tak selesai.”

Di tengah kehancuran, para pemimpin komunitas mencoba membentuk dewan lokal demi perlindungan. Tapi upaya itu kerap kandas oleh ketakutan dan ketidakpercayaan. Telepon ke kantor polisi tak dijawab, atau dijawab dengan kalimat yang menyakitkan: “Itu bukan kelompok kami. Kami tak bisa membantu.”

Negara yang pernah mereka bela, kini menjauhkan diri. Setiap pekan berlalu membawa berita kematian baru: mayat-mayat ditemukan di ladang, di jalanan sepi, atau di tepi laut. Beberapa dengan luka tembak di kepala. Beberapa hanya tinggal nama dalam doa-doa diam.

Pemerintah melanjutkan upaya rekonsiliasi, membanggakan bahwa ribuan mantan tentara telah menyelesaikan prosedur damai. Tapi di desa-desa pesisir yang semakin sunyi, siapa yang bisa percaya akan kata “damai”?

“Kami sendirian,” kata seorang pengungsi dari al-Sanobar, dengan suara yang pelan tapi penuh luka. “Tak ada yang melindungi kami. Bahkan tanah kami sendiri pun kini tak memihak.”

Dan di ufuk barat laut Suriah, mentari masih terbit. Tapi bagi banyak orang Alawi, sinarnya tak lagi berarti harapan. Yang tertinggal hanyalah bayangan panjang dari pengkhianatan dan nyawa-nyawa yang tak sempat mengucapkan selamat tinggal.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *