Feature
Jenin Dalam Kepungan Derita

Hari itu langit Jenin dipenuhi dengung drone yang memekakkan telinga. Di bawahnya, suasana mencekam menyelimuti setiap sudut. Warga dipaksa keluar dari rumah mereka oleh suara dingin dari pengeras suara yang memerintah tanpa kompromi. Di tengah kepanikan, keluarga-keluarga itu berjalan dengan mata penuh ketakutan, meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat berlindung mereka dari dunia luar.
Salah, seorang penghuni kamp Jenin, mengisahkan bagaimana hidupnya berubah menjadi mimpi buruk. Drone-drone mengintai di atas, sementara teknologi pengenalan wajah digunakan untuk memburu para pemuda. “Mereka yang datanya tercatat, langsung ditangkap. Setelahnya, kami tak tahu apa yang terjadi pada mereka—apakah dipukuli, disiksa, atau yang lebih buruk,” ucapnya dengan suara bergetar.
Di tengah pengungsian, ada yang berjalan dengan tubuh lemah dan letih. Seorang pria tua, baru saja menjalani operasi, terpaksa berjalan sejauh 1,5 kilometer dari pagi hingga petang. Ia menahan sakit di tengah desakan tentara Israel yang menenteng senjata. Dengan nafas tersengal, ia bercerita, “Kami dipaksa berjalan meski kondisi saya tak memungkinkan. Tak ada pilihan selain mengikuti.”
Kamp pengungsian kini menjadi saksi bisu penderitaan manusia. Ratusan orang ditangkap, banyak di antaranya dipermalukan dengan penggeledahan dan interogasi yang melanggar kemanusiaan. Di pintu masuk kamp, 20 kendaraan militer Israel mengepung, mempertegas kekuasaan yang membelenggu mereka. Suara tangisan anak-anak dan rintihan orang tua berpadu dalam pemandangan penuh derita.
Di sisi lain, tenaga medis berjuang dalam keterbatasan. Ambulans yang mencoba menjemput korban luka dihentikan dan digeledah. Petugas kesehatan diinterogasi dengan intimidasi yang melelahkan, hanya untuk diperbolehkan membawa bantuan. “Setiap langkah kami diawasi. Mereka mempersulit apa yang seharusnya menjadi tugas kemanusiaan,” ungkap salah satu petugas medis yang nyaris kehilangan harapan.
Sementara itu, upaya untuk memberitakan tragedi ini pun tak luput dari ancaman. Tim Palestina TV yang mencoba menyiarkan langsung, dipaksa berhenti oleh tentara Israel. Kamera dan ponsel mereka disita, ancaman dilontarkan, dan kantor berita mereka diancam akan digerebek. “Kami merasa terjebak. Bahkan untuk memberitakan kebenaran pun, kami dibungkam,” ujar Amna Bilalo, seorang jurnalis yang terus dihantui ketakutan.
Di tengah kehancuran ini, suara bom dan peluru masih menggema. Rumah-rumah hancur, jalanan dipenuhi puing-puing, dan kehidupan di kamp Jenin nyaris terhenti. Bagi Mohammad Salah, seorang warga, ini adalah puncak penderitaan setelah lebih dari 45 hari kamp mereka dikepung oleh Otoritas Palestina (PA) sebelum serangan Israel dimulai. “Kami sudah lelah. Air, listrik, semua tak ada. Kini bom dan kematian datang,” katanya.
Setiap langkah di kamp Jenin adalah saksi bisu kekejaman yang terus berlangsung. Tubuh-tubuh tanpa nyawa dibiarkan tergeletak di jalan, sementara yang terluka berjuang bertahan di tengah blokade. Tidak ada tempat untuk berlindung, tidak ada ruang untuk bernafas. Semua terasa begitu gelap, seakan tidak ada lagi harapan di tempat yang penuh luka ini.
Operasi militer besar-besaran ini, yang disebut “Iron Wall,” seperti tembok yang menghancurkan seluruh kehidupan di Jenin. Anak-anak kehilangan masa kecil, orang tua kehilangan martabat, dan harapan perlahan terkubur bersama reruntuhan rumah. Di balik tembok ini, hanya ada cerita derita, ketakutan, dan air mata yang tak pernah berhenti mengalir.
Jenin bukan hanya kota yang diserang; ia adalah simbol dari kemanusiaan yang terkoyak. Di tengah reruntuhan dan debu, ada suara hati yang terus memohon keadilan, kebebasan, dan kehidupan yang layak. Meski dikepung derita, harapan masih berusaha untuk tetap hidup, meski hanya berupa nyala kecil di tengah kegelapan.