Connect with us

Feature

Jejak Duka dan Harapan di Tengah Puing Gaza Utara

Published

on

Saat mentari perlahan terbit di ufuk utara Gaza, udara dipenuhi debu dan aroma duka. Puing-puing rumah yang dulu menjadi saksi tawa dan kebersamaan kini berserakan, hanya menyisakan sunyi yang menyakitkan. Ribuan warga Palestina melangkah pelan, menyusuri jalan yang tak lagi seperti dulu. Mereka tak sekadar pulang; mereka mencari keluarga, meski hanya sisa tubuh untuk disemayamkan dengan layak.

Kabir Rusoomi, seorang wanita dari Beit Lahia, tampak melangkah dengan tekad yang kokoh. “Utara adalah jiwa dan hati kami,” katanya, suaranya serak namun penuh arti. “Itu tanah yang kami kehilangan.” Tatapannya tertuju ke depan, menembus debu dan reruntuhan. Baginya, perjalanan ini adalah ziarah, sebuah upaya kembali ke tanah kenangan, meski ia tahu hanya puing yang menanti. “Walaupun mereka menghancurkan semuanya, kami akan membangunnya lagi,” bisiknya, seperti berusaha menghidupkan harapan dari kesunyian yang mengelilingi.

Perjalanan ini bukan sekadar langkah fisik bagi Kabir dan banyak lainnya. Ini adalah perjalanan hati, usaha untuk merebut kembali tanah, kehormatan, dan kehidupan yang dirampas Israel. Dengan penuh kesedihan, ia menyebut nama-nama anggota keluarganya yang telah tiada. “Jika orang-orang kami pergi, kami akan menghidupkan ingatan mereka,” katanya, seolah berjanji pada tanah yang dipijaknya.

Di sepanjang jalan menuju Gaza utara, banyak orang seperti Kabir yang kembali ke rumah, meski rumah itu kini hanya puing dan kenangan. Di tepi pantai Laut Tengah, seorang pemuda memeluk pamannya. Ia memegang sebuah drum, alat musik sederhana yang menjadi simbol kebahagiaan. “Tak ada yang lebih indah dari ini,” seru pamannya. Tapi keindahan momen itu terasa getir, terbungkus kesedihan akan apa yang telah hilang.

Di Gaza utara, lebih dari 5.000 orang dilaporkan tewas atau hilang. Angka itu bukan sekadar statistik; itu adalah kisah keluarga yang hancur, tetangga yang tak kembali, teman-teman yang tak lagi hadir. Setelah setahun lebih dihantui serangan brutal Israel, gencatan senjata memberikan jeda, meski luka yang menganga masih sulit terobati. Langit Gaza tampak lebih tenang, tetapi reruntuhan yang membentang adalah bukti dari derita yang tak kunjung selesai.

Hannan Thabet, seorang wanita yang melangkah ke utara untuk mencari ibunya yang berusia 75 tahun, mengungkapkan perasaan yang begitu dalam. “Kami telah menderita selama setahun lebih empat bulan,” katanya, suaranya pelan namun penuh beban. “Namun, hari ini kami akan merasakan jenis penderitaan yang berbeda—penderitaan melihat rumah yang hancur lebur.” Ia berhenti sejenak, memandang sekeliling, lalu melanjutkan dengan pelan, “Tuhan, mudahkanlah kami… bangsa ini memang bangsa yang kuat.”

Bagi sebagian orang, perjalanan pulang ini adalah perjuangan tak hanya fisik, tapi juga mental. Soad Bakr, seorang pengawas di Al Awda Health and Community Association, mengatakan bahwa organisasinya menjadi salah satu yang pertama memberikan bantuan medis kepada warga yang kembali ke Gaza utara. “Kami tahu ada begitu banyak rintangan bagi para pengungsi yang ingin kembali,” katanya, matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Bersama timnya, Soad tak hanya membantu menyembuhkan luka fisik, tapi juga memberikan dukungan emosional bagi mereka yang menghadapi trauma kehilangan.

Di balik perjuangan ini, ada rasa sakit yang tak terelakkan. Data dari WHO menyebutkan lebih dari 485.000 orang di Gaza mengalami gangguan mental akibat perang. Ketidakpastian tempat tinggal hanya memperparah penderitaan ini. Sementara itu, gambar satelit dari laporan Human Rights Watch memperlihatkan kehancuran sistematis, dari rumah hingga lahan pertanian, yang membuat krisis pangan semakin parah. Setiap langkah pulang adalah pengingat pahit tentang apa yang telah direnggut dari mereka.

Namun, meski keputusasaan membayangi, secercah harapan tetap ada. Di tengah reruntuhan, warga Gaza membawa semangat untuk bangkit. Mereka tahu bahwa jalan ini panjang, tetapi tanah yang mereka pijak adalah saksi sejarah, sekaligus warisan yang tak tergantikan. Langkah-langkah kecil yang mereka ambil bukan hanya untuk pulang; itu adalah perjuangan untuk merebut kembali masa depan.

Di balik rasa kehilangan, di antara puing-puing yang berserakan, Gaza tetap hidup dalam hati warganya. Bagi mereka, pulang bukanlah akhir, melainkan awal dari harapan baru. Di setiap langkah, mereka membawa janji: tanah ini akan berdiri kembali, dan kehidupan akan kembali bersemi, meski dengan segala luka yang telah menghiasinya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *