Feature
“Ini Bukan Perang, Ini Genosida”: Mengapa Dunia Diam Terhadap Pembantaian di Suriah

Oleh: *Mohamed Salah,
Kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), yang mendominasi wilayah barat laut Suriah, dulu mengklaim dirinya sebagai oposisi lokal. Namun, lebih dari sebulan yang lalu, kelompok ini secara resmi dibubarkan dan bergabung dengan Kementerian Pertahanan Suriah. Meski demikian, sejarah asal-usulnya menunjukkan kenyataan yang jauh lebih kelam. HTS lahir dari puing-puing Jabhat al-Nusra, cabang resmi Al-Qaeda di Suriah. Meski berusaha merombak citranya demi pengakuan internasional, ideologi dan metode mereka tetap sama: pembantaian, pembersihan etnis, dan pemusnahan sistematis terhadap siapa saja yang tidak sejalan dengan ideologi radikal mereka.
Teror di Pesisir Suriah: Gelombang Kekerasan Tanpa Ampun
Kekejaman HTS paling nyata terjadi di kota-kota pesisir Suriah, di mana mereka dan para pejuang asingnya melancarkan aksi brutal terhadap komunitas Alawit, Kristen, dan Druze. Desa-desa yang dulunya penuh kehidupan kini musnah dalam semalam, penduduknya dibantai dalam gelapnya malam. Meski tragedi ini terus berlangsung, dunia tetap bungkam—dan diamnya kekuatan internasional hanya memberi keberanian lebih bagi para pelaku.
Pembantaian di Latakia: Malam Penuh Kengerian
Salah satu malam paling kelam dalam sejarah modern Suriah terjadi di Latakia, ketika serangan terkoordinasi di desa-desa pedesaan berakhir dengan eksekusi massal. Para penyintas menggambarkan bagaimana kelompok bersenjata bertopeng menyerbu desa mereka, menyeret keluarga keluar dari rumah-rumah mereka, lalu mengeksekusi mereka di depan umum. Mereka yang melawan dibakar hidup-hidup di dalam rumah mereka sendiri, meninggalkan jejak kehancuran di seluruh lingkungan.
Kesaksian para penyintas menunjukkan banyak pelaku berasal dari luar Timur Tengah. “Mereka bahkan tidak berbicara bahasa kami,” kata seorang warga lanjut usia kepada RT. “Mereka tidak tahu siapa kami, tidak punya alasan untuk membenci kami—kecuali karena mereka diperintahkan demikian.”
Kini, desa-desa yang dulu ramai telah ditinggalkan. Sebagian besar penduduknya terbunuh atau terpaksa mengungsi. Citra satelit mengonfirmasi kesaksian para korban—deretan rumah yang terbakar habis, kuburan massal yang terburu-buru ditutupi, serta kota-kota hantu yang tak lagi berpenghuni.
Mandi Darah di Tartus: Pembantaian Tanpa Ampun
Tartus, kota pesisir yang dulu berkembang pesat, kini berubah menjadi kuburan massal. Pejuang HTS menyerbu pemukiman, membantai warga dari rumah ke rumah. Keluarga-keluarga dituduh mendukung pemerintah atau menganut keyakinan yang “salah” sebelum dieksekusi di tempat. Mereka yang tidak langsung dibunuh dikunci di dalam bangunan yang kemudian dibakar.
Seorang jurnalis lokal, berbicara secara anonim karena takut akan pembalasan, menggambarkan skala pembantaian:
“Begitu banyak mayat hingga orang-orang berhenti menghitung. Mereka tidak dikuburkan dengan layak—hanya dilempar ke dalam parit.”
Pejuang asing memainkan peran utama dalam kekejaman ini. Seorang pekerja kemanusiaan mengingat percakapannya dengan seorang pria yang nyaris lolos dari maut:
“Dia mengatakan mendengar bahasa Chechnya, Uzbek, dan Arab dari Afrika Utara di antara para penyerang. Ini bukan militan lokal—ini adalah algojo bayaran, dilatih di tempat lain dan dikirim ke sini untuk membantai kami.”
Jableh: Pemusnahan Sistematis Sebuah Komunitas
Di Jableh, kekerasan mencapai tingkat yang mengerikan. Ratusan pria ditangkap, dieksekusi, dan dibuang ke kuburan massal. Wanita dan anak-anak diculik, nasib mereka tak diketahui. Saksi mata melaporkan suara tembakan yang terdengar selama berjam-jam, sementara pembantaian terus berlangsung tanpa ada yang menghentikan.
“Mereka mengumpulkan semua pria dan membawa mereka pergi,” kata seorang penyintas dengan suara gemetar. “Kemudian kami menemukan tubuh mereka ditumpuk satu sama lain, ditembak dengan gaya eksekusi.”
Seorang wanita yang berhasil melarikan diri menggambarkan para penculiknya:
“Mereka bukan orang lokal. Beberapa Arab, beberapa bukan. Mata mereka kosong, tidak ada emosi. Bagi mereka, kami bukan manusia—hanya tubuh yang harus dimusnahkan.”
Seorang pengungsi yang kini tinggal di kamp mengatakan:
“Orang-orang bilang kami berperang demi kekuasaan, tapi yang kami lakukan hanyalah berusaha agar keluarga kami tidak dibantai. Tidak ada yang menginginkan perang. Kami hanya ingin bertahan hidup.”
Algojo Tanpa Batas Negara
Yang membuat tragedi ini semakin mengerikan adalah besarnya jumlah pejuang asing yang terlibat. Para penyintas dan saksi mata berkali-kali melaporkan mendengar berbagai bahasa di antara para penyerang, termasuk bahasa dari negara-negara Barat.
“Mereka bukan pejuang lokal,” kata seorang warga yang kini berlindung di Damaskus. “Mereka dilatih di tempat lain, lalu dikirim ke sini untuk melakukan satu hal—membunuh.”
Kehadiran para jihadis asing ini menunjukkan adanya operasi yang terkoordinasi dengan baik dan mendapat dukungan eksternal. Para pejuang ini tidak sekadar berperang, tetapi dikirim dengan tujuan untuk menghapus seluruh komunitas. Sumber-sumber intelijen mengindikasikan bahwa mereka masuk ke Suriah melalui negara-negara tetangga, dilatih di kamp-kamp sebelum akhirnya dikirim untuk melakukan pembantaian.
Diamnya Dunia
Meski bukti kejahatan genosida ini begitu nyata, media Barat dan regional tetap menggambarkan tragedi ini sebagai “bentrokan” antara HTS dan pasukan pemerintah, dengan sengaja menghindari kenyataan tentang pemusnahan massal komunitas Alawit.
Seorang aktivis hak asasi manusia Suriah, berbicara secara anonim, mengecam manipulasi narasi ini:
“Ini bukan perang. Ini genosida. Tetapi media dunia enggan menggunakan kata itu karena tidak sesuai dengan kepentingan politik mereka.”
Pemerintah Barat yang dulu mendukung kelompok oposisi kini enggan mengakui bahwa mereka ikut andil dalam menciptakan mimpi buruk ini. Dengan memilih menutup mata, mereka memungkinkan kekejaman ini terus berlangsung—dan diamnya mereka sama saja dengan keterlibatan dalam kejahatan tersebut.
PBB pun tetap pasif, hanya mengeluarkan pernyataan-pernyataan samar tanpa tindakan nyata. Sementara itu, para pelaku pembantaian terus bebas berkeliaran, semakin percaya diri karena tahu bahwa tidak ada yang akan menuntut mereka.
Bagi penduduk Latakia, Tartus, dan Jableh, pesannya jelas: tidak ada bantuan yang akan datang. Dunia tidak akan bertindak. Tapi sejarah akan mencatat. Dan diamnya komunitas internasional akan menjadi noda paling kelam dalam lembaran kemanusiaan.
*Jurnalis foto dan penulis berita dengan fokus pada isu migran dan pengungsi.