Feature
Ibu di Gaza Kehilangan Bayinya Setelah Diserang Anjing Israel

Tahrir Husni al-Arian masih mengingat malam itu dengan jelas—sebuah mimpi buruk yang menggores luka mendalam, baik di tubuhnya maupun di hatinya. Di sebuah rumah di Khan Younis, Gaza, malam 24 Oktober 2024 menjadi saksi bagaimana kebrutalan tidak mengenal batas, bahkan terhadap seorang ibu hamil sembilan bulan. Kala itu, Arian tidak pernah menyangka akan kehilangan lebih dari sekadar kedamaian.
Langit malam yang awalnya hening mendadak diwarnai rentetan misil. Keluarga Arian, bersama saudara ipar, berkumpul dalam keputusasaan di kamar mandi. Dengan lampu dimatikan, mereka berharap kegelapan melindungi mereka dari maut. Tapi langkah kaki dan suara asing mendekat, mengiris keheningan. Arian merasakan jantungnya berdegup kencang, hingga pintu kamar mandi terbuka, dan seekor anjing menyerbu masuk.
“Itu bukan anjing biasa,” Arian mengenang, suaranya bergetar. “Warnanya hitam, besar seperti singa, dengan kamera di kepalanya.” Anjing itu menggigit paha kanannya, mengoyak daging hingga serpihan-serpihan kecilnya jatuh ke lantai. Teriakan keluarganya berusaha melepaskan anjing itu sia-sia. Butuh empat tentara Israel untuk akhirnya menghentikan anjing tersebut, yang setelahnya duduk tenang di sofa seolah tak terjadi apa-apa.
Arian tidak hanya terluka secara fisik. Trauma yang ia alami membawanya pada ketakutan mendalam. Bahkan ketika ambulans tiba untuk menyelamatkan korban lain, ia menolak pergi. “Saya takut akan dibom saat di luar,” katanya. Dengan luka sepanjang 15 sentimeter yang menganga, ia akhirnya dibawa ke rumah sakit Nasser menjelang fajar. Dokter memperingatkan bahwa luka itu akan memengaruhi proses kelahirannya.
Dalam sepekan, Arian melahirkan seorang bayi laki-laki yang mereka namai Ibrahim. Namun kebahagiaan itu hanya sejenak. Bayinya, yang ditempatkan di inkubator, berjuang untuk hidup. Dokter menyebut luka dan infeksi dari serangan anjing telah merusak peluang Ibrahim untuk bertahan. “Akhirnya, ia menyerah,” ujar Arian dengan air mata. “Semua karena malam itu.”
Proses melahirkan Ibrahim dipenuhi rasa sakit yang tak tertahankan, bukan hanya karena operasi caesar, tetapi juga operasi lanjutan untuk membersihkan luka di pahanya. Bau menyengat dari infeksi membuat Arian hampir kehilangan kesadaran. Ia meminta jendela dibuka agar bisa bernapas. Semua itu terjadi di tengah bunyi ledakan yang terus menggema di kejauhan, mengingatkan bahwa bahkan di rumah sakit, perang tetap membayangi.
Setelah kehilangan Ibrahim, Arian merasa jiwanya hancur. Ia tidak hanya kehilangan anaknya, tetapi juga rasa aman. Ia takut tentara Israel akan kembali mencarinya. “Saya tidak ingin tinggal di Gaza. Saya ingin pergi jauh dari sini,” katanya. Namun, ke mana pun ia pergi, luka di tubuh dan hatinya tetap membekas. Ia kini tidur dengan lampu menyala, meminta ditemani ke kamar mandi, dan merasa tidak ada yang bisa melindunginya.
Trauma yang dialami Arian membekukan hidupnya. Ia merasa kehilangan kepercayaan, bahkan pada orang-orang terdekatnya. “Kalian ada di sana saat anjing itu menyerang, tapi kalian tidak bisa menghentikannya,” ujarnya kepada keluarganya. Kata-katanya penuh luka, mencerminkan betapa dalam rasa sakit yang ia alami.
Hari-hari berlalu, tetapi Arian masih berjuang untuk berjalan. Dokter memprediksi butuh delapan bulan hingga lukanya sembuh sepenuhnya. Namun, waktu tidak bisa menghapus ingatan malam itu. Kehilangan Ibrahim, luka yang mengoyak tubuhnya, dan trauma yang menggerogoti pikirannya adalah warisan kekejaman yang akan selalu ia bawa.
Arian adalah saksi hidup dari kekejaman yang tidak memandang kemanusiaan. Ia tidak hanya kehilangan seorang anak, tetapi juga rasa percaya, rasa aman, dan sebagian dari dirinya sendiri. Namun, di tengah reruntuhan harapan, kisahnya berbicara lebih dari sekadar penderitaan—ini adalah potret seorang ibu yang bertahan meski diterpa gelombang ketidakadilan yang luar biasa.