Feature
Hossam Shabat (2002 – 24 Maret 2025): Suara Gaza yang Tak Pernah Padam

Hossam Shabat, seorang jurnalis Palestina berusia 23 tahun yang penuh semangat, keberanian, dan dedikasi luar biasa, meninggalkan dunia ini pada 24 Maret 2025. Ia gugur dalam serangan drone Israel di Beit Lahia, Gaza utara, saat sedang berada di dalam mobilnya—menjalankan tugas yang telah menjadi panggilan hidupnya: mendokumentasikan kebenaran di tengah kehancuran perang. Lebih dari sekadar jurnalis, Hossam adalah mata dan suara bagi rakyat Gaza, terutama bagi mereka yang hidup dalam keterasingan dan penderitaan di wilayah utara yang semakin terisolasi. Saat banyak orang memilih meninggalkan zona konflik, ia justru bertahan, memastikan dunia tetap melihat apa yang terjadi di tanah kelahirannya.
Lahir pada tahun 2002 di Gaza, Hossam tumbuh dalam bayang-bayang konflik yang tak pernah usai. Seperti banyak pemuda Palestina lainnya, ia menjalani kehidupan yang diwarnai blokade, pembatasan, dan ancaman perang yang selalu mengintai. Namun, di balik situasi yang penuh tekanan itu, ia tetap bermimpi. Mimpi yang pada awalnya sederhana: hidup dengan damai, menyelesaikan pendidikan, dan meraih masa depan yang lebih baik. Namun, semua itu berubah ketika perang kembali berkobar pada Oktober 2023. Saat itu, Hossam baru berusia 21 tahun, masih menjadi mahasiswa dengan masa depan yang seharusnya terbuka luas di hadapannya. Tapi ketika banyak orang mencari cara untuk bertahan hidup, ia justru memilih jalan yang lebih berisiko—menjadi jurnalis perang.
Dengan kamera di tangannya dan akun X-nya (@HossamShabat) sebagai platform utama, ia mulai mendokumentasikan setiap sudut Gaza yang porak-poranda. Ia meninggalkan bangku kuliah dan sisa kenyamanan yang mungkin masih bisa ia nikmati, meyakini bahwa menyuarakan penderitaan rakyatnya jauh lebih penting daripada mengejar ambisi pribadi. Selama 18 bulan terakhir hidupnya, Hossam menjalani kehidupan yang hampir mustahil dibayangkan oleh orang lain. Ia tidur di mana saja—di trotoar yang berdebu, di reruntuhan sekolah yang telah hancur, atau di tenda-tenda pengungsian yang rapuh. Ia merasakan kelaparan yang sama seperti rakyat Gaza, hidup dalam keterbatasan tanpa air bersih, tanpa listrik, tanpa kepastian apa pun. Tetapi di tengah segala keterbatasan itu, ia tidak pernah berhenti melaporkan. Ia terus menulis, merekam, dan mengunggah laporan langsung dari garis depan. Setiap unggahannya menangkap momen-momen yang mengguncang hati: anak-anak yang kehilangan keluarganya, ibu-ibu yang meratapi rumah yang telah rata dengan tanah, dan komunitas yang bertahan di bawah hujan bom yang tak berkesudahan.
Sebagai seseorang yang mengikuti perjalanannya melalui akun X, Hossam bukan sekadar jurnalis yang terjun di medan perang. Ia adalah jendela yang membuka realitas Gaza kepada dunia, seorang pemuda yang dengan penuh keberanian menghadirkan kisah-kisah yang sering kali diabaikan oleh media internasional. Setiap cuitannya bukan hanya laporan, tetapi juga jeritan, pengingat bahwa di balik angka-angka statistik korban jiwa ada manusia yang berjuang, yang takut, yang berharap. Saya masih ingat bagaimana ia pernah menulis tentang malam-malam panjang tanpa listrik, hanya ditemani suara drone yang berputar-putar di langit, suara ledakan yang datang tiba-tiba, dan udara dingin yang menyusup ke dalam tulangnya. Tapi meskipun dunia terasa gelap, ia tetap bertahan, tetap bekerja, tetap bersuara.
Pada November 2024, Hossam sempat terluka dalam serangan udara lainnya. Banyak yang mengira itu akan menjadi titik akhirnya—bahwa ia akan memilih untuk mundur, mencari tempat yang lebih aman, atau setidaknya beristirahat. Tetapi begitu ia pulih, ia kembali ke lapangan, seolah tidak ada yang berubah. Keberaniannya yang tanpa batas membuatnya dihormati oleh rekan-rekan jurnalis dan rakyat Gaza. Namun, keberanian itulah yang akhirnya membawanya pada takdir tragisnya. Pada 24 Maret 2025, bersama rekannya, Mohammad Mansour dari Palestine Today, Hossam gugur dalam serangan drone yang menghantam mobil mereka. Gaza Media Office menyebut kematiannya sebagai bagian dari “kejahatan sistematis” terhadap jurnalis Palestina, sementara Committee to Protect Journalists (CPJ) mencatat bahwa setidaknya 170 jurnalis telah kehilangan nyawa sejak Oktober 2023—angka yang mencerminkan betapa berbahayanya profesi ini di wilayah konflik.
This is Hossam’s team, and we are sharing his final message :
“If you’re reading this, it means I have been killed—most likely targeted—by the Israeli occupation forces. When this all began, I was only 21 years old—a college student with dreams like anyone else. For past 18… pic.twitter.com/80aNO6wtfO
— حسام شبات (@HossamShabat) March 24, 2025
Pesan terakhir Hossam, yang diunggah oleh timnya di akun X setelah kematiannya, menjadi bukti nyata dari dedikasinya yang tak tergoyahkan. Dalam pesannya, ia menulis: “Jika Anda membaca ini, itu berarti saya telah tewas—kemungkinan besar ditargetkan—oleh pasukan pendudukan Israel. Ketika ini semua dimulai, saya baru berusia 21 tahun—seorang mahasiswa dengan mimpi seperti orang lain. Selama 18 bulan terakhir, saya mengabdikan setiap detik hidup saya untuk rakyat saya. Saya mendokumentasikan kengerian di Gaza utara menit demi menit, bertekad menunjukkan kebenaran yang mereka coba kubur. Saya tidur di trotoar, di sekolah, di tenda—di mana saja yang saya bisa. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Saya menahan lapar selama berbulan-bulan, namun saya tak pernah meninggalkan rakyat saya.”
Ia melanjutkan, “Demi Tuhan, saya telah menjalankan tugas saya sebagai jurnalis. Saya mempertaruhkan segalanya untuk melaporkan kebenaran, dan kini, saya akhirnya bisa beristirahat—sesuatu yang tak saya kenal dalam 18 bulan terakhir. Saya melakukan semua ini karena saya percaya pada perjuangan Palestina. Saya percaya tanah ini milik kami, dan menjadi kehormatan terbesar dalam hidup saya untuk mati demi membelanya dan melayani rakyatnya. Saya meminta Anda sekarang: jangan berhenti berbicara tentang Gaza. Jangan biarkan dunia berpaling. Terus berjuang, terus ceritakan kisah kami—hingga Palestina merdeka.”
Pesan ini bukan sekadar perpisahan, tetapi sebuah wasiat, seruan yang menggema agar dunia tidak melupakan Gaza. Hossam Shabat mungkin telah pergi, tetapi suaranya tetap hidup melalui kata-katanya, melalui rekaman dan tulisan yang ia tinggalkan, dan melalui hati mereka yang pernah tersentuh oleh perjuangannya. Kematiannya menyisakan luka yang mendalam, terutama karena ada dugaan kuat bahwa ia sengaja menjadi target. Serangan drone, dengan presisi tinggi, sering kali memunculkan pertanyaan tentang penargetan individu, dan dalam kasus Hossam, sulit untuk menepis kemungkinan bahwa laporan-laporannya yang jujur dan tajam membuatnya menjadi sasaran.
Hossam Shabat meninggalkan warisan yang jauh lebih besar dari usianya yang singkat. Ia adalah simbol ketahanan, keberanian, dan pengabdian pada kebenaran. Bagi rakyat Palestina, ia adalah pahlawan yang tak akan dilupakan. Bagi saya, yang mengikuti jejaknya di X, ia adalah pengingat bahwa di balik setiap berita ada manusia yang mempertaruhkan segalanya demi kita bisa tahu. Semoga ia menemukan kedamaian yang tak pernah ia rasakan selama hidupnya, dan semoga kita, yang masih ada, mampu meneruskan api yang telah ia nyalakan. Hossam Shabat dari Gaza utara—suaramu tak akan pernah benar-benar dibungkam.