Connect with us

Feature

Gencatan Senjata Gaza dan Ketenangan yang Tertimbun Darah

Published

on

Suasana malam itu begitu mencekam di Gaza, saat harapan akan perjanjian gencatan senjata yang dijanjikan pada hari Minggu mulai terdengar. Warga yang sudah lama menderita, penuh dengan semangat untuk menyambut harapan baru, tiba-tiba dihantam kenyataan pahit. Pesawat-pesawat tempur Israel terus meluncurkan serangan tanpa ampun, mengubur harapan mereka dalam kegelapan yang lebih dalam.

Mahmoud Basal, juru bicara dari pertahanan sipil Gaza, menyuarakan duka mendalam. Dalam beberapa jam setelah pengumuman gencatan senjata, serangan Israel sudah merenggut 73 nyawa, termasuk 20 anak-anak dan 25 wanita. Ketika harapan untuk kedamaian muncul, mereka justru disambut oleh ledakan-ledakan yang memporak-porandakan rumah-rumah tempat mereka bersembunyi. Di sepanjang pantai Rafah, di pasar yang sebelumnya ramai, sekarang hanya tersisa reruntuhan dan kesedihan.

Warda Saed al-Dremly, seorang jurnalis yang tinggal di Gaza, mengenang malam penuh ketegangan itu. “Malam yang kami tunggu sangatlah berat… seperti hari pertama perang,” katanya, suaranya tercekik kesedihan. “Saat-saat terakhir selalu mengerikan, penuh dengan serangan, ketakutan, dan kengerian. Kami hanya berdoa semoga pagi membawa keselamatan bagi kami.” Begitulah harapan yang terbang mengiringi setiap detik yang berlalu dalam kegelapan malam itu.

Dia bahkan tidak membiarkan anggota keluarganya keluar rumah, takut mereka akan menjadi korban serangan yang datang begitu mendalam. “Kami hanya punya tiga hari, dan setiap jam terasa penuh dengan darah yang tertumpah,” ujar Warda, matanya penuh dengan ketakutan yang tak terucapkan. Perasaan mereka seakan dibekap oleh rasa cemas yang mencekam. Di luar, dunia berputar, namun di Gaza, hanya ada sisa-sisa harapan yang mulai memudar.

Pada hari Rabu, kesepakatan gencatan senjata diumumkan, setelah lebih dari satu setengah tahun pertempuran tanpa henti. Tapi, kesepakatan itu terasa jauh, seperti janji yang selalu dipenuhi keraguan. Di Doha, Perdana Menteri Qatar mengumumkan bahwa gencatan senjata itu akan mulai berlaku pada 19 Januari. Namun, kabar itu tidak cukup menenangkan hati yang sudah hancur oleh kehadiran pesawat-pesawat tempur yang terus membombardir Gaza. Meskipun begitu, Israel tampaknya terus meluncurkan serangan, menambah luka yang tak kunjung sembuh.

Mushtaha, seorang pengungsi berusia 31 tahun, menceritakan bagaimana kampung halamannya di Shujaiya dihantam bom sangat kuat pada sekitar pukul 4 pagi. Ledakan itu menghancurkan rumah-rumah sekitarnya dan menewaskan serta melukai banyak orang, termasuk anak-anak. “Kami hanya bisa membawa yang terluka,” katanya dengan suara berat, mengenang betapa overwhelmed-nya tim pertahanan sipil yang kewalahan mengangkat korban. “Kami harus menguburkan mereka sendiri, karena malam itu penuh dengan serangan.” Teriakan kesakitan dan tangisan yang tak terucapkan terpendam di reruntuhan yang ada.

Dan saat gencatan senjata akhirnya diumumkan, ada kebahagiaan yang menyelip di tengah kesedihan yang mendalam. Namun, kebahagiaan itu hanya sementara. Rasa kehilangan yang menghantui tak akan pernah pergi begitu saja. “Perang lain akan dimulai,” kata Warda dengan lirih. “Perang kehilangan, rasa sakit, dan ketakutan, baik secara fisik maupun mental. Itulah yang akan kami hadapi ketika gencatan senjata dimulai.”

Malam itu, meskipun gencatan senjata sudah diumumkan, Gaza tetap terasa seperti medan perang. Selama lebih dari 15 bulan, lebih dari 47.000 orang tewas, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Lebih dari 110.000 lainnya terluka, dan hampir 11.000 orang hilang, tertimbun di bawah reruntuhan. Gaza, yang dulunya adalah rumah bagi lebih dari dua juta orang, kini menjadi kota yang tak layak dihuni. Tapi meskipun begitu, harapan akan kedamaian tetap ada.

Bagi banyak orang di Gaza, gencatan senjata bukanlah akhir. Itu hanyalah awal dari perang baru—perang melawan kesedihan yang tak kunjung reda, perang melawan kenangan akan orang yang telah pergi, dan perang melawan ketakutan yang terus menghantui setiap langkah mereka. Keputusan-keputusan yang akan diambil pada 19 Januari nanti takkan menghapuskan rasa sakit yang telah tertanam begitu dalam. Dan meskipun Gaza menanti kedamaian, kenyataan yang mereka hadapi jauh lebih pahit dari yang dapat dibayangkan siapa pun.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *