Feature
Gaza yang Haus: Perjuangan Hidup di Tengah Kepungan

Di tanah yang dahulu hijau dengan pohon zaitun, kini hanya tersisa debu dan duka. Gaza, sebuah wilayah sempit di tepi Laut Tengah, telah menjelma menjadi ladang kematian. Bukan hanya karena dentuman bom dan serpihan roket, tapi karena sesuatu yang lebih sunyi, lebih senyap, namun sama mematikannya: haus. Dalam hiruk-pikuk perang, suara orang-orang yang kehausan nyaris tak terdengar. Mereka bergulat dengan debu, panas, dan harapan yang perlahan pupus. Setiap tetes air menjadi rebutan, setiap genangan menjadi harta.
Um Nidal Abu Nahl, seorang ibu dengan empat anak, berkata bahwa tubuhnya seakan mengering dari dalam. Tak ada air, tak ada makanan, hanya panas yang menyengat dan anak-anak yang menangis karena tak kuat menahan haus. Apa yang bisa lebih menyakitkan dari seorang ibu yang tak mampu memberi seteguk air untuk anak-anaknya? Gaza bukan hanya sedang diserang, ia sedang dibiarkan mati perlahan—dari dalam dan dari luar, dari tubuh dan dari jiwa. Ini bukan sekadar konflik. Ini penyiksaan.
Infrastruktur air Gaza telah luluh lantak. Lebih dari 75 persen sumur tidak bisa digunakan. Pipa-pipa air retak dan hancur. Air tak lagi mengalir ke rumah-rumah. Bahkan tempat penampungan sementara di kamp-kamp pengungsian hanya sesekali menerima pasokan air dari truk-truk bantuan yang jumlahnya sangat terbatas. Orang-orang berjalan bermil-mil demi air. Tapi ketika sampai, yang mereka temukan hanyalah air asin atau genangan yang penuh bakteri. Gaza haus. Sangat haus.
Wells—sumur-sumur yang dulu menjadi harapan—kini menjadi simbol keputusasaan. Banyak yang rusak, tercemar, atau berada di zona berbahaya dekat posisi militer zionis. Sebagian sumur bahkan berada di area yang telah diperintahkan untuk dikosongkan. Yang tersisa hanyalah air payau dari akuifer pantai Gaza, dengan kadar garam yang melebihi batas aman. Minum air ini bukan hanya berisiko bagi kesehatan, tapi bisa merusak ginjal dalam jangka panjang. Tapi apa pilihan mereka?
Listrik yang digunakan untuk mengalirkan air pun tak tersedia. Sistem kelistrikan Gaza lumpuh sejak awal invasi besar-besaran dimulai. Sumber-sumber energi hanya disalurkan untuk rumah sakit, dan bahkan itu pun tak cukup. Rumah-rumah gelap, peralatan pompa mati, dan harapan makin redup. Di tengah semua ini, anak-anak mengantre dengan jeriken kosong. Mereka tahu, yang mungkin mereka bawa pulang bukanlah air bersih, melainkan penyakit, atau bahkan kematian.
Satu-satunya fasilitas desalinasi yang berfungsi hanya berjalan secara terbatas setelah pasokan listrik sementara disalurkan. Tapi itu tak cukup. Kebutuhan air jutaan warga Gaza tak bisa ditutupi oleh satu pabrik. Infrastruktur publik telah hancur: 85 persen peralatan publik rusak, 200 ribu meter saluran limbah tak bisa digunakan. Limpahan limbah menggenangi tempat tinggal. Air bersih menghilang, tapi air kotor malah membanjiri kehidupan. Situasi ini bukan hanya mengenaskan, tapi memalukan bagi dunia.
UNICEF menyebut krisis air ini sebagai masalah paling mendesak dan terlupakan. Dunia terfokus pada kelaparan, tapi lupa bahwa air adalah awal dari segalanya. Tanpa air, tidak ada makanan, tidak ada sanitasi, tidak ada kehidupan. Rosalia Bollen dari UNICEF mengatakan, “air tidak boleh digunakan sebagai alat politik.” Tapi itulah yang terjadi. Gaza telah dijadikan laboratorium penderitaan, tempat air dijadikan alat pemaksa dan kematian dijadikan statistik.
Kematian tak hanya datang dari udara atau lapar, tapi juga dari rasa haus yang terus mencekik. Pada 13 Juli lalu, serangan zionis menghantam kerumunan orang yang sedang mengantre air di kamp pengungsian al-Nuseirat. Delapan orang tewas seketika. Mereka datang untuk hidup, tapi malah pulang dalam kantung jenazah. Di Gaza, bahkan mencari air pun bisa membuatmu terbunuh. Ini bukan hanya kejam. Ini kejahatan terhadap kemanusiaan.
Di sisi lain, proyek bantuan dari UEA untuk menyalurkan air dari pabrik desalinasi di Mesir ke zona selatan al-Mawasi tak sepenuhnya diterima. Banyak yang melihat proyek ini sebagai bentuk pengukuhan pengusiran paksa. Seolah-olah dunia ingin mengatakan, “Kalian bisa hidup, tapi hanya di tempat yang kami pilih untuk kalian.” Padahal yang dibutuhkan rakyat Gaza bukan sekadar air, tapi kebebasan, martabat, dan keadilan. Mereka bukan hewan ternak yang cukup diberi minum di kandang.
Sementara itu, laporan Kementerian Kesehatan Palestina menunjukkan skala genosida yang mengerikan. Sejak 7 Oktober 2023 hingga 4 Agustus 2025, lebih dari 60.933 orang terbunuh dan 150.027 lainnya terluka. Angka-angka ini bukan hanya statistik. Mereka adalah anak-anak yang tak pernah sempat tumbuh, ibu-ibu yang kehilangan seluruh keluarga, dan lelaki-lelaki yang kini hanya bisa memandangi reruntuhan rumah mereka. Gaza telah berubah menjadi pusara raksasa.
Bencana kelaparan yang dirancang pun semakin mematikan. Sejak Maret 2025, lebih dari 1.500 warga tewas saat mencoba mencari bantuan makanan di titik distribusi. Bahkan mereka yang sedang menunggu bantuan pun dibunuh. Mereka tidak bersenjata, mereka tidak sedang menyerang. Mereka hanya ingin bertahan hidup. Tapi di Gaza, bertahan hidup dianggap sebagai bentuk perlawanan yang layak dihukum mati.
Lebih dari 180 orang telah meninggal karena kelaparan dan malnutrisi, termasuk 93 anak-anak. Dan kini, penyakit pun mulai menjalar tanpa bisa dibendung. Kasus sindrom Guillain-Barré dan kelumpuhan akut meningkat. Tiga orang tewas, dua di antaranya anak-anak. Penyebabnya? Kombinasi dari virus usus, malnutrisi, dan minimnya akses obat-obatan. Ini bukan sekadar kegagalan sistem kesehatan. Ini adalah hasil dari pemblokadean yang disengaja dan penghancuran total fasilitas medis.
Rumah sakit tak lagi menjadi tempat penyembuhan. Mereka berubah menjadi rumah duka, penuh jeritan dan bau kematian. Tanpa listrik, tanpa obat, tanpa ruang perawatan. Dokter tak bisa menyelamatkan. Perawat menangis karena tak berdaya. Sementara di luar, bom terus meledak. Ketika anak-anak meninggal karena dehidrasi, saat itulah dunia seharusnya menangis. Tapi dunia bungkam. Seolah Gaza hanyalah potongan berita yang bisa diabaikan.
Jumlah bantuan yang masuk pun jauh dari cukup. Antara 27 Juli hingga 3 Agustus, Gaza hanya menerima 674 truk bantuan—jauh dari angka minimal 600 truk per hari yang dibutuhkan. Angka itu menyiratkan sebuah kenyataan: dunia tahu apa yang harus dilakukan, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Diam adalah bentuk kekerasan baru. Dan kekerasan itu kini membunuh lebih banyak dari bom atau peluru.
Mahmoud Deeb, warga Gaza, menyimpulkan semuanya dalam satu kalimat getir: “Kami tahu air ini kotor, tapi apa lagi yang bisa kami lakukan?” Ia pernah memanggul galon-galon air di punggung, tapi tempat distribusinya kini telah dibom. Di rumah, keluarganya hanya ditemani rasa haus dan ketakutan. Mereka bahkan tak bisa lagi berpikir, karena rasa haus telah menggerogoti jiwa. Dalam kondisi seperti ini, Gaza tak lagi hidup—ia hanya menunggu mati.
Namun di tengah semua kehancuran itu, ada satu hal yang belum mati: perjuangan. Rakyat Gaza, meski haus, lapar, dan diteror, tetap bertahan. Mereka menolak tunduk. Mereka terus memeluk harapan, meski harapan itu kadang hanya tinggal setetes air. Gaza adalah luka dunia. Tapi selama masih ada orang yang mau menuliskannya, menceritakannya, dan memperjuangkannya, maka luka itu tak akan dibiarkan mengering tanpa keadilan.
Sumber:
Pingback: Kami Tidak Akan Pergi: Tekad Warga Gaza di Tengah Kepungan - vichara.id