Feature
Gaza Tak Dijual: Penolakan terhadap Trump

Di Gaza, di tengah reruntuhan yang menceritakan kesedihan panjang, suara-suara keras menggema menentang rencana kontroversial Presiden AS, Donald Trump. Warga Palestina menolak tegas ide Trump untuk mengambil alih Gaza dan memindahkan mereka ke tempat lain. Mereka bersumpah tak akan meninggalkan tanah yang telah menjadi saksi bisu perjuangan mereka selama bertahun-tahun. “Trump bisa pergi ke neraka bersama ide-ide, uang, dan keyakinannya,” kata Samir Abu Basel, seorang ayah lima anak yang tinggal di Gaza City, dengan tegas.
Bagi Samir, tanah ini adalah warisan, tempat di mana sejarah dan hidupnya berakar. “Jika dia ingin menyelesaikan konflik ini, dia harus membawa orang Israel dan menempatkan mereka di salah satu negara bagian di Amerika. Mereka adalah orang asing, bukan kami. Kami adalah pemilik tanah ini,” lanjutnya dengan suara penuh keberanian. Dengan penuh keteguhan, Samir menegaskan bahwa meskipun mereka terus terancam, mereka tak akan meninggalkan rumah yang kini rusak akibat serangan.
Trump mengusulkan untuk membangun sebuah resor mewah di Gaza, membayangkan sebuah tempat yang indah dan teratur di kawasan yang dilanda perang. Namun bagi Samir dan banyak lainnya di Gaza, mimpi itu hanyalah khayalan. “Dia berbicara dengan penuh kesombongan. Dia bisa menguji kami, dan segera dia akan tahu bahwa fantasinya tidak akan berhasil di sini,” tambahnya dengan senyuman sinis. Kata-kata ini bukan hanya protes, tapi juga sebuah penegasan bahwa Gaza bukanlah tempat untuk meninggalkan warisan mereka.
Dalam banyak percakapan via aplikasi chat, Um Tamer Jamal, seorang ibu berusia 65 tahun dengan enam anak, mengungkapkan kekhawatirannya yang mendalam. Ketakutan mereka akan sebuah “Nakba” kedua, sebuah bencana besar yang mirip dengan peristiwa pada tahun 1948 saat ratusan ribu orang Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, begitu mendalam. “Kami tidak akan meninggalkan daerah kami. Kami telah mendidik anak-anak kami agar mereka tidak boleh meninggalkan rumah mereka dan tidak membiarkan Nakba kedua terjadi,” kata Um Tamer, suaranya penuh dengan kepastian dan harapan.
Namun, meski banyak yang telah melawan keras, ketidakpastian masih menyelimuti. Rencana Trump disambut kecaman keras dari pemimpin Palestina dan juga masyarakat internasional. Pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menegaskan bahwa mereka tidak akan melepaskan tanah, hak, dan situs suci mereka. Gaza adalah bagian tak terpisahkan dari negara Palestina, bersama dengan Tepi Barat yang terjajah dan Yerusalem Timur yang terpisah. Begitu juga dengan Hamas, Sami Abu Zuhri, dengan tegas menyatakan bahwa ide Trump adalah hal yang absurd dan berbahaya bagi perdamaian di kawasan tersebut.
Di tengah segala ketegangan ini, di Khan Younis, wilayah selatan Gaza, keluarga-keluarga yang duduk di tengah puing-puing bangunan yang hancur, berjanji untuk tetap tinggal di tanah mereka. Mereka menunggu bukan untuk dipaksa meninggalkan tempat ini, tetapi untuk dibangunkan kembali rumah-rumah mereka yang telah rata dengan tanah. “Anda membantu Israel dalam kehancuran ini. Sekarang, Anda harus membantu membangun kembali untuk kami, selama kami masih berada di tanah ini. Anda tidak bisa berkata kami harus pergi agar Anda bisa membangunnya,” kata Ahmed Shahin, dengan amarah yang terpendam namun penuh harapan.
Suasana di Gaza bagaikan palung emosi yang mendalam, dengan ketakutan, kemarahan, dan harapan yang bercampur. Setiap orang di sini memiliki kisah yang tak terhitung jumlahnya, dan mereka semua bersatu dalam satu tujuan: untuk mempertahankan rumah mereka. Terlepas dari ancaman yang datang dari luar, Gaza tetap berdiri teguh, seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh badai.