Connect with us

Feature

Duka di Tanah Suriah: Kesaksian yang Tak Terlupakan

Published

on

Malam itu datang tanpa peringatan, seperti maut yang mengendap di balik bayangan. Langit di atas Latakia kelam, tak berbintang, seperti tahu bahwa malam itu bukan untuk harapan, melainkan untuk kesedihan yang tak akan lekang oleh waktu. Abu Mahmoud terjaga dari tidur oleh suara yang lebih mengerikan dari mimpi buruk mana pun—letusan senapan, jeritan perempuan, dan tangisan anak-anak. Hatinya mencelos, dan naluri bertahan hidupnya mengambil alih. Tanpa berpikir panjang, ia merayap ke sudut tergelap rumahnya, menahan napas di balik pintu yang setengah terbuka.

Di luar, kengerian yang terjadi seperti neraka turun ke bumi. Militan dari Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan kelompok-kelompok dari Syrian National Army (SNA), yang selama ini dikenal sebagai proksi Turki, datang tanpa belas kasihan, memburu setiap nyawa yang mereka lihat. Abu Mahmoud melihat dari celah jendelanya bagaimana tetangganya, seorang pria tua Alawi yang sepanjang hidupnya tak pernah menyakiti siapa pun, ditarik keluar dan ditembak di depan rumahnya sendiri. Darah mengalir, meresapi tanah, menjadi saksi bisu atas kejahatan yang tak terampuni. Abu Mahmoud memejamkan mata, tetapi suara itu tetap menyiksanya. Jeritan anak-anak yang memohon ampun, tangisan ibu-ibu yang melihat buah hati mereka meregang nyawa. Saat suara letusan mereda, yang tersisa hanyalah sunyi yang lebih menakutkan daripada kebisingan.

Ketika akhirnya keberanian mengalahkan ketakutan, Abu Mahmoud melangkah keluar dari persembunyiannya. Udara malam terasa berat oleh bau mesiu dan daging terbakar. Desa yang pernah ia kenal kini hanya puing-puing yang berasap, dan di antara reruntuhan, mayat-mayat tergeletak tanpa kehidupan. Beberapa di antaranya masih memeluk orang yang mereka cintai, seolah kematian pun tak mampu memisahkan mereka. Ia berjalan dengan kaki gemetar, tak tahu ke mana harus pergi, hanya tahu bahwa di belakangnya, rumahnya sendiri tak lagi berdiri.

Di sisi lain Latakia, Umm Khaled menggenggam erat tangan anaknya, berusaha menahan isak tangis agar tak terdengar. Mereka bersembunyi di balik semak-semak, sementara suara langkah sepatu bot mendekat. Jantungnya berdegup kencang, takut bahwa napas mereka akan mengundang maut. Ia berusaha keras untuk tetap diam, bahkan ketika suara tembakan kembali terdengar dan anaknya mulai menggigil ketakutan. Ketika akhirnya suasana sedikit mereda, ia mengumpulkan keberanian dan mulai melangkah menjauh dari desa yang telah menjadi neraka.

Langkah mereka berat, melewati hutan yang gelap dan penuh ketidakpastian. Ranting-ranting menusuk kulit mereka, tetapi mereka tak peduli. Mereka berjalan selama berjam-jam, tanpa makanan, tanpa air, hanya dengan harapan bahwa ada tempat yang lebih aman di ujung perjalanan ini. Ketika akhirnya mereka kembali setelah beberapa hari, yang mereka temukan hanyalah kehancuran. Rumahnya yang dulu menjadi tempat bernaung kini hanya abu dan puing. Suaminya, keluarganya, semua telah tiada. Umm Khaled jatuh berlutut di antara reruntuhan, membiarkan air matanya bercampur dengan debu dan darah. “Aku tak punya apa-apa lagi,” bisiknya, seolah berbicara kepada angin malam.

Di tempat pengungsian, anak-anak yang selamat tak lagi sama. Mata mereka kosong, jiwa mereka koyak oleh apa yang mereka lihat. Seorang psikolog yang bekerja dengan para penyintas mengatakan bahwa beberapa anak kehilangan kemampuan berbicara, seolah trauma telah membungkam mereka selamanya. Yang lain memilih mengurung diri dalam diam, tak mau makan, tak mau berinteraksi. Setiap malam mereka dihantui mimpi buruk, kembali ke malam yang mencuri semua yang mereka miliki. “Kami mencoba membantu mereka, tetapi luka mereka lebih dalam dari yang bisa kami bayangkan,” kata sang psikolog, matanya sendiri dipenuhi duka.

Sementara itu, seorang aktivis hak asasi manusia menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan. “Kita tak bisa membangun perdamaian tanpa menuntut keadilan,” katanya. “Para pelaku harus bertanggung jawab, agar tragedi seperti ini tak terulang lagi.” Namun, keadilan terasa seperti mimpi yang jauh. Pemerintah telah mengumumkan penyelidikan, tetapi hasilnya tetap menjadi misteri. Dan di saat yang sama, pembantaian terus berlanjut, merenggut lebih banyak nyawa yang tak bersalah.

Selama 24 jam terakhir, lebih dari 72 orang telah dibunuh, sebagian besar oleh kelompok bersenjata HTS dan SNA. Di beberapa daerah, korban mencapai ribuan. Beberapa dari mereka bahkan tak sempat melarikan diri, tubuh mereka ditemukan membusuk di reruntuhan rumah mereka sendiri. Impunitas terus merajalela, menjadi pupuk bagi kebiadaban yang tak pernah benar-benar berakhir.

Salah satu korban selamat lainnya, seorang pria tua bernama Yusuf, berbicara dengan suara gemetar. “Dulu aku percaya bahwa tidak ada yang lebih buruk daripada perang, tetapi aku salah. Yang lebih buruk adalah hidup setelah perang, melihat semua yang kau cintai menghilang tanpa jejak.” Matanya yang buram oleh usia kini dipenuhi kepedihan yang tak dapat diungkapkan kata-kata.

Di tengah semua penderitaan, lebih dari 20.000 orang memilih meninggalkan Suriah, menuju Lebanon dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Namun, bahkan di negeri asing, mereka tidak diterima dengan tangan terbuka. Mereka dianggap sebagai pengungsi tak diinginkan, terombang-ambing di antara trauma masa lalu dan ketidakpastian masa depan. Bagi mereka, rumah bukan lagi tempat yang bisa dikunjungi, melainkan kenangan yang semakin lama semakin pudar.

Sejarah mencatat tragedi ini dengan tinta darah. Kejahatan ini bukan sekadar angka dalam laporan, bukan sekadar tajuk berita yang berlalu begitu saja. Ini adalah nyawa-nyawa yang hilang, kisah-kisah yang tak selesai, kehidupan yang dicabut sebelum sempat bermekaran. Dan bagi mereka yang masih bertahan, satu pertanyaan terus menggantung di udara: apakah dunia akan peduli?

Saat matahari terbit di atas reruntuhan Latakia, cahaya pagi menyapu tanah yang masih berlumuran darah. Dalam keheningan yang menyayat, harapan terasa seperti sesuatu yang nyaris mustahil. Namun, di antara puing-puing, seorang anak kecil menggenggam erat tangan ibunya, menatap ke cakrawala dengan tatapan yang belum sepenuhnya padam. Barangkali, meskipun kecil, harapan itu masih ada.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *